Seseorang ditafsir melalui cara dia berkomunikasi. Dalam wilayah politik (praktis), komunikasi dikaji dalam kerangka mekanistis –siapa yang berbicara kepada siapa, melalui saluran apa, dan bagaimana efeknya.
Secara teoritis, komunikasi politik dapat dikaji dalam empat perspektif, yaitu persepsi, citra, dialog, dan tindakan politik. Kerangka mekanistis dan perspektif saling berkelindan dan menjelma menjadi ranah bermain para politisi. Sadar atau tidak sadar. Tahu atau tidak tahu.
Komunikasi politik adalah proses yang terus berlanjut. Tidak hanya ketika peristiwa suksesi kepemimpinan, misalnya. Tapi terus berlangsung di sepanjang perguliran roda kekuasaan.
Kita ke Kota Kendari. Tidak akan membahas cara Asrun-Musadar menjalankan komunikasi politiknya dalam membangun kota. Tapi jauh dipersempit pada komunikasi keduanya –tentu saja termasuk politisi lain– dalam upaya meraih/mempertahankan kekuasaan dalam momentum Pilkada 2017.
Tulisan ini lebih dipersempit lagi pada upaya membaca komunikasi politik para calon Walikota Kendari melalui media (baik media massa mainstream/sosial maupun ruang publik).
Politisi atau figur yang akan dibahas adalah mereka yang sudah menampilkan diri atau ditampilkan/disebut secara tegas. Mengapa? Karena di sanalah dasar kita membaca. Jadi, minta maaf ke mereka yang mau menjadi calon walikota tapi belum muncul ke publik sejauh ini.
Anda tidak terkategorisasi dalam tulisan sederhana ini demi menjaga dari fakta, data, atau informasi yang tidak terverifikasi. Sama halnya dengan tulisan-tulisan bertema politik saya sebelumnya, bahwa ini dibuat dalam rangka berdialektika.
Jauh sekali –bahkan sama sekali tidak ada– dari maksud-maksud seperti yang tertuang dalam surat edaran Kapolri tentang “hate speech” (ujaran kebencian) yang lagi ramai diperbincangkan.
Tulisan ini hendak berkontribusi dalam upaya penyadaran kita agar lebih mengenali sosok calon pemimpin publik, setidaknya melalui komunikasi politiknya. Kesadaran itu akan bermuara pada eliminasi praktek politik transaksional yang sudah terbiasakan di masyarakat.
Tentunya, ulasan tentang mereka sangat terbatas pada subyektifitas saya meski telah berusaha dipagari dengan pandangan obyektif. Jadi, silakan berbeda. Mari kita memulainya berdasarkan abjad.
Abdul Rasak
Balihonya hadir dengan tagline “Satu Hati”. Saya langsung ingat Honda. Barangkali inspirasinya dari produsen sepeda motor ternama itu. Rasak hendak menyatakan bahwa jika hati sudah menyatu, semua jadi ringan. Segalanya bisa dilakukan.
Akan tetapi, jika dimaknai secara mendalam, jargon “Satu Hati” sesungguhnya tidak membawa sebuah pesan apapun dalam perspektif membangun Kendari. Kalau hati kita sudah menyatu, lalu apa? Apalagi yang Anda tawarkan setelah hatiku menyatu dengan hatimu?
Malah, konsepsi “hati yang satu” dapat berdampak pada kebutaan akan realitas. Karena jika hati sudah satu, benar dan salah menjadi tidak penting lagi.
Dua atau lebih pemaknaan atas jargon “Satu Hati” ini mengamini pandangan Anwar Arifin (2003), bahwa komunikasi politik non verbal merupakan peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak.
Oleh karena itu, Rasak tidak boleh berhenti pada sekadar menyatukan hati. Seharusnya, ada pesan yang lebih operasional dan ideologis.
Sebagai contoh, jargon “Jokowi-JK adalah Kita” merupakan salah satu komunikasi non-verbal yang membuat figur Jokowi-JK terproyeksikan sebagai sosok yang identik dengan rakyat Indonesia.
Muda dan cerdas adalah variabel-variabel kualitatif potensial yang dimiliki Rasak untuk melahirkan komunikasi politik yang menarik empati para pemilih. Tentu saja, harus dikemas dengan sangat bijak.
Abdurrahman Shaleh
Jika komunikasi publiknya diukur dengan jumlah baliho, maka Abdurrahman Shaleh termasuk politisi yang buruk komunikasinya. Tapi hal itu dapat dimaklumi, karena memasang baliho adalah pilihan-pilihan taktis yang dipengaruhi oleh banyak hal. Soal momentum dan “perbekalan”.
Tetapi untuk ukuran seorang politisi yang sudah lantang menyatakan siap mencalonkan diri, Abdurrahman Shaleh belum membawa idealisme apapun. Saya tidak menemukan gagasan apa yang diusungnya.
Belum ada personalisasi yang dicitrakan Abdurrahman Shaleh sehingga menggugah rasa empati publik. Saya justru memaknai bahwa tindakan-tindakan politiknya masih sebatas langkah-langkah elitis di tataran partai.
Saya menangkap kesan bahwa Abdurrahman Shaleh sebenarnya tidak setotal/seserius Abdul Rasak untuk bertarung memperebutkan pintu PAN (dan koalisinya kelak). Dia masih ragu tentang peluangnya dan belum berpikir akan maju dari pintu partai lain, lebih-lebih melalui perseorangan.
Selain itu, posisinya sebagai Ketua DPRD Sultra sebenarnya lumayan empuk untuk dipertaruhkan melawan Abdul Rasak ataupun Adriatma Dwi Putra, “Sang Putra Mahkota”. Atas alasan di atas inilah, saya memprediksi Abdurrahman Shaleh tidak akan maju.
Adriatma Dwi Putra
Adriatma adalah salah satu politisi yang dibesarkan ayahnya dalam pengertian yang sangat utuh. Secara biologis, dan kini secara ideologis.
Tidak bisa dipungkiri, keberhasilannya duduk di parlemen provinsi dengan daerah pemilihan Kota Kendari tidak terlepas dari campur tangan ayahnya, walikota sekaligus Ketua PAN Kota Kendari. Tidak tanggung-tanggung, dia merupakan peraih suara terbesar.
Atas nama elektabilitas, beberapa hari lalu sang ayah, Asrun, menyatakan mendukung sepenuhnya jika putranya itu maju menjadi calon walikota.
Sepanjang kariernya di DPRD Sultra, komunikasi politiknya buruk. Gagasan ataupun pendapat relatifnya –melalui perantaraan media massa– pun tidak kedengaran. Padahal, posisinya adalah salah seorang ketua komisi.
Sebagai politisi “berdarah biru” dan dibesarkan dalam iklim kehidupan “istana”, Adriatma menjalankan manuver-manuver politiknya dalam ruang-ruang elit birokrat partai. Tidak ada relasi ideologis yang mempertautkan dirinya dengan rakyat secara emosional.
Di kalangan pekerja pers, mencari informasi tentang langkah-langkah politik Adriatma, lebih mudah jika bertanya ke ayahnya. Kenapa wartawan lebih memilih mencari penegasan dari sang ayah ketimbang langsung ke dirinya? Pesan yang sampai ke kita adalah susah menemui orang ini.
Adriatma harus mengubah komunikasi politiknya. Dia harus rajin membuka kran dialog ke publik. Lewat media massa, pun di media sosial atau di ruang publik. Setidaknya, satu dua baliho besar tentang gagasannya cukuplah.
Andi Musakkir Mustafa
Sekian lama menghilang dari panggung politik Kendari pasca lengser sebagai wakil walikota, Musakkir kini masuk dalam bursa calon walikota. Dengan balihonya yang besar-besar di beberapa titik strategis, Musakkir masih sebatas memperkenalkan diri sebagai calon. Di media sosial pun masih sekadar meminta doa dan dukungan.
Dari sudut pandang komunikasi politik, ini masih merupakan langkah agak ragu. Juga bisa dikatakan agak terburu-buru. Agak ragu karena afiliasi politik Musakkir yang agak lemah.
Dia kader Golkar –yang masih terlilit persoalan internal. Terkesan terburu-buru karena calon serius lainnya sudah menabuh genderang. Oleh karena itu, Musakkir masuk ke ruang publik kita hanya sebatas meminta doa dan dukungan.
Dia mengawalinya dengan mencoba mengembalikan ingatan warga Kendari tentang kenangan beberapa tahun silam. Tapi dia tak berhenti di situ. Musakkir memasang stiker di balik kaca belakang angkutan kota dengan gambarnya yang berkacamata hitam.
Saya tidak terlalu mengerti kenapa dia berkacamata hitam untuk menyosialisasikan dirinya. Barangkali dia sedang membangun citra sebagai pria (masih) tampan di usianya yang 50 tahun. Semoga masih banyak pemilih yang preferensinya lebih ke pertimbangan ketampanan.
