Kendati tidak turut hadir di Kolaka Utara (Kolut) menyambut kedatangan Menteri Pertanian Bapak Amran Sulaiman, saya termasuk yang sangat berbahagia atas kedatangan kakanda kami itu di kampung halaman. Begini-begini, saya juga anak Kolut kasian.
Kakanda dari mana lagi? Serius, seniorku itu di Tekper. Di Tamalanrea. Satu jurusan. Satu prodi malah. Hanya beda angkatan. Saya kenal beliau. Dan beliau (pastinya) tidak kenal saya… Hehehe…Apakah itu Tekper? Tanyami anak Tekper….hehehe..
Ini sejarah bagi warga Kolut. Lebih spesifik lagi warga Desa Kalahunde, Kecamatan Pakue Tengah. Lima jam perjalanan darat dari Bandara Sangia Nibandera di Kabupaten Kolaka, induk pemekaran Kabupaten Kolut.
Sependek ingatan saya, belum pernah ada pejabat negara selevel menteri yang pernah berkunjung ke daerah paling utara Sulawesi Tenggara ini, baik sebelum mekar hingga lebih sepuluh tahun menjadi daerah otonomi baru (DOB).
Ini prestasi Pak Bupati Kolut yang sukses menggugah Pak Menteri untuk berkunjung. Juga rekor tersendiri bagi Kak Amran..cieee..cieee…(kakak nie… 😀😀) yang terus menyusuri pelosok nusantara yang jauh menemui petani.
Dan seperti biasa, di setiap kunjungannya, bantuan pemerintah tergelontorkan. Bantuan yang hendak menguatkan program prioritas Pemda Kolut, merevitalisasi perkebunan kakao di sana. Komoditas yang merupakan tulang punggung perekonomian rakyatnya.
Jumlah bantuan ke Kolut saya kutip dari situs Kementerian Pertanian. Bibit unggul tanaman kakao sebanyak 1.5 juta batang untuk 1.500 hektar. Ini merupakan yang terbesar di Sulawesi Tenggara dari total bantuan sebanyak 3,8 juta batang untuk 3.785 hektar. Hampir separuhnya untuk petani Kolut. Mantap…
Menteri pertanian juga membagikan bibit jagung gratis untuk ditanam petani. Awalnya hanya tiga ribu hektar, lalu dinaikkan menjadi lima ribu hektar.
Selain bibit kakao dan benih jagung, mentan juga membagikan bibit kelapa, pupuk dan sejumlah alat mesin pertanian (alsintan) berupa hand traktor, traktor roda empat, combine harvester, hingga excavator.
Maka nikmat mana lagi yang kalian dustakan…
Hal yang terpenting dari semuanya adalah idealisme yang dibawa oleh bantuan itu. Bahwa program dan anggaran kementerian pertanian berpihak pada petani, dan tidak segan untuk menindak para mafia yang memainkan bibit, benih, dan harga.
Saya tertarik pada wacana keberpihkan ini. Yang kemudian saya hendak tarik ke tingkat lokal di Kolaka Utara dan Sulawesi Tenggara secara umum.
Bahwa berbicara perihal pembangunan pertanian, tidak semata tentang fasilitas sarana produksi. Seolah-olah guyuran bantuan akan selalu linear dengan peningkatan produksi, dan lantas mengatrol kesejahteraan petani.
Terdapat tiga variabel utama yang saling bertali temali mendorong suksesnya pembangunan pertanian. Pertama, komoditas. Di situ ada kakao, jagung, kopi, padi, ternak, dan seterusnya.
Kedua, sarana-prasarana. Benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin, jalan usaha tani, bendungan, saluran irigasi, dan seterusnya.
Ketiga, sumber daya manusia. Ada peneliti, pengamat hama, penyuluh, dan seterusnya. Tiga variabel ini perlu dan harus sama kuatnya untuk mewujudkan apa yang dinamakan keberpihakan terhadap petani.
Kabar buruknya, variabel ketiga inilah –terutama tenaga penyuluh– yang paling anak tiri. Mau bukti? Kita lihat saja di Kolaka Utara.
Penyuluhnya. Sumber daya manusia yang menjadi garda terdepan menemani petani dalam transfer ilmu dan teknologi pertanian. Jumlahnya hanya 38 orang. Sebanyak 24 orang berstatus PNS, dan 14 orang berstatus tenaga harian lepas yang gajinya dibayar oleh kementerian pertanian. Jadi sebenarnya, Pemda Kolut hanya menggaji 24 orang.
Mereka inilah –yang jumlahnya nyaris setara dengan sebuah tim sepakbola– yang dipercayakan mendampingi petani di seluruh Kolaka Utara.
Tim sepakbola…eh…tim penyuluh ini belum akan mendapatkan kawan baru dalam waktu dekat ini, mengingat pada penerimaan CPNS yang prosesnya masih sementara berlangsung, sama sekali tidak ada formasi penyuluh pertanian yang diterima. Dan dengan gagah berani kita berikrar bahwa program prioritas berada di sektor pertanian.
Barangkali banyak yang berkilah bahwa tanpa penyuluh pun, program pertanian akan berhasil. Saya hanya hendak mengatakan begini, sebanyak apapun sarana prasarana yang diberikan tanpa ada transfer ilmu pengetahuan dan pencerahan-pencerahan yang menyertainya, bantuan itu akan seperti menggarami air di laut.
Hingga di sini, kita telah paham apa yang dimaksud dengan keberpihakan.
Berikutnya, perihal pengaturan organisasi perangkat daerah (OPD). Saya bahagia sekali di akhir tahun ini, begitu mengetahui bahwa instansi yang mengurusi sektor pertanian di Kolaka Utara telah “dimekarkan”. Dulunya hanya ada dua OPD, yakni dinas pertanian dan dinas ketahanan pangan. Kini, bertambah satu lagi, yaitu dinas perkebunan dan peternakan.
Dinas ini mekar dari induknya, yang kini kemudian bernama dinas tanaman pangan dan hortikultura. Lagi-lagi, saya menemukan perihal keberpihakan terhadap tiga variabel tadi (komoditas, sarana-prasarana, sumber daya manusia).
Di dinas tanaman pangan dan hortikultura, urusan penyuluhan digabung jadi satu dengan urusan sarana-prasarana menjadi satu unit kerja setingkat eselon tiga (bidang). Namanya bidang sarana prasarana dan penyuluhan.
Saya mendapat kesan bahwa penyuluh ini adalah bagian dari sarana prasarana. Jika betul dugaan saya tentang persepsi ini, maka berdukalah dunia penyuluhan Indonesia, karena urusan benda mati telah disetarakan dengan urusan makhluk hidup bernama manusia berwujud penyuluh.
Dugaan saya berikutnya perihal penyatuan dua urusan ini adalah menjiplak OPD daerah lain. Kan kabupaten anu juga begitu, kira-kira begitu alasannya. Saya kembali ingin katakan, tidak salah melakukan penjiplakan tapi acuannya adalah kebutuhan daerah.
Di tengah program prioritas sektor pertanian itu, tidakkah urusan penyuluh ini menjadi begitu strategis sebagai ujung tombak untuk mentransfer kebijakan beserta seluruh perangkat teknologi dan informasi kepada petani?
Itu pekerjaan rumah kita. Maksudnya, bukan kita semua, tapi mereka yang punya kuasa di Kolaka Utara.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial