Kekuatan rantai ditentukan oleh mata rantai terlemah, bukan mata rantai terkuat. Itu kata Pak Nuh. Begitu orang menyapa mantan menteri pendidikan itu.
Ia salah satu menteri di jaman Presiden SBY yang bukan dari kalangan parpol. Seorang akademisi yang kini menjadi Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Surabaya. Juga didaulat sebagai Ketua Dewan Pers.
Pak Nuh berbicara di sebuah seminar. Digelar Universitas Muhammadiyah Malang (Unisma). Dalam rangka memperingati HUT Provinsi Jawa Timur ke-76.
Nah, ini contoh keren mengenai kolaborasi dari Jatim. Provinsinya ulang tahun, perguruan tingginya ikut meramaikan. Kasih kontribusi. Sumbang pemikiran. Bikin seminar.
Gubernur Khofifah Indar Parawansa yang membuka acara itu. Pengantarnya keren sekali. Dikatakannya, sekalipun kelak secara de jure Kalimantan Timur menjadi ibukota negara, tapi secara de facto, Jatim-lah sesungguhnya sentrum denyut nadi.
Logistik bagi 16 provinsi di wilayah timur Indonesia dipasok Jatim. Angkanya tidak main-main. Delapan puluh persen lebih. Hanya Sulawesi Selatan yang tidak termasuk di 16 provinsi itu. Itu sudah nyaris separuh Indonesia.
Kontribusi PDRB Jatim secara nasional 14,44 persen. Kalau membandingkan PDRB Pulau Jawa terhadap nasional, Jatim menyumbang 24,93 persen. Hanya kalah dari DKI Jakarta.
Jatim yang begitu gigantis merasa masih kurang. Seperti kita di Sultra, mereka juga pusing dengan persoalan kemiskinan. Kemajuan teknologi dengan jargon Industri 4.0 –yang sebentar lagi menjelma menjadi 5.0– ternyata bukan jawaban tepat. Itulah yang diulas Pak Nuh.
Bahwa kekuatan kita diukur bukan dari siapa yang paling kuat di antara kita, tapi justru diukur dari siapa yang paling lemah. Seperti mata rantai itu. Oleh karenanya, pembangunan Jatim harus menjangkau yang tidak terjangkau. Reach the unreach. Memperkuat mata rantai terlemah, dari aspek ekonomi, sosial, dan infrastruktur.
Pembangunan harus dilakukan melalui kolaborasi. Dengan memperkuat kekitaan. Power of we, kata Pak Nuh. Bukan sekadar Industry 4.0 atau 5.0, tapi Society 4.0/5.0. Oleh Gubernur Khofifah dijawantahkan dalam bentuk penguatan pluralisme, selain aspek ekonomi melalui penguatan UKM dan sektor pertanian.
Bekerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di Jatim, pemerintah provinsi juga merancang pilot project pengentasan kemiskinan pada lima kabupaten, dengan pola setiap kabupaten mengikutsertakan lima kecamatan, dan setiap kecamatan melibatkan lima desa.
Total ada 125 desa yang menjadi pilot project pengentasan kemiskinan dengan pedoman “best practices” yang didesain oleh perguruan tinggi di Jatim.
Ditujukan pada kantong-kantong wilayah dengan penduduk yang tingkat kemiskinannya ekstrim. Masyarakat yang tingkat pengeluarannya di bawah 1,9 dolar Amerika per hari. Atau Rp 26.600 per hari jika asumsi kurs 14.000 per dolar.
Jatim telah melangkah jauh. Mereka telah sadar tentang kata kunci pembangunan: kolaborasi. Hilangkan ego sektoral. Yang secara tegas Pak Nuh meminta adanya “satgas” eradikasi kemiskinan berupa koordinasi lintas sektor dan lintas pemkab-pemkot. Juga kesadaran akan pentingnya data dan pemanfaatan big data.
Dan hal terpenting, kata Pak Nuh, jangan mencari kesalahan ketika mengalami kegagalan. Alirkan energi untuk memperbaiki. Biaya untuk menyalahkan lebih mahal daripada biaya untuk memperbaiki.
Kita di Sultra tak perlu jauh belajar. Kita bercermin pada Jatim. Dan pekerjaan rumah kita yang pertama adalah memperkuat kekitaan. Menguatkan ke-Sultra-an kita. Menguatkan pluralisme kita. Bahwa kita beragam. Bahwa kita adalah sekrup-sekrup beraneka jenis dan ukuran, yang saling bertaut membangun rumah besar bernama Sultra.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik – Dinas Kominfo Provinsi Sultra