Amarullah
Legislator PDI-P ini sebenarnya bukan politisi. Dia adalah birokrat tulen yang di penghujung kariernya sukses memanfaatkan popularitasnya di panggung Pemilu 2014. Apalagi dia mantan sekretaris daerah.
Di media sosial, dia hadir dengan tagline “Andalannya Orang Kendari”. Pengertian sederhanya, andalan berarti orang yang dapat menjadi tameng, tempat bersandar, mengadu, mencari solusi.
Pilihan taglinenya cukup komunikatif. Bahasanya dibangun dengan kultur warga Kendari. Mudah dipahami secara tekstual dan kontekstual. Ini memancing kita untuk lebih mencari tahu tentang siapa dia.
Dalam pandangan subyektif saya, menjadi orang yang diandalkan, jika diterjemahkan secara harfiah, berarti orang itu dipersyaratkan harus kuat –dalam pengertian yang luas.
Dimana kekuatan seorang Amarullah sehingga dia bisa diandalkan? Fakta yang ada adalah usianya sudah 60 tahun dan seorang pensiunan. Oleh karena itu, perlu sentuhan komunikasi politik yang cerdas untuk mengelola fakta itu.
“Andalannya Orang Kendari” harus disusul dengan wacana yang benar-benar bisa menjadi jualan bahwa orang ini memang dapat diandalkan.
Ishak Ismail
Dari sekian kandidat walikota, figur yang satu ini terbilang paling progresif. Ishak telah mengebom Kota Kendari dengan baliho. Kemana sudut mata memandang, ada dia dengan latar “Hanura”-nya yang kental. Jargon “Anak Lorong” bukan hanya mengisi ruang publik secara fisik, tapi memaksa kita untuk menerjemahkan maknanya.
Meski gagasan ini tidak orisinil, tapi citra yang hendak dibangun Ishak adalah kaum marjinal pun bisa jadi walikota. Memangnya hanya elit saja yang bisa jadi pemimpin, rakyat kecil (baca: anak lorong) juga bisa.
Ide ini adalah “ceruk pasar” dalam khasanah politik lokal Kendari. Ishak berhasil mengisinya. Dia pun telah banyak melontarkan konsep anak lorong dalam konteks yang lebih fungsional.
Kita perlu mengapresiasinya bahwa setidaknya Ishak sudah mengkomunikasikan hendak dibawa kemana Kendari di bawah kepemimpinannya. Persoalan bahwa kita setuju atau tidak, itu urusan lain.
Sayangnya, progresifitas Ishak kerap terdistorsi menjadi terlalu agresif sehingga alih-alih meraih simpati, justru menuai kontroversi. Misalnya, ketika fungsionaris Gerindra Kendari merasa tersepelekan karena Ishak yang langsung ke Jakarta.
Juga terlihat dari gesekannya dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada peristiwa baliho “Walikota Kendari Selanjutnya”.
Tetapi kontroversi juga bagian dari pengungkit popularitas bukan? Ishak sedang membutuhkannya. Saat ini, Ishak merupakan salah satu kandidat yang paling serius, paling total, paling berani untuk sesuatu yang belum pasti. Dia bertipe petaruh sejati. Kita tunggu apakah dia juga seorang petarung sejati.
Musadar Mappasomba
Sosoknya hadir dan tercitra sebagai pemimpin lurus, sederhana, santun, dan bersih. Saya mempercayainya ini bukan pencitraan artifisial. Saya meyakininya, citra itu adalah refleksi kepribadiannya.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, dia pun sedikit menyesuaikan diri dengan tagline partainya, “Berkhidmat untuk Rakyat”. Dia pun rajin mengisi rubrik agama di sebuah media cetak lokal.
Tetapi dalam politik praktis, citra sebagai pemimpin relijius tidak harus berhenti dalam keseharian sebagai personal. Relijiusitas itu harus membumi dalam bentuk gagasan-gagasan pembangunan.
Dalam konteks ini, sebagai kandidat petahana, kelak Musadar rentan terkena negative campaigne ketika proses pilkada berlangsung.
Salah satu data yang tak bisa dipungkiri adalah menjamurnya diskotek dan tempat hiburan lainnya di bawah kepemimpinan seorang wakil walikota yang alim. Ini pahit, tapi realaitas.
Sebagai pemain politik, Musadar seharusnya tidak hanya mempersonifikasi diri sebagai pemimpin relijius, tapi membumikan relijiusitas itu dalam bentuk yang lebih konkrit melalui komunikasi politiknya di masa-masa mendatang. (***)
Andi Syahrir
Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial