ZONASULTRA.COM, WANGI-WANGI – Lembaga Adat Kadie Mandati (LAKM) atau yang dikenal Sara Kadie Mandati, Kesultanan Buton, menolak keras Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Wakatobi ditempatkan di tanah adat milik/aset Sara Kadie Mandati. Apalagi, bila ditempatkan di Motika (Hutan) Watu Posunsu, Desa Matahora, Kecamatan Wangiwangi Selatan (Wangsel), Kabupaten Wakatobi.
Penolakan itu ditandai dengan pemasangan sejumlah plang di atas lahan yang luasnya sekira 30 hektar, yang sebelumnya berhembus kabar akan dijadikan lokasi BOP. Penolakan itu sebab kawasan hutan adat itu dianggap berbeda dengan beberapa kawasan hutan yang lain.
Konta Bitara (juru bicara adat) Sara Kadie Mandati, Nuru Dego mengatakan sejak dahulu kala tanah adat Sara Kadie Mandati tak sembarangan disentuh. Para tetua terdahulu berpesan agar masyarakat tidak mengambil sembarang dan berbuat sembarangan di hutan itu. Konon ceritanya, hingga zaman sekarang ini hutan itu masih kuat penunggunya (mahluk halus).
“Ada satu tempat di situ, batu yang berpisah dengan ujung kawasan ini, di situlah letaknya penghuni laut dan yang di darat bertemu. Kata orang tua kita dulu ada salah satu lobang dan lokasi yang disakralkan disana,” kata Nuru Dego saat ditemui di Desa Matahora. Rabu, (9/1/2019).
Pihaknya juga sedang mencari oknum yang mengatasnamakan diri sebagai lembaga adat sekaligus oknum yang menunjukkan lokasi tersebut sebagai lokasi untuk BOP. Menurut Nuru, bukan hanya lokasi itu, bahkan sejumlah lahan yang merupakan aset adat Kadie Mandati lainnya di beberapa tempat sudah dihibahkan oleh oknum yang mengatasnamakan dirinya lembaga adat.
Ditempat yang sama, Ketua Lembaga Adat Kadie Mandati, Aliuddin mengatakan hutan adat Watu Posunsu sangat penting bagi masyarakat hukum adat Kadie Mandati. “Karena Motika ini memang ada sejarahnya, bahwa ini tulang punggungnya Pulau Wangi-wangi ini. Hingga saat ini kita masih melihat buktinya karena masih banyak kejadian-kejadian yang aneh ketika kita masuk di wilayah ini begitu juga keterangan warga di sekitar sini,” ujarnya.
Kata dia, pernah terjadi sekitar 60 tahun yang lalu, ada warga dari Mandati mengelola dan merusak keberadaan hutan adat itu. Warga itu dihukum cukur gundul rambutnya kemudian menjadi tercela di mata masyarakat.
“Watu posunsu ini merupakan induk dari Motika-motika yang lain. Dulu di sini ada yang ingin memalsukan sejarah namun ditimpa oleh musibah dan pada waktu itu disambar oleh petir,” jelasnya.
Menurut Aliuddin, pada dasarnya Sara Kadie Mandati tidak ada keinginan untuk menghalangi pembangunan. Namun, hendaknya pemerintah melihat bahwa di samping mendatangkan pembangunan yang baru, jangan sampai merusak ciri khas adat dan kebudayan daerah setempat.
“Wilayah Kadie Mandati itu ada 9 desa dan 3 kelurahan. Dan kita memang dari dulu di Mandati apabila ada yang melanggar aturan-aturan adat maka kutukan itu ada. Dan itu nyata dari zaman ke zaman dan terbukti apa yang dilarang oleh leluhur kita itu nyata,” tutur Aliuddin. (B)