Membidik Kepala Daerah Harapan Rakyat

Mutawally
Mutawally

Kurang dari beberapa bulan lagi memasuki tahun 2018, tahun dimana bangsa Indonesia akan melangsungkan hajat demokrasi berupa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah di tanah air. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa pilkada 2018 merupakan pilkada serentak dengan jumlah terbanyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya pada tahun tersebut terdapat 171 daerah peserta pilkada dengan rincian 17 Provinsi, 39 kota, dan 115 Kabupaten. Maka tak heran jika kemudian para pimpinan partai politik mengintruksikan kepada para kader dan simpatisan agar menggerakkan mesin-mesin partai semaksimal mungkin demi memenangkan calon-calon kepala daerah yang diusung.

Mutawally
Mutawally

Pergerakan mesin partai yang mulai intens membuat peta politik di berbagai daerah peserta pilkada semakin menarik untuk diperhatikan. Tahun 2018 yang oleh Presiden Jokowi disebut sebagai tahun politik telah menginisiasi banyak kalangan untuk turut ambil bagian di dalamnya. Hal Ini terlihat dari banyaknya putra-putri daerah yang mendeklarasikan diri, atribut dan jargon kampanye yang terpasang di berbagai ruas kota yang begitu semarak, deal-deal politik antar parpol satu dan lainnya, hingga perbincangan yang begitu masif di kalangan masyarakat mengenai kandidat dengan elektabilitas dan basis masa terkuat, serta gunjang-ganjing bakal calon kepala daerah yang akan memperoleh kendaraan politik.

Alih-alih berusaha memperoleh kendaraan politik, para kandidat calon kepala daerah juga dituntut untuk melakukan jihad besar, yakni jihad meraih simpati masyarakat luas. Istilah blusukan yang dipopulerkan oleh Jokowi Dodo pun menjadi gaya kampanye yang banyak difavoritkan. Suksesi Jokowi Dodo dengan gaya blusukannya telah menginspirasi banyak orang dengan dalih bahwa turun ke masyarakat merupakan langkah efektif mendulang suara dan menaikkan elektabilitas. Alhasil masyarakat diposisikan bak raja yang begitu dimuliakan, didengarkan segala bentuk keluh-kesahnya, serta diiming-imingi janji-janji manis politik yang sangat menggiurkan. Ini menunjukkan bahwa rakyatlah sebagai penguasa dan pemberi mandat sebenarnya.

Istilah kekuasaan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat merupakan kekuasaan yang mendudukkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi. Melalui mekanisme Pilkada langsung, rakyat menggunakan kekuasaannya untuk menyalurkan aspirasi konstitusionalnya untuk memilih figur pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan harapannya, pemimpin yang dinilai memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Maka menjadi hal wajar jika kemudian partai politik mengadakan penjaringan terbuka bagi bakal calon kepala daerah sebagai langkah untuk menghasilkan calon-calon kepala daerah yang berkualitas dan sesuai harapan rakyat.

Dengan demikian, ketika calon-calon kepala daerah yang dihasilkan berkualitas, maka pola perpolitikan akan berubah drastis, pilkada yang biasanya identik dengan cacian, hujatan dan kampanye nagatif, akan bertransformasi menjadi ajang pertarungan adu gagasan dan visi-misi. Mengutip pernyataan Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, “Bahwa Pilkada merupakan festival adu gagasan, bukan arena pertempuran, dan bukan sebagai ajang memutus persekawanan, melainkan sebagai wadah untuk memperkenalkan gagasan dan program kerja masing-masing pasangan kepada warga Ibu kota.”

Namun, pilkada hanya akan berlangsung tidak stabil manakala calon kepala daerah yang berkompetisi memiliki keterbatasan dan kedangkalan gagasan dan visi-misi, sehingga representasi diri mereka biasanya hanya akan memancing keriuhan politik. Hal ketidakdewasaan dan kurangbaiknya komunikasi politik, tak jarang menimbulkan banyak perseteruan antara para pendukung yang acap kali menggunakan black campign atau kampanya hitam sebegai sebuah cara demi meningkatkan elektabilitas dan keunggulan pihaknya. Tentu dengan cara-cara demikian, hanya kan membuat eskalasi politik memanas, ketegangan dan rivalitas ingin mendapatkan dukungan serta memenangkan pertarungan menjadi tidak sehat.

