Menakar Racun Kalandue di Sungai Wanggu

397

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Sungai Wanggu di Sulawesi Tenggara (Sultra), tidak hanya memiliki fungsi ekologis yang strategis, tapi juga potensi ekonomi yang begitu besar. Aliran sungai ini melintasi dua kabupaten/kota sekaligus, yakni Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari.

Secara administrasi, Sungai Wanggu terletak di Satuan Wilayah Sungai (SWS) Lasolo-Sampara. Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu berada pada kawasan pemukiman penduduk, tambak, dan areal pertanian. Luas wilayah DAS ini mencapai 32.389 hektar, yang membentang dari Pegunungan Boro-Boro, Wolasi, hingga Teluk Kendari.

Salah satu keanekaragaman hayati yang sekaligus menjadi ikon Sungai Wanggu adalah kerang bakau (Polymesoda Sp.). Masyarakat lokal menyebutnya Kalandue. Karena habitatnya di sekitar bakau, dapat dipastikan bahwa ekosistemnya merupakan muara sungai.

Masyarakat pesisir Kota Kendari sangat mengenal Kalandue. Mereka menjadikananya pangan khas, sekaligus menjadi sumber ekonomi penting bagi ratusan pencari maupun penjual kerang.

Di wilayah Kota Kendari, para pencari kerang memusatkan aktifitas mereka di wilayah Jembatan Pasar Baru dan Teluk Kendari. Kawasan itu dulunya penuh dengan bakau. Seiring perkembangan kota, lahan bakau kini berubah menjadi kawasan pemukiman dan tambak ikan.

Muara sungai itu juga mulai tercemar oleh aktifitas perkotaan yang semakin kompleks. Alhasil, kualitas air menurun drastis. Kalandue tidak lagi sepenuhnya menjadi sumber pangan yang bergizi tinggi. Justru berbalik menjadi kuliner yang dapat membahayakan kesehatan.

Dugaan kontaminasi logam berat terhadap Kalandue sudah dilaporkan sejak tahun 2006 lalu. Hasil penelitian Muhtar Kumkelo, yang saat itu menjabat Direktur Lembaga Kajian Advokasi Kesehatan dan Lingkungan Sultra, menemukan adanya kandungan Merkuri (Hg) dalam Kerang Kalandue. Dia menganalisa kandungan Merkuri dan Cadmium pada beberapa sampel Kalandue dan sedimen tanah.

Sampel kerang yang diambil termasuk kerang di wilayah muara Sungai Wanggu dan empat titik lainnya yang seluruhnya berada di kawasan Teluk Kendari. Sampel itu kemudian dianalisis di Laboratorium Balai Besar Budidaya Air Payau Maros, Sulawesi Selatan.

Kandungan Merkuri di semua sampel kerang berada di angka 0,5371– 0,7180 ppm. Sedangkan pada sedimen tanah mencapai 0,39 – 1,47 ppm. Angka ini jauh melampuai ambang toleransi kandungan Merkuri pada biota laut yang ditetapkan WHO yakni sebesar 0,005 ppm.

Muhtar yakin, kandungan logam berat kerang saat ini dipastikan akan jauh lebih tinggi seiring pencemaran yang semakin meningkat.

“Dari data kami sejak tahun 1970 sampai 1990, jenis kerang wilayah teluk Kendari dan sekitarnya banyak sekali berkurang akibat pencemaran. Yang bertahan hanya kerang bakau atau biasa disebut Kalandue karena mampu bertahan dari limbah biologi dan kimia,” kata Muhtar yang saat dihubungi sedang berada di Ambon, Maluku, Sabtu (9/5/2015) lalu.

Pengamat lingkungan La Ode Alwi mengatakan, pencemaran Sungai Wanggu secara fisik sudah masuk kategori berat. Hal ini dilihat dari warna airnya yang keruh kekuningan dan banyaknya sampah yang berserakan di sepanjang aliran sungai. Adapun pencemaran secara kimia masih dalam tingkatan sedang. Hal ini berdasarkan Status Lingkungan Hidup (SLHD)  Kota Kendari yang dirilis tahun 2014.

Bahaya mengkonsumsi Kalandue bukan saja karena kandungan logam berat, tapi juga dari bakteri E.coli. Hal ini dikarenakan banyak pembuangan water closed (WC) milik warga yang tidak memiliki septic tank (bak penampung). Limbah langsung dibuang ke Sungai Wanggu.

Parahnya, Kalandue tetap berkembang dengan kandungan yang tidak layak konsumsi. Bahan organik, logam, dan bakteri yang mengendap di dasar sungai akan bercampur menjadi humus. Kalandue sangat senang dengan humus sehingga akan tinggal di dalamnya.

Alwi menambahkan, kerang itu bersifat seperti penyedot debu yang akan menghisap apa saja yang berada di dekatnya, termasuk logam berat. Di dalam tubuh kerang, logam berat dimanipulasi untuk pertumbuhannya. Dengan demikian, konsentrasi logam berat makin lama makin tinggi dalam tubuh organisme itu.

“Kerang tidak menderita efek apapun dan tidak akan mempengaruhi laju pertumbuhannya. Namun tidak demikian dengan manusia. Penumpukan logam berat karena sering mengkonsumsi kerang yang mengandung logam berat akan membahayakan kesehatan,” kata Alwi di Kendari, Minggu (26/4/2015).

Meski ancaman Kalandue dengan kandungan beracunnya cukup mengkhawatirkan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Sultra belum pernah melakukan uji logam berat terhadap Kalandue maupun hasil olahannya. Kepala BPOM Sultra Adilah Pababbari beralasan masih ada pihak yang lebih berwenang melakukan pengujian dan publikasi aman atau tidaknya kerang itu dikonsumsi.

“Jika benar Kalandue yang dikonsumsi mengandung logam berat seperti Merkuri, maka hal itu dapat mengakibatkan kanker. Bukan hanya itu, kondisi perairan yang tercemar bisa saja dalam biota airnya mengandung bakteri berbahaya seperti E.coli,” kata Adilah di ruang kerjanya, Kamis (30/4/2015).

Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra Kisran Makati mengatakan, belum ada kajian maupun hasil penelitian terbaru tentang aman atau tidaknya mengkonsumsi kerang di sekitar muara Sungai Wanggu.

“Mengenai cemaran logam berat seperti Merkuri yang larut di air dan mengendap sudah banyak ditemukan bukan saja di sekitar muara Sungai Wanggu namun juga di sejumlah titik lainnya di Teluk Kendari,” kata Kisran di Kendari, Minggu (17/5/2015).

Oleh karena itu, kata Kisran, untuk menindaklanjuti dugaan kerang yang mengandung logam berat, tahun 2015 ini pihaknya akan mengajak sejumlah pihak seperti Universitas Halu Oleo (UHO) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) untuk meninjau aman tidaknya Kerang Kalandue dikonsumsi warga.

Butuh Pengujian Lanjut

Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Sultra Supiati mengakui hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhtar Kumkelo pernah diverifikasi dan dilakukan uji lebih lanjut terhadap kandungan logam berat sesuai titik lokasi penelitian Muhtar. Namun pihaknya tidak menemukan adanya kandungan Merkuri pada air dan sedimen. Sementara untuk kandungan Merkuri maupun logam berat dalam kerang tidak ditindaklanjuti pada saat itu karena memang bukan domain BLH.

“Kalaupun ada pada kerang, hal itu juga diragukan karena harus dilihat dulu laboratorium tempat itu diteliti terakreditasi atau tidak. Karena kalau tidak terakreditasi, disanksikan kebenarannya,” kata Supiati saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (18/5/2015).

Supiati juga membantah pernyataan jika saat ini ada cemaran Merkuri di perairan Teluk Kendari maupun Sungai Wanggu. Menurutnya, untuk menentukan itu harus di laboratorium yang terakreditasi. Dia juga meragukan data yang ada di Walhi karena seharusnya jika ada temuan harus disambaikan ke BLH untuk diverifikasi.

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup (SLHD) Kota Kendari Tahun 2014, kualitas air sungai-sungai utama (termasuk Sungai Wanggu) yang mengalir di  wilayah Kota Kendari telah banyak menurun karena terkontaminasi dengan limbah padat dan polutan limbah rumah tangga.

Pemantauan kualