Kondisi Ekonomi Perikanan Nelayan dimasa Pandemi Covid-19

Bonda Binti Saleh Duro
Bonda Binti Saleh Duro

Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin baru saja meluncurkan Visi Indonesia dengan pendekatan lima sasaran prioritas dalam program kerja 2019-2024. Ada lima target yang dicanangkan Joko Widodo di periode kedua pemerintahannya yang tertuang dalam Visi Indonesia.

Kelima visi itu diharapkan mendorong Indonesia lebih produktif, berdaya saing, dan fleksibel dalam menghadapi tantangan global yang dinamis dan penuh risiko. Dari kelima visi itu, pembangunan infrastruktur tetap menjadi titik tekan Pemerintahan Jokowi, dengan titik berat adanya interkoneksi infrastruktur dengan kawasan industri kecil, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, persawahan, perkebunan, dan perikanan.

Subsektor perikanan menjadi salah satu sektor yang diandalkan untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional melalui jalur ekspor. Perikanan menjadi subsektor di bawah sektor pertanian yang mendapat perhatian besar dari Pemerintah Indonesia. Sektor tersebut, terutama subsektor perikanan akan digenjot untuk bisa meningkatkan daya saingnya di pasar internasional.

Tiga bulan pandemi COVID-19 melanda Indonesia, dampak buruk semakin dirasakan pada sektor kelautan dan perikanan. Di tengah situasi tersebut, nelayan banyak yang menghentikan aktivitas menangkap ikan mengikuti anjuran Pemerintah Indonesia untuk tidak beraktivitas sementara Dari semua wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), tercatat ada empat WPP yang terdampak paling parah.

Kondisi itu membuat aktivitas berhenti dan ekonomi nelayan seketika menurun Saat laut sedang sepi dari aktivitas nelayan, kapal ikan asing (KIA) datang untuk menangkap ikan secara ilegal. Kapal-kapal tersebut sebagian besar berasal dari negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia dan mencuri ikan dengan memanfaatkan situasi.

Berbagai dampak buruk yang dialami oleh nelayan di atas, menunjukkan bahwa keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang sangat rawan. Keluarga nelayan, menempati posisi paling bawah dalam struktur kemiskinan dan ketimpangan nasional jauh sebelum ada COVID-19.berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 2,7 juta nelayan di Indonesia turut menyumbang 25 % angka kemiskinan nasional.

Kerawanan nelayan pun disebut, semakin parah karena sampai saat ini pemerintah tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menangani penyebaran COVID-19 ini. Sementara itu di tengah situasi pandemi Covid-19, hasil tangkapan ikan nelayan masih cukup tinggi. Masalahnya, harga di pasar lokal maupun internasional mengalami penurunan yang cukup signifikan. Eksportir ikan dalam hal ini sebagai pelaku usaha perikanan, harus mengambil langkah tanpa harus menekan para nelayan, yang biasanya menjual produk paket 10 ton ikan, namun di masa pandemi ini mulai menjual ikan secara ecer atau paket kiloan.

Cara ini dilakukan tentu agar tetap produktif di masa sulit karena tekanan harga karena sebagai pelaku usaha, bagaimana pun juga merupakan mitra pemerintah yang memiliki tanggung jawab meningkatkan produksi dan pendapatan hasil perikanan. Mayoritas daerah melaporkan terjadi penurunan harga ikan yang cukup signifikan, terutama jenis ikan tertentu yang menjadi komoditas ekspor.

Penjualan hasil tangkapan menjadi kendala besar saat ini, dikarenakan banyak pengepul ikan tidak melayani atau setidaknya membatasi pembelian ikan dari nelayan/pembudidaya. Kondisi ini menyebabkan banyak nelayan dan pembudiaya yang kewalahan menjual hasil tangkapan, apalagi negara tujuan ekspor perikanan Indonesia juga sedang “menutup diri”, membatasi transaksi perdagangan internasionalnya dengan negara lain. Kondisi ini terjadi karena menurunnya daya beli masyarakat sehingga pasar atau Tempat Pelelangan Ikan menjadi sepi, salah satunya akibat penerapan kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 yang mulai disosialisaikan pemerintah daerah.

Jika dibiarkan berkepanjangan, kondisi ini berpotensi semakin memburuk kehidupan keluarga nelayan dan pembudidaya. Pendapatan mereka semakin menurun karena kesulitan mencari pembeli hasil tangkapan dan panen mereka. Jikapun ada yang membeli, harga yang ditawarkan sangat murah, tidak sebanding dengan modal budidaya maupun modal melaut.

Selain itu, nelayan juga mengeluhkan biaya operasional seperti harga BBM juga masih langka dan harganya mahal di beberapa daerah. Hal ini menyulitkan nelayan untuk pergi menangkap ikan atau semakin mengurangi pendapatan nelayan. Selain itu, mereka membutuhkan biaya untuk hidup seperti membeli kebutuhan pangan yang dilaporkan harganya merangkak naik di beberapa lokasi.

Dibutuhkan juga biaya tambahan lain akibat adanya pandemik Covid-19 ini, seperti membeli disinfektan. Artinya, biaya operasional melaut selama masa pandemi relatif meningkat, sementara penghasilan nelayan mengalami penurunan. Selain harga BBM yang mahal dan kesulitan modal untuk melaut, kendala lainnya adalah pengurusan administrasi kapal.

Mengatasi situasi ini, beragam cara dilakukan nelayan dan pembudidaya untuk beradaptasi dan bertahan di tengah situasi krisis yang dihadapi saat ini. Nelayan atau pembudidaya yang masih memiliki tabungan, untuk berjaga bila ada kebutuhan mendesak seperti biaya pendidikan atau kesehatan, mulai menarik tabungan untuk memenuhi kebutuhan harian atau modal untuk melaut. Tetapi malang bagi yang tidak memiliki tabungan, mereka harus berutang kepada tetangga, juragan, pengepul ataupun pihak lain yang menawarkan bantuan.

Komite Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyoroti sejumlah kebijakan stimulus ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintah. KNTI merespon positif paket kebijakan pemerintah meskipun menyayangkan tidak ada paket stimulus khusus untuk pertanian dan perikanan. Meski demikian, masih ada peluang untuk membangun ketahanan dan kedaulatan pangan melalui optimalisasi penggunaan Dana Desa untuk dalam pada pandemi ini.

Sebenarnya terdapat dua skema relokasi anggaran Dana Desa untuk merespon Covid-19. Pertama adalah skema Bantuan Langsung Tunai sebesar Rp 22 triliun dan Padat Karya Tunai Desa sebesar Rp 29 triliun. Dengan angggaran tersebut yang sangat besar bila digunakan untuk menstimulus perekonomian desa, khususnya untuk menggerakkan perekonomian petani dan nelayan di masa pandemi Covid-19.

Untuk itu, pihaknya meminta agar pemerintah memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak, keterlibatan organisasi petani dan nelayan juga dirasa sangat penting. Pandemi Covid-19 ini masalah besar, yang belum pernah dialami sebelumnya . Pemerintah tidak bisa sendirian, harus melibatkan semua komponen terutama organisasi petani dan nelayan di berbagai wilayah untuk menggerakkan agenda ketahanan dan kedaulatan pangan.

Dalam kondisi seperti pandemik sperti ini mengajak kepada masyarakat untuk tetap mengkonsumsi ikan, karena dapat menjaga stamina dan mencerdaskan otak. Disamping itu juga dapat membantu pendapatan dari nelayan dan masyarakat perikanan.

 

Oleh : Bonda Binti Saleh Duro
Penulis Merupakan Pegawai BPS Kota Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini