Maukah Demokrasi Terus Dicegat?

Jufra Udo
Jufra Udo

Seorang kawan berujar; “Tak ada ruang lagi bagi kita untuk jadi kontestan pesta demokrasi lima tahunan?

Mengapa? Tanyaku.

“Sebab tak ada saluran gagasan dan pemikiran didalam. Yang ada adalah arus kekuatan kapital. Jika tak punya, pupuslah harapan kita untuk jadi kontestan. Cukup tinggal di luar konstestasi. Pemilih pun masih menghendaki itu. Sulit ditangkal,”

Benar kegundahan kawan saya. Barangkali ini hanya segelintir dari hirap asa tentang demokrasi.

Pasca Orde Baru, ruang demokrasi terbuka lebar. Dan itulah tujuannya. Yakni mengakhiri oligarki kekuasaan yang selama ini berjalan. Hingga siapapun bisa berkompetisi di dalam. Mereka bisa calon, dan berharap dipilih oleh rakyat.

Sayangnya bayang-bayang oligarki itu kembali tumbuh. Dikuasai oleh mereka yang melakukan semua cara demi mendulang suara.

Barangkali, satu hal yang mainsteram dari upaya itu, yakni politik uang. Yakni memberi atau menjanjikan sesuatu hal yang berbau rupiah, agar dipilih. Sedari awal terbukanya kebebasan berdemokrasi, politik uang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tubuh demokrasi lima tahunan.

Politik uang didefinisikan sebagai kejahatan demokrasi. Olehnya, pelbagai regulasi perundangan diupayakan untuk mencegat guritanya. Memang persimpangan jalan demokrasi kita, tak lebih dari pesta perayaan janji dan pemberian. Yang dihasilkan dari perayaan ini, adalah mereka yang tak tercegat, dan pasti pelaku politik uang.

Negara jua sudah membuat instrumen kelembagaan untuk menjaga warwah demokrasi.

Misal, Bawaslu. Diantaranya, bertujuan agar demokrasi kita tak terjebak gurita politik uang. Nahasnya, gurita ini terus berjalan. Tentu saja, dengan ragam modus dilakukan untuk diselipkan di ruang-ruang kontestasi.

Pra pileg 2019 saja, Kepolisian RI sudah mencatat ada 554 laporan dugaan pelanggaran Pemilu 2019 yang diterima Sentra Gakkumdu.

Dilansir dari katadata.co.id, ada 132 laporan yang dinyatakan sebagai tindak pidana Pemilu karena memenuhi unsur formil dan materiil. Ada 442 laporan dianggap tidak terbukti. Rata-rata pelanggaran pemilu ini didominasi politik uang.

Politik uang memang berbahaya. Kebebasan berdemokrasi timpang. Bisa dibajak, lalu tumbuh gap-gap sosial. Hanya dikuasai oleh pemodal yang umumnya tumbuh dari patronase kekuasaan yang sudah barang pasti adalah pemodal. Faktanya demkian.

Misalkan, di Sulawesi Tenggara. Figur lolos di DPR-RI, yakni mereka yang dihasilkan dari patronase. Ada mantan kepala daerah hingga anak kepala daerah. Jika dibijaki, tentu ini adalah takdir. Apa hanya berhenti disini?

Upaya semua pihak diharapkan. Urgensi pengawasan dari kelembagaan sangat perlu. Demikian pula halnya pengawasan partisipatif dari masyarakat. Terlebih sudah ada produk hukum yang secara fungsional berupaya untuk memberangus kejahatan politik uang.

Kita bisa contohi tindak tegas terhadap Mandala Shoji dan Lucky Andriani pada Pileg lalu.

Mandala dan Lucky ketahuan membagikan kupon undian berhadiah umrah agar dipilih ketika berkampanye di Pasar Gembrong Lama, Johar Baru, Jakarta. Keduanya terbukti melanggar Pasal 280 angka 1 huruf j Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Karenanya, Mandala dan Lucky divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider 1 bulan penjara.

Saya berharap tindak tegas wajib dilakukan. Qou vadis demokrasi kita harus dijawab. Salah satunya penegakan hukum terhadap politik uang. Karena ini mencederai demokrasi kita secara subtantif. Demokrasi tidak boleh kehilangan makna. Kedaulatan rakyat harus diperkuat dan tumbuh sebagai kekuataan, agar tidak dicegat oleh simpang kekuasan yang hanya dinikmati elit kapital.

Satu sisi memang ini dilematis juga. Disisi lain, bisa didefinisikan sebagai kejahatan. Pun demikian, politik dijebak delusi budaya. Selama ini masyarakat kita mengenal budaya terima kasih atas kerja-kerja tertentu, sehingga nyaris tak ada jasa yang diganjar pemberian berupa materi.

Delusi itu tumbuh dalam kerangka kontestasi politik. Masyarakat menganggap sebagai budaya terima kasih. Nahasnya, kerja-kerja pemenangan sangat sulit dilakukan tanpa imbalan. Upaya tukar jasa berlangsung sebagai hal yang sulit dicegah.

Terlebih di tengah hiruk kejenuhan politik. Tumbuh satu golongan yang apatis. Kontestasi demokrasi dianggap penuh intrik dan kebohongan. Semua harapan yang diserap oleh janji saat konstestasi tak kunjung terealisasi. Akhirnya, diakhiri dengan menjual suara. Politik uang jadi satu-satunya cara untuk mengobati titik jenuh itu.

Apapun rupa dilematisnya, tak ada ampunan. Politik uang tetaplah ujud kejahatan. Penting untuk diakhiri.

Perlu diingat, pada 2020 mendatang ada 270 daerah yang helat pesta demokrasi. Yakni 9 pilgub, 224 pilbup, dan 37 pilwali. Masih maukah demokrasi kita terus dicegat?

 

Oleh : Jufra Udo
Penulis Merupakan Aktivis HMI Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini