Masuknya Indonesia dalam 10 besar negara dengan kasus positif COVID-19 di Asia harus menjadi alarm bagi pemerintah, perlunya evaluasi atas kebijakan penanganan pandemi selama ini. Melansir worldometers, Indonesia masuk dalam 10 besar kasus positif terbanyak di Asia. Tercatat, kasus positif yang dilaporkan negara-negara Asia sebanyak 2.973.219 kasus. Kasus kematian di Asia sebanyak 70.555 dan banyaknya kasus sembuh berjumlah 2.064.179 orang.
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla memberi peringatan bahwa jumlah penderita virus corona atau Covid-19 di Indonesia akan meningkat hingga mencapai jumlah 120 ribu jika tidak ada intervensi maksimal untuk mencegah risiko penularan. Salah satu ciri dari Covid-19 selain mematikan adalah sangat cepat penularannya. Di Indonesia ketika awal pandemi ini pada bulan maret, butuh waktu 2 bulan untuk mencapai angka 10 ribu. Sekarang hanya butuh waktu 7 hari untuk kita bertambah lagi 10 ribu. Jusuf Kalla menegaskan bahwa salah satu cara paling efektif untuk menghambat penularan wabah Covid-19 adalah mengurangi pergerakan orang, selain upaya mematikan virus dengan cara melakukan penyemproran disinfektan.
Apalagi WHO melansir temuan terbaru mengenai penyebaran virus ini. Sebanyak 239 ilmuwan di 32 negara menyatakan virus corona SARS-CoV-2 menular tidak hanya melalui percikan liur atau droplet. Mereka mengatakan virus yang menyebabkan penyakit Covid-19 itu juga bisa menular lewat udara. Dalam surat terbuka, ilmuwan sepakat penularan terjadi lewat percikan kecil liur yang bertahan di udara (airborne). Percikan yang tertahan dan melayang di udara itu bisa menularkan virus SARS-CoV-2 jika terhirup orang lain.
Meskipun pemeriksaan masif, tapi kalau penyebab penularan tak dihentikan. Dapat dipastikan korban akan semakin banyak berjatuhan. Jadi anggapan itu adalah keberhasilan dalam tracking semata, adalah hal yang mengada-ada.
Dalam masyarakat sendiri memandang bahwa new normal life adalah hidup normal seperti biasa. Mereka tak menganggap ribuan kasus setiap hari sebagai ancaman. Sehingga banyak yang tidak mengikuti protokol kesehatan. Beraktivitas seperti biasa. Berkumpul dan mengadakan acara-acara adalah hal biasa. Baru terasa apabila salah satu atau beberapa orang di lingkungan mereka terjangkit virus ini.
Tidak bisa menutup mata, tidak akan ada asap tanpa adanya api. Kondisi saat ini tidak akan terjadi jika penanganan di awal munculnya wabah ini bisa diantisipasi. Lambatnya penanganan sejak wabah ini muncul di tengah masyarakat memperlihatkan kesemrawutan kondisi saat itu. Tidak langsung diputuskannya karantina dan mengulur-ulur kebijakan saat itu menyebabkan virus cepat menular ke daerah lainnya. Jika kebijakan yang diambil masih sebatas perhitungan untung dan rugi, sebagai mana anggapan kapitalis, maka seluruh kebijakan saat ini akan dinilai benar. Dan hasilnya menguntungkan pihak lain tapi merugikan masyarakat.
Hal yang harus dilakukan dalam menghadapi wabah ini adalah mencari benang merah penularannya. Berarti harus memutus terlebih dahulu rantai penularan tersebut. Kebijakan new normal life saat ini, terlihat sebagai keputusan yang dipaksakan. Daerah-daerah di negeri ini sebenarnya belum siap menghadapi new normal life. Tapi, karena tuntutan ekonomi harus mengikuti aturan itu.
Temuan-temuan baru terhadap sebaran virus Covid semestinya diiringi tindakan nyata pemerintah untuk memastikan putus rantai penularan. Sementara pemerintah mengkonfirmasi temuan PBB bahwa ada peluang sebaran melalui udara (airborne), tidak ada kebijakan antisipasi terhadap pekerja kantoran, pegawai BUMN bahkan ASN. Semua rekomendasi berpulang pada kesadaran dan kehati-hatian individu. Pemerintah semestinya juga tidak menganggap sepele kasus OTG karena alasan tidak membebani RS, karena OTG terutama dari kalangan milenial di era pelonggaran bisa menjadi sumber ledakan baru
Jadi, jika masalah ini ingin diselesaikan dengan tuntas. Kebijakan harusnya bukan berdasar untung dan rugi. Tapi demi menyelamatkan nyawa masyarakat. Dan memenuhi segala kebutuhan yang didasari pada panggilan keimanan. Apalagi kalau bukan bersandarkan pada Islam?
Oleh : drg Endartini Kusumatuti
Penulis adalah Praktisi Kesehatan Kota Kendari