Media massa itu bisa seperti kipas. Iya, seperti kipas tukang sate. Yang membuat setitik panas bisa jadi bara yang memanggang. Menjalar kemana-mana hingga ke ruang-ruang primordial yang begitu sensitif.
Memang mengipas itu nikmat. Mengobarkan. Memeriahkan. Menghirukpikukkan. Menjadi pusat perhatian. Eksamplar naik. Klik meninggi.
Itu nikmat. Untuk media sendirian. Tidak bagi ruang yang majemuk. Yang memiliki titik didih berbeda. Yang punya sensitifitas beragam.
Media juga bisa menjadi tetes embun. Yang memadamkan titik-titik api.
Tetes embun adalah perekat. Menautkan hal-hal yang memisah. Menghijaukan kembali yang layu. Membasahi yang kerontang.
Memang, tetes embun adalah dunia yang sunyi. Embun hadir dalam diam. Di tengah subuh yang dingin. Meredam yang panas. Mematikan titik api. Tetes embun adalah kesepian.
Bumi Anoa. Ada setitik panas di bahtera yang baru berlayar. Itu adalah proses menyamakan irama dari dua pemegang kendali dwi-tunggal. Dua tapi sesungguhnya menyatu. Proses menyeiringkan langkah.
Anda aktivis media? Silakan memilih. Menjadi kipas yang membarakan bahtera? Atau menjadi embun yang memadamkan.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan pemerhati sosial & alumni UHO