Saat ini wacana new normal sudah berjalan. Aktivitas transportasi yang sempat vakum beberapa bulan, kini mulai beroperasi lagi, kendati masih dengan aturan protokol kesehatan yang ketat. Bagi masyarakat yang ingin bepergian diwajibkan untuk melakukan uji rapid dan swab test terlebih dahulu, sebagai legalitas dalam bepergian di masa pandemi. Tentu ini sebagai langkah preventif agar wabah tak menyebar luas.
Sebagai langkah preventif maka keberadaan rapid dan swab test harusnya dapat tersedia dengan mudah, murah dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Namun kondisi hari ini berbeda. Alat penting ini justru berbiaya tinggi. Bahkan melampaui kemampuan financial masyarakat. Saat ini rapid dan swab test dibandrol dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 2.400.000. Belum lagi dengan masa berlakunya yang cukup singkat, yakni hanya tiga dan tujuh hari saja.
Ironisnya lagi, alat uji yang berbiaya tinggi ini telah memakan korban jiwa. Sebagaimana yang terjadi di Kota Makassar Sulawesi Selatan. Seorang ibu harus kehilangan sang Bayi karena tak bisa mendapatkan pelayanan dari pihak Rumah Sakit (RS). Sebab Sang Ibu tak dapat melakukan swab test karena tak mampu menebus biayanya. Diketahui harga sekali swab test di RS tersebut seharga Rp 2.400.000 (Makassar.kompas.com, 19/06/2020).
Tentu hal ini sangat disayangkan. Niat awal ingin melindungi rakyat justru jadi berakibat fatal. Itulah mengapa dahulu banyak rumor berkembang bahwa ada yang lebih membunuh dari Coronavirus, yakni kebijakan yang tak pro rakyat kecil. Dan ini terbukti, selain kejadian yang menimpa sang Ibu di atas adapula rakyat yang meregang nyawa karena kelaparan di tengah pandemi. Akibat bansos yang tak kunjung tiba (banten.suara.com, 20/04/2020).
Gaung Komersialisasi Mengudara
Mahalnya biaya rapid dan swab test tak sedikit mengundang sejumlah perhatian. Tak ayal, gaung komersialisasi diucapkan sejumlah ahli. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, menyebutkan kalau saat ini sedang terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan akibat lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini (makasar.kompas.com, 19/06/2020).
Bagaimana tidak, harga ini begitu mencekik rakyat yang secara notabene keuangan mereka saat pandemi bergejolak sangat-sangat terdampak. Ditambah, saat ini belum ditentukannya Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi alat ini sendiri (today.line.me, 21/06/2020). Sehingga membuka cela terjadinya permainan harga. Begitupula dengan anggota Ombudsman RI Laode Ida. Pihaknya juga tak menampik bahwa uji pemeriksaan virus Covid-19 hari ini menjadi ajang bisnis tersendiri dari kalangan atau kelompok pebisnis di Tanah air (nasional.sindonews.com, 22/06/2020). Lagi-lagi amat disayangkan!
Buah Kapitalisasi
Inilah potret buram pengaturan rakyat di kondisi saat ini yang seolah kehilangan kepekaannya terhadap fakta yang ada. Sehingga wajar bila dana penanganan wabah mulai dipertanyakan, dibalik mahalnya biaya sekali rapid dan swab test ini. Sebagaimana diketahui, dana penanganan Covid-19 ini sebanyak Rp 667 T (nasional.sindonew.com,22/06/2020). Sejumlah pihak berharap agar biaya rapid dan swab test ini dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat atau bahkan digratiskan, itu lebih baik lagi.
Sebelumnya, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengonfirmasi bahwa tingginya biaya rapid dan swab test ini dikarenakan Negara memang tak memfasilitasi semua secara percuma. Untuk itu pihaknya membantah bahwa pihak RS swasta telah melakukan “aji untung’. Karena mereka memang harus membeli sejumlah alat-alat yang diperlukan seperti alat, reagen dan membayar tenaga medis yang bertugas (makasar.kompas.com, 19/06/2020).
Inilah mirisnya, bila Negara hanya bertindak sebagai regulator. Jalannya periayahan diserahkan kepada pihak pasar/swasta. Tak ayal rakyat harus berhadapan dengan sejumlah kebijakan pelaku usaha yang sudah kadung mematok harga tinggi. Inilah cara-cara pengaturan berbasis kapitalisme dimana segalah sesuatunya diukur dengan standar laba-rugi. Pilunya, urusan kemanusiaan pun masih diwarnai dengan hitungan demikian pula.
Inilah derita hidup di alam kapitalisme. Yang menjadikan setiap aktivitas kehidupan diarahkan pada pencapain benefit semata. Padahal sebagai perisai, Negara harusnya menempatkan dirinya sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya. Negara harus memasang badan demi melindungi rakyatnya. Karena begitulah amanah kepemimpinan yang diembannya dahulu. Yakni, fokus mengurusi urusan rakyat. Bukan meninggalkan mereka, lalu hajat hidup mereka diserahkan pada mekanisme pasar. Sebagaimana paham dalam sistem kapitalisme. Walhasil, jadilah rakyat nasibnya kini bak pepatah kuno mengatakan ‘sudahlah jatuh tertimpah tangga pula’. Wallahu’alam bi showab
Oleh: Rosmiati
Penulis Merupakan Relawan Media dan Opini