Di siang jumat yang sedikit basah, hujan yang tak terlalu diharapkan, karena beberapa saat sebelumnya terik matahari cukup menyengat kulit. Tepatnya lepas sholat jumat di masjid kompleks, bulir-bulir air hujan yang turun belum sepenuhnya redah.
Sembari menunggu hujan benar-benar berhenti, di pojokan masjid duduk lima atau enam jamaah dengan formasi melingkar. Karena intonasi suara mereka cukup menarik perhatian saya, selepas doa saya memutuskan ‘nimbrung’ dan larut dalam obrolan mereka.
Saya memasang telinga dengan seksama, ternyata topik obrolanya seputar kelangkaan minyak goreng yang dampaknya mulai dirasakan di kota Kendari. Sebagian besar supermarket banyak yang kosong, kalaupun stoknya tersedia harganya yang lebih mahal dari biasanya.
Bahkan ada beberapa supermarket yang menyertakan syarat khusus jika ingin belanja minyak goreng di gerai mereka. Syarat yang dimaksud adalah untuk mendapatkan minyak goreng ada batas minimal belanja yang telah ditentukan.
Dalam perspektif Neo-liberalism negara tidak punya power melebihi kuasa pemilik modal (kapital).
Netijen masih ingat saat periode kedua SBY bersama Budiono? Kala itu ada gerakan massa yang cukup besar menolak pasangan ini. Karena disinyalir Budiono saat itu dianggap menganut paham Neo-liberalism tersebut.
Misalnya pada rentang tahun 2018 lalu, ketika hasil bumi seperti harga jual karet dan kopra turun pada titik terendah, kemudian petani karet Kalimantan mengeluh kepada presiden. Saat itu presiden tidak bisa berbuat banyak karena bukan negara yang mengatur pasar.
Lalu pada kasus gelombang pandemi yang belum stabil, gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ‘menyemprot’ HRD sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Di tengah mutasi Covid-19 yang banyak memakan korban jiwa, perusahaan tersebut tetap mewajibkan karyawannya berkantor. Hal ini yang dinilai beresiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja.
Artinya kapitalisme atau pemilik modal tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi, karena dalam mindset mereka yang dikejar hanya ‘cuan’ dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Nyawa yang menjadi kekhawatiran pemerintah adalah sumber daya yang bisa diganti ketika tidak produktif lagi.
Sebagai irisan dari konsep neo-liberasime, ada istilah oligopoli yang prinsip kerjanya juga mengandalkan kekuatan capital. Istilah oligopoli ini merujuk pada penguasaan produk atau jasa tertentu oleh salah satu atau beberapa pemilik modal besar. Sehingga produsen kecil tidak yang tidak mampu bersaing akhirnya tenggelam dalam persaingan.
Sebagai kasus pembanding, kita coba menarik memori ke belakang, ada fenomena harga tiket pesawat yang membumbung tinggi. Saat itu diduga terjadi oligopoli para pemilik maskapai dengan menaikkan harga tiket pesawat yang mencekik leher.
Nah pada pengantar tulisan ini, cerita kelangkaan minyak goreng sangat kuat dugaan oligopoli produsen besar. Melihat rekam media nasional sebelumnya, pernah memberitakan beberapa perusahaan besar yang kedapatan menimbun minyak goreng di sebuah gudang besar dalam jumlah banyak. Dan tidak hanya terjadi satu lokasi saja.
Atas peristawa disinyalir menjadi indikator utama terjadinya kelangkaan minyak goreng di seluruh wilayah. Masyarakat banyak yang menjerit, bukan tanpa alasan, keberadaan minyak goreng sudah menjadi bagian kebutuhan pokok rakyak Indonesia. Lalu dimana posisi pemerintah dalam peristiwa ini?
Konsep neo-liberalisme pada dasarnya punya kuasa modal akan terus perkasa dan selalu menekan kaum yang lemah. Singkatnya, kapitalisme punya power dalam mengatur pasar dan negara tidak punya kuasa penuh untuk mengintervensi.
Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis merupakan Dosen Jurnalistik FISIP UHO