Bepergian ke luar daerah, apalagi ke Jakarta, tidak lagi semenyenangkan dulu. Ketika pandemi Covid-19 belum melanda. Sekarang, perjalanan begitu merepotkan. Begitu mencemaskan. Ada pertaruhan takdir di sana. Ada keprihatinan yang melanda. Secara kolektif.
Tapi dalam hidup, ada kalanya tanggungjawab harus tertunai. Seberbahaya apapun situasinya. Kita tidak bisa menghindarinya. Tanggungjawab memaksa kita harus menghadapi takdir. Siapapun dia. Jelata ataupun pemimpin.
Di tengah suasana keprihatinan kolektif inilah Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi memutuskan melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Jakarta. Ini kunker keluar daerah pertama di tahun ini. Setelah sebelumnya kunker perdana dalam daerah.
Perjalanan perdana setelah selama berbulan-bulan pemerintahan dikendalikan dengan perjumpaan fisik yang begitu minim. Kunker yang dilakukan ketika kasus konfirmasi positif nasional tidak jauh beranjak dari angka sepuluh ribu per harinya.
Melalui kunkernya, ada pesan yang hendak disampaikan Gubernur. Bahwa kita semua harus bangkit. Mempertarungkan sisa hidup yang dimiliki. Pepatah mengajari kita bahwa hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.
Tinggal di rumah adalah baik. Namun, tidak bisa selamanya. Kita tidak bisa memenangkan pertarungan hidup dengan berdiam diri. Kehidupan kemanusiaan kita harus tetap berlangsung. Dengan produktif. Dengan karya. Dengan cara aman. Yang kita sebut dengan protokol kesehatan.
Gubernur mengirim pesan kepada kita rakyatnya. Kepada kita para stafnya. Bahwa Sulawesi Tenggara sudah saatnya bangkit kembali. Keluar rumahlah mencari kehidupanmu dan tetap patuhi protokol kesehatan. Itu pesan pertama.
Pada kunker dua hari ini, Gubernur menggelar serangkaian pertemuan dengan sejumlah pimpinan kementerian dan lembaga. Ada empat. Kementerian tenaga kerja, badan nasional penanggulangan bencana, kementerian kemaritiman dan investasi, serta kementerian agraria dan tata ruang/badan pertanahan nasional. Semuanya bertemu langsung dengan pimpinan tertingginya. Para menteri aau setingkat menteri.
Kenapa harus empat menteri atau kementerian itu? Pertama, dalam beberapa bulan terakhir ini intensitas kinerja empat kementerian itu terlihat benar-benar berdenyut di bumi Sulawesi Tenggara.
Kementerian tenaga kerja, misalnya. Baru-baru ini, Menteri Ida Fauziah mengutus salah seorang direktur jenderalnya ke Kendari. Gubernur menjumpainya. Hasilnya begitu konkrit. Gagasan tentang peningkatan status Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari menjadi BLK bertaraf internasional. Gubernur sudah menyiapkan lahan 4,5 hektar untuk keperluan itu.
Dengan BNPB. November tahun lalu, Letnan Jenderal Doni Monardo, kepala BNPB, menyambangi Sultra. Menggelar rakor virtual penanggulangan Covid-19. Gubernur menangkap sebuah momentum. Bahwa rakyatnya di Pasarwajo, Kabupaten Buton, begitu rentan akan bencana. Terutama bencana khas pesisir. Banjir rob, abrasi, dan –yang paling mengkhawatirkan– tsunami yang sewaktu-waktu melanda. Sejarah pernah membuktikannya. Tahun 1992 silam.
Apa gagasannya? Relokasi masyarakat Pasarwajo. Ini bukan pekerjaan ringan. Dalam hitung-hitungan di atas kertas, pemerintah daerah memerlukan biaya kurang lebih Rp 1 triliun untuk keperluan relokasi ini. Ini harus dikomunikasikan dengan pemerintah pusat. Lewat BNPB sebagai langkah awal.
Gubernur lalu menemui Pak Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri koordinator kemaritiman dan investasi. Siapa yang tak kenal dengan menteri kita yang satu ini? Dan jangan ditanya betapa besar perhatiannya atas investasi di Sultra. Dari nikel hingga aspal.
Deputi dan asisten deputinya bergantian datang ke Sultra. Lantas menggelar rapat demi rapat secara masif. Dalam beberapa bulan terakhir. Salah satu visinya hendak mewujudkan posisi Sultra sebagai salah satu titik simpul industri kendaraan listrik masa depan. Baik nasional maupun global. Melalui produksi baterai lithium. Yang bahan bakunya begitu melimpah di tanah Konawe.
Dan belakangan gagasan turunan ikut mengemuka. Bahwa alih teknologi dan pengetahuan itu wajib. Dari pekerja asing ke pekerja lokal. Agar SDM Sultra membaik. Tidak hanya mengisi pekerjaan kasar bermodal otot. Tapi juga kerja-kerja keahlian, yang berimplikasi pada “menjadi tuan di negeri sendiri”. Tidak tergantung selamanya pada asing.
Perlu ada sekolah khusus. Sedikit lagi, itu terwujud. Politeknik pertambangan di Morosi. Dan juga sedang merintis politeknik kelautan dan perikanan di Buton.
Kunker Gubernur diakhiri di kementerian ATR/BPN. Menjumpai Pak Sofyan Djalil, sang menteri, yang pada September 2020 lalu, berkunjung ke Sultra. Kali ini, giliran Gubernur yang bertandang. Membicarakan sebuah pulau. Yang dipersengketakan dengan provinsi tetangga, Sulawesi Selatan. Pulau Kawikawia di Buton Selatan.
Ini isu serius. Sebab berimplikasi pada data luas wilayah Sultra. Juga ada lintasan kesejarahan dan kultural di dalamnya, yang tidak begitu saja dapat dilupakan dan diabaikan.
Hal yang hendak ditunjukkan Gubernur atas kunjungannya di empat kementerian ini, bahwa apa yang telah kita tanam, jangan dibiarkan begitu saja. Tumbuh sendiri atau justru mati. Dia harus dipupuk. Dirawat. Agar menghasilkan. Agar panennya baik.
Ide yang telah digulirkan harus ditindaklanjuti. Dimintakan kepastiannya. Diperjelas situasinya. Agar benar-benar bisa terealisasi. Gubernur memasang dirinya sebagai orang yang paling di depan memastikan itu.
Gubernur ingin menunjukkan kesungguhan. Manjadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil, kata pepatah Arab. Ini pesan kedua.
Pesan berikut yang hendak disampaikan Gubernur ialah tatakrama. Sebuah komunikasi politik. Bahwa selama ini, Sultra telah dikunjungi oleh empat menteri atau perwakilan para menteri. Hal itu dimaknai bahwa empat kementerian ini punya perhatian besar bagi Sultra. Para menteri ini peduli dengan Sultra.
Oleh karenanya, Gubernur merasa berkewajiban melakukan kunjungan balasan. Sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan. Agar jalinan emosional kian rapat. Agar pertautan visi dan idealisme menjadi lebih nyambung.
Pesan berikut yang hendak disampaikan Gubernur adalah apresiasi. Bagi para pembantu utamanya. Gubernur ingin berpesan, “Kreatiflah. Lalu saya menjadi garda terdepan mengawal kreatifitas kalian”. Akan hal kebutuhan manusia beraktualisasi, apresiasi dari pemimpin adalah sesuatu yang tak ternilai harganya.
Terakhir, pesan yang ingin disampaikan Gubernur ialah sinergitas. Bahwa negara atau daerah ini tidak bisa dibangun tanpa sinergitas dengan semua elemen. Kehadiran pejabat vertikal tingkat provinsi baik sipil maupun militer, serta kepala daerah dan jajarannya, pada kunker Gubernur merupakan perwujudan dari sinergitas pemerintahan. Gubernur menunjukkannya. Gubernur membuktikannya.
Pada penghujung tulisan ini, saya hendak mengatakan bahwa bisa jadi, Gubernur tidak secara langsung hendak menyampaikan pesan-pesan itu. Namun, sebagai rakyat. Dan secara pribadi sebagai staf, saya memilih untuk selalu menangkap hal-hal baik yang ditunjukkan pemimpin. Lalu membaginya. Sebab hal baik selalu harus dibagi. Untuk membangun optimisme.***
Penulis: Andi Syahrir