ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Politik uang dipastikan masih mewarnai konstelasi pemilu 17 April nanti. Bahkan pemilu 2019 diprediksi praktek politik uang akan meningkat lebih banyak lagi dibanding pada pemilu 2014.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi memprediksi kemungkinan besar pemilu 2019 akan menghadapi insiden politik uang yang lebih besar dibanding 2014. Menurutnya sejak pengenalan sistem proporsional terbuka yakni pada tahun 2009, ada peningkatan politik uang yang sangat signifikan.
“Tahun 2009 pertama kali sistem proporsional terbuka diperkenalkan, itu tingkat politik uang ada 10.5 persen pemilih yang mendapati tawaran politik uang. Di 2014 naik menjadi 33 persen dan kita tidak tahu potensi politik uang di 2019,” ujar Burhanuddin usai diskusi Kemendagri Forum di kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara no.7 Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).
Menurut Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini, pemilu 2019 masih menggunakan sistem yang sama dengan pemilu 2014. Namun untuk pertama kalinya pemilihan legislatif (pileg) dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan 17 April mendatang.
“Kita menghadapi kenyataan dimana pileg dan pilpres serentak, sementara fokus dan perhatian kita lebih banyak ke pilpres dan saat yang sama caleg yang berlaga di tingkat pileg meningkat tajam seiring bertambahnya dapil dan bertambahnya jumlah kursi, maka kemungkinan besar politik uang meningkat tajam dibanding 2014,” imbuh Burhanuddin.
Sementara terkait dengan sistem pemilu yang tidak berubah, hal ini memberi insentif terhadap para caleg yang menggunakan uang sebagai amunisi untuk memenangkan kursi. Padahal politik uang tak selalu efektif untuk memenangkan kursi.
Jika dilihat dari sisi keefektifitasnya politik uang tidak terlalu bagus karena ada banyak cerita tentang miss targeting. Dari sisi antara target yang ingin disasar dengan penerima politik uang terdapat kesenjangan. Umumnya caleg ingin menarget pemilih yang loyal namun kenyataannya jumlah pemilih loyal sedikit.
“Jadi politik uang pada prakteknya justru banyak yang menerima adalah kelompok yang oportunis. Mereka adalah pemilih yang swing, mereka menerima uangnya soal pilihan tergantung hati nurani,” lanjutnya.
Selain itu, banyak uang yang diberikan kepada timses untuk didistribusikan masuk ke kantong kantong pribadi. Sehingga bukan hanya suara, caleg juga kehilangan uangnya.
Kendati demikian, politik uang kerap dilakukan dengan memanfaatkan peluang 10,2 persen pemilih yang datang dipengaruhi pilihannya melalui uang. Sebab presentase 10,2 persen ini melebihi dari cukup bagi para caleg untuk lolos ke Senayan.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia ini menghitung, menggunakan proporsi caleg yang lolos ke Senayan dengan mengalahkan caleg dalam satu partai yang suaranya paling besar tapi tidak lolos. Burhanuddin menyebutnya dengan teori winning margin (teori tentang selisih kemenangan). Ia mengumpulkan perolehan partai yang lolos Presidential threshold di 2014 dikurangi suara caleg yang lolos dengan suara caleg yang paling besar.
“Rata-rata dari 10 partai yang lolos Presidential threshold 2014 itu tingkat winning marginnya cuma 10,6 persen. Jadi kalau ada 10,2 pemilih yang bisa dipengaruhi oleh politik uang maka 10,6 tadi itu bisa lebih dari cukup untuk mengantarkan para politisi ke Senayan,” pungkasnya. (a)