# Kepala Daerah Harapan Rakyat

Kepala daerah ideal atau pemimpin ideal dalam pandangan Plato adalah “Pemimpin yang hadir lewat tempaan dan proses yang panjang dan matang, bukan lah mereka yang dicetak secara instan layaknya makanan cepat saji.” Idealnya, kepada daerah memiliki sejumlah karakteristik ketokohan, memiliki mentalitas dan moralitas yang terpuji, amanah terhadap mandatnya, ramah terhadap rakyatnya, adil, dan menjunjung tingga integritas dalam menjalankan tugas-tugasnya, bukan malah menunggangi kekuasaan dan jabatannya untuk mendiskriminasi dan menyengsarakan rakyat. Dalam Islam dikenal sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Tasharraful imami ‘ala ar ra’iyyati manuthun bil mashlahah (kebijakan seorang pemimpin harus berlandaskan prinsip kemaslahatan terhadap rakyatnya).”

Salah satu bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh seorang kepala daerah adalah mengambil sebuah kebijakan. Maka jika kita berpegang kepada kaidah ushul fiqh diatas, apa yang akan diputuskan oleh seorang kepala daerah atau kebijakan apa yang akan diambil haruslah memiliki orientasi kerakyatan yang baik, kebijakan yang menghadirkan kemaslahatan yang luas kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kalau Ia Gubernur, Walikota, atau Bupati, maka kebijakan yang dikeluarkan haruslah membawa dampak positif bagi rakyatnya sebab pada akhirnya seluruh yang menjadi domain tanggungjawabnya akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Tidak bisa dimungkiri, jika beberapa hasil survei beberapa tahun terakhir menyebutkan bahwa Indonesia sedang mengalami krisis pemimpin yang bersih. Data dari ICW menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2010 hingga 2016 sebanyak 183 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Ini menjadi bukti bahwa negara kita mengalami krisis pemimpin yang berintegritas. Akibatnya marak terjadi prilaku koruptif dan nepotisme, seperti memperkaya diri, penyalahgunaan jabatan, dan lain sebagainya. Pepatah mengatakan, pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal, maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nahkodanya. Itulah mengapa, pemimpin daerah adalah figur yang sangat menentukan maju-mundurnya daerah yang dipimpinnya.

Memang, menjadi kepala daerah adalah hak politik semua warga negara selama yang bersangkutan tidak sedang dalam proses hukuman atau vonis pengadilan yang menyebabkannya kehilangan hak politik, namun sebelum mendeklarasikan diri sebagai pemimpin setidaknya perlu memastikan bahwa ia telah lulus menjadi rakyat. Artinya sifat-sifat kerakyatan terakumulasi pada dirinya, sehingga arah kebijakan yang dikeluarkan senantiasa menyasar sektor-sektor kerakyatan sebagaimana yang diharapkan rakyat. Namun, kalau jabatan dan materi yang menjadi orientasi kekuasaan demi kepentingan pribadi dan golongan, silahkan, tapi berhati-hatilah karena keduanya ibarat singa, hari ini di rumah dinas, esok di rumah sakit, dan lusa di bailk jeruji besi atau rumah tahanan. Kalau sanjungan dan pujian yang dicari silahkan juga, tapi harus berhati-hati karena hampir semua orang bisa berubah. Hari ini disanjung dan dipuji, tapi esok lusa dicaci, difitnah, dan dihujat.

Memiliki atau memperoleh jabatan kepemimpinanpun itu tidak salah. Biasanya, seseorang menerima jabatan kepemimpinan karena masyarakat pemegang hak suara melihat bakat dan potensi dalam diri orang tersebut. Sehingga masyarakat tanpa ragu memilihnya sebagai pemimpin. Jabatan itu datang disertai hak dan kewenangan untuk memimpin orang lain. Jabatan adalah titik awal yang sangat baik, sehinga seharusnya para pemimpim daerah terpilih dapat melihat secara jernih dampak dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, dengan pertimbangan kemaslahatan orang banyak ketimbang diri pribadi.

Akhir kata, semua bakal calon kepala daerah yang apabila telah ditetapkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai calon kepala daerah, tentu boleh mengampanyekan dirinya ke semua kalangan, asalkan saja tidak meletakkan bara api dan duri-duri liar yang akan merusak persatuan dan kesatuan yang selama ini sudah terbangun baik. Keinginan untuk menang harus dibarengi dengan moralitas politik yang santun, jauh dari fitnah memfitnah, hujat menghujat yang dapat melahirkan keretakan keluarga dan keretakan sosial. Lewat tulisan ini penulis panjatkan doa semoga seluruh daerah yang memiliki hajat pilkada dapat melaksanakan dengan suskses serta menghasilkan pemimpin-pemimpin sesuai dambaan rakyat, dan untuk orang-orang yang sekarang sedang berkonflik politik, berselisih untuk suatu kepentingan dunia yang bersifat sesaat. Semoga dengan izin Allah SWT kita dapat segera mengangkat daerah ini menuju daerah yang baldatun toyyibatun wa rabbum ghafur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

 

Oleh: Mutawally

Penulis merupakan PBSB Awardee Kemenag RI 2012. Mahasiswa Program Studi Interdisiplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini