Setiap mereka yang menapaki karier, selalu menyimpan asa bahwa hari demi hari yang dilewatinya adalah undakan menuju puncak. Lalu kelak, ketika waktu telah menggerus segalanya, mulai menuruni tangga-tangga itu dengan legowo. Baik itu turun secara linear maupun eksponensial. Normalnya begitu.
Ada yang tidak normal. Adalah mereka yang enggan turun. Atau jika harus turun mereka sakit. Lalu merana. Menjadi mangsa empuk penyakit-penyakit degeneratif.
Tetapi ada pula yang ajaib. Mereka yang tetap berdiri pada satu anak tangga. Dengan setia mengabdi. Nrimo kata orang Inggris (baca: Jawa….eh Bugis…terserah). Hingga waktu menghentikannya. Bahwa dia telah sampai pada anak tangga terakhir yang sebenarnya menjadi anak tangga pijakan awalnya.
Orang menyebutnya Pak Karno. Saya belum pernah melihat dia sebelumnya. Wajahnya kukenali dari sebuah fotonya yang terlihat duduk bersama sahabatku, Marwan Akbar Marzuki, seorang pejabat yang mengurusi segala tetek bengek kepegawaian di kantor kami. Dari urusan teman sampai taman. Dari urusan AC hingga WC.
Kisah tentang Pak Karno inipun baru saya ketahui dari Mr. M, sapaan “misterius” Marwan. Saat Anda membaca Mr. M, perasaan Anda harus tergiring pada Mr. Bond dalam film James Bond, agen rahasia yang selalu berada di balik layar menyelamatkan dunia. Kira-kira perannya demikian…hehehe (betewe, kita mau cerita Pak Karno atau Mr. M…eh James Bond, nih?)
Saya terkaget-kaget mendengar penjelasan singkat dari Mr. M bahwa Pak Karno telah mengabdi di kantor kami selama lebih dari 30 tahun. Tapi bukan itu sumber utama keterkejutan –yang lebih kepada rasa kagum saya. Adalah Pak Karno di rentang waktu itu tidak pernah beranjak dari tugasnya sebagai “penjaga kantor di malam hari” dalam pengertiannya yang harfiah.
Dia seperti makhluk nokturnal di kantor kami. Tidak pernah kelihatan di siang hari. Tapi di malam hari, dia adalah penanggungjawab keamanan kantor milik pemerintah itu. Dia adalah jenderal sekaligus prajurit ketika gelap telah datang membungkus bumi.
Pak Karno mengawali karier sebagai pegawai negeri sipil golongan satu pada tahun 1985. Di penghujung kariernya dia menduduki pangkat III A, dan akan pensiun dengan pangkat penghargaan III B. Istri yang dinikahinya telah memberinya tiga orang anak, dimana salah satu anaknya telah menikah dan memberinya dua orang cucu.
1 Juni 2017, Pak Karno pensiun. Tugasnya sudah selesai. Dia barangkali akan mulai menikmati istirahat malam tanpa terinterupsi oleh tanggungjawabnya sebagai penjaga. Sebagai pengawal. Tugas yang tak kalah mulianya dengan pekerjaan yang lain. Seperti sebiji sekrup yang turut memperkokoh keseluruhan struktur mesin. Bukankah kita semua adalah sebiji sekrup dalam semesta apapun?
Kita dapat saja saling menimpakan tanggung jawab ketika sedang salah, tapi Pak Karno tidak. Dia bekerja sendirian. Jika dia lalai, satu-satunya pelindungnya adalah kebijaksanaan dari kita semua. Permakluman dari kita semua.
Tidak banyak orang yang seperti Pak Karno. Dan atas pengabdiannya, tulisan ini adalah penghormatan untuknya di malam terakhirnya sebagai penjaga, pengawal, dan pelindung aset-aset negara. Kepergiannya perlu dilambari rasa takzim. Pak Karno mengajarkan kita tentang cara dan rasa bersyukur yang berlipat-lipat. Terima kasih Pak Karno.***
Oleh: Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial