ZONASULTRA.COM, KENDARI – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa sejumlah komisioner Komisi Pemilhan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Buton Tengah (Buteng) di kantor Bawaslu Sulawesi Tenggara (Sultra), Kota Kendari, Senin (8/7/2019).
Pemeriksaan ini terkait dengan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di TPS 03 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka, Buteng. Masing-masing komisioner dari kedua lembaga yang diperiksa DKPP ini menjadi teradu dalam dua perkara yang berbeda, yaitu nomor 129-PKE-DKPP/VI/2019 dan 136-PKE-DKPP/VI/2019.
Ketua Bawaslu Kabupaten Buteng, Helius Udaya dan anggotanya, Lucinda Theodora menjadi teradu dalam perkara 129-PKE-DKPP/VI/2019. Mereka diadukan oleh seorang wiraswasta bernama Rahim.
Rahim sendiri tidak hadir dalam sidang. Namun dalam pokok aduannya, ia menduga kedua teradu telah mengambil alih permasalahan dua surat suara yang tidak ditandatangani oleh Ketua KPPS TPS 03 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka, Buton Tengah saat penghitungan suara pada 17 April 2019.
Dua surat suara itu diketahui telah tercoblos untuk dua caleg salah satu partai politik.
Menurut Rahim, Helius mengambil alih persoalan dengan menanyakan apakah dua surat suara dapat disahkan kepada para saksi yang ada di TPS. Menurut dalil aduan, kejadian ini berlangsung pukul 23.00 WITA.
Belakangan, kedua surat suara itu dinyatakan tidak sah dan Bawaslu Kabupaten Buton Tengah mengeluarkan rekomendasi untuk dilaksanakannya PSU di TPS tersebut. Hanya saja, menurut Rahim dalam dalil aduannya, Helius melontarkan pernyataan yang berbeda kepada media massa terkait hal ini.
“Dalam aturan, kata Helius, rekomendasi Bawaslu itu tidak wajib untuk dilaksanakan. Bisa dilaksanakan dan bisa juga tidak dilaksanakan. Demikian pula rekomendasi PSU ini, tergantung dari kajian KPU Buteng sendiri, apakah memenuhi unsur atau tidak untuk dilaksanakan PSU,” sebut Rahim dalam dalil aduan.
Pernyataan Helius yang dimaksud Rahim dalam dalil aduannya telah dipublikasi oleh media massa setempat pada 23 April 2019. Namun pernyataan Helius ini justru berbeda dengan yang dimuat oleh media daring lainnya pada 26 April 2019.
“Untuk TPS 3 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka wajib dilakukan PSU karena telah terjadi pelanggaran Pemilu,” demikian ucapan Helius saat itu.
Dalil-dalil Rahim selaku pengadu pun dibantah oleh Helius. Dalam persidangan, ia menegaskan bahwa dirinya tidak berada di TPS 03 Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka, saat penghitungan terjadi.
“Kami melakukan monev di kecamatan Mawasangka pukul 01.50 tanggal 18 April 2019,” katanya.
Demikian pula dengan pengambilalihan permasalahan dua surat suara di TPS. Menurut Helius, persoalan tersebut telah diselesaikan KPPS bersama saksi parpol.
“Tidak benar bahwa saya menanyakan untuk mengesahkan dua surat suara tersebut,” jelasnya.
Akan tetapai Helius justru mengaku jika pernyataannya yang dimuat oleh dua media di Baubau pada 23 April 2019 justru berbeda. Dimana saat itu itu dia mengungkapkan bahwa rekomendasi Bawaslu Buton Tengah itu tergantung kajian KPU dengan melihat syarat formil atau materiil.
Ia menegaskan, dirinya tidak melakukan pembiaran atas pelanggaran pemilu di Kelurahan Watolo, Kecamatan Mawasangka. Hal ini, lanjutnya, dibuktikan dengan keluarnya rekomendasi PSU melalui rekomendasi nomor 01/Bawaslu.Prov.SG-04F/PM.00.02/IV/2019.
Sementara itu, pemeriksaan KPU Buteng masih terkait dengan rekomendasi Bawaslu tentang diwajibkannya PSU di Kelurahan Watolo, DKPP juga memeriksa ketua dan anggota KPU Buteng yaitu La Ode Nuriadin, La Ode Abdul Jinani, Rinto Agus Akbar, Muhamad Arwahid dan La Ode Hasrullah.
Kelima orang itu menjadi teradu dalam perkara yang berbeda, yaitu nomor 136-PKE-DKPP/VI/2019. Mereka diadukan oleh Ketua Bawaslu Buteng, Helius.
Helius mengadukan perkara ini karena KPU Buteng diduga tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu yang mewajibkan dilaksanakannya PSU di Kelurahan Watolo. KPU Buteng melalui beberapa dokumen resminya, menyatakan rekomendasi bawaslu dan Panwaslu Kecamatan Mawasangka tidak memenuhi syarat formil, sehingga PSU tidak dapat dilaksanakan.
“Maka Bawaslu Kabupaten Buton Tengah menduga telah terjadi pelanggaran Kode Etik dan Tindak Pidana Pemilu yang dirigestrasi dengan nomor: 006/TM/PL/Kab/28.16/V/2019 tertanggal 3 Mei 2019,” kata Helius.
Sementara itu, Ketua KPU Buton Tengah, La Ode Nuriadin selaku teradu I berdalih tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu karena tak adanya dokumen C2 saat rekapitulasi. Ia menyatakan bahwa masalah di TPS 03 Kelurahan Watolo telah diselesaikan di tingkat bawah dengan hadirnya ketua bawaslu di TPS.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa KPU Buteng sudah mencermati aturan, khususnya pasal 18 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota dengan satu pasangan calon.
“Sudah menjalani proses di Gakkumdu, dan perbuatan yang dilakukan oleh Teradu tidak memenuhi unsur,” ucap La Ode.
Namun hal ini, dibantah oleh Helius. Menurutnya, syarat formil sudah terpenuhi dengan adanya identitas pelapor, terlapor, pokok aduan dan tanda tangan. “Seharusnya tidak perlu melampirkan form A, kecuali bersumber dari temuan,” jelas Helius.
Helius menambahkan, ia hadir di TPS 03 Kelurahan Watolo, saat proses penghitungan suara telah usai. Terkait proses di Gakkumdu, ia mengatakan bahwa Bawaslu dan Kejaksaan Negeri Buteng telah menyepakati adanya pelanggaran.
“Namun kepolisian menyatakan tidak ada unsur pelanggaran pidana,” jelasnya.
Proses persidangan perkara 136-PKE-DKPP/VI/2019 sendiri berlangsung hampir empat jam. Sidang ini dipimpin oleh anggota DKPP, Dr. Alfitra Salamm bersama Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Sultra sebagai anggota majelis, yaitu Ade Suerani dari unsur KPU, Bahari dari unsur Bawaslu dan Hidayatullah dari unsur masyarakat. (A)
Kontributor: Fadli Askar
Editor: Abdul Saban