ZONASULTRA.COM, ANDOOLO – Kondisi sungai di Desa Lambusa, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) kini memprihatinkan. Sungai di wilayah itu diduga tercemar limbah industri rumahan pembuatan tahu dan tempe yang banyak dilakukan warga setempat.
Pantauan zonasultra.id, sungai di Desa Lambusa berubah warna keputihan (seperti cucian air beras) dan berbau tak sedap. Tidak ada ikan terlihat hidup di sekitar sungai. Di area tertentu yang aliran airnya melambat dan sedikit dalam, terlihat sekumpulan endapan seperti lumut yang berubah warna.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya sampah basah yang dibuang warga langsung ke sungai. Belum lagi lubang penampungan sampah dan kandang ternak berada di dekat bibir sungai.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konawe Selatan (Konsel), Ober Adewitra mengatakan, pihaknya sudah melakukan kunjungan baru-baru ini untuk melihat kondisi sungai di wilayah tersebut.
“Hasil yang kami lihat memang mereka membuang langsung ke sungai. Ada sekitar enam kepala keluarga. Kita hitung per rumah karena di sana itu home industri bukan pabrikan,” kata Ober saat dihubungi, Sabtu (6/3/20201).
Ober mengatakan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang dibangun pemerintah di tahun 2018 baru ada satu titik yang dimanfaatkan untuk menampung limbah cair olahan tahu dari tiga rumah. Hal itu dinilai belum efektif. Pasalnya, jarak antara rumah warga cukup berjauhan sehingga IPAL perlu dibangun di setiap rumah yang melakukan aktivitas pengolahan tahu dan tempe.
Ditambah untuk mengukur tingkat kecemaran air sungai, pihaknya perlu melibatkan tenaga ahli karena DLH Konsel belum memiliki labolatorium. Menurutnya, ada banyak parameter untuk diteliti apakah air melebihi baku mutu atau tidak.
“Jadi itu harus dibawa ke balai dinas kesehatan provinsi, sampel juga harus satu hari diambil baru dimasukkan di labolatorium, kalau tidak ada ketersediaan anggaran mubasir juga sampel kita ambil,” katanya.
Dikatakan Ober, sejauh ini hasil peninjauannya di lapangan tak ada dampak yang dikeluhakan warga. Katanya, sungai tersebut tak digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Pihaknya mengambil data sebagai dasar pengambilan kebijakan selanjutnya.
Berlangsung Puluhan Tahun
Kepala Desa Lambusa Choirul Rojikin mengaku dirinya terus berupaya mencari solusi permasalahan ini dengan melakukan konsultasi ke pemerintah kabupaten. Rojikin bahkan telah berencana membuat satu kawasan industri tahu untuk menjaga kelangsungan masa depan sungai. Namun, rencana itu terkendala lahan, juga persetujuan warga untuk direlokasi. Terlebih hal itu pasti menggunakan anggaran besar.
“Makanya kita tidak bisa buat apa-apa kalau sudah begini,” ujarnya.
Jikin, panggilan akrabnya menyebut, total 30-an industri rumahan tahu tempe tersebar di desanya, namun yang paling dekat dengan sungai berada di wilayah Blok B. Hampir di sepanjang sungai itu terdapat industri rumahan. Jikin berharap, pemerintah kabupaten dapat memberikan bantuan IPAL sesuai jumlah industri yang aktif.
“Masalahnya, kalau IPAL dibangun cuma satu titik, pasti kurang. Pertama karena daya tampungya tidak imbang dengan jumlah rumah produsen tahu, kedua, jarak rumah yang berjauhan, ketiga, kalau bangun satu yang lain pasti cemburu,” ungkapnya.
Ia mengaku industri tahu di desanya sudah berlangsung puluhan tahun, tak lama sejak program transmigrasi pemerintah mendatangkan masyarakat mendiami wilayah itu. Dan selama itu tak pernah ada dampak yang sangat membahayakan kehidupan. Dirinya juga mengaku belum pernah menerima keluhan dari warganya.
Sementara itu, salah seorang warga sekitar bernama Budi yang bermukim tak jauh dari bibir sungai mengaku sudah terbiasa dengan bau tak sedap sungai yang ditimbulkan oleh olahan tahu. eski begitu dirinya mengakui tak nyaman.
“Yang paling tidak enak itu kalau pas lagi makan,” keluh Budi.
Budi mengatakan, sudah sering mengeluh ke pihak pemerintah, namun sampai saat ini belum juga ada hasil. Padahal katanya, dulunya warga sekitar sering memanfaatkan sungai dekat rumahnya untuk mandi dan mencuci kendaraan maupun pakaian.
“Sekarang orang tidak berani turun, airnya gatal, kotor juga. Kalau untuk minum masak kita pasok dari air PAM dari gunung, lewat pipa dialiri,” terangya.
Hal yang sama juga dikeluhkan seorang petani sawah bernama Sutopo. Ketua kelompok tani Sido Mulyo 1 ini mengakui sungai yang melewati persawahanya terasa gatal dan berbau. Pasalnya, letak sawahnya berada di sekitar hilir sungai.
“Saya kalau mau cuci badan tidak berani turun (di sungai) mending cuci di rumah. Jangankan kita manusia, ternak sapi, bebek saja tidak mau turun dibawah,” keluhnya.
Meski begitu, Sutopo mengaku air yang bercampur limbah olahan tahu baik untuk tanaman. Ia mempercayai kandungan cairan olahan tahu dapat menyuburkan tanaman. (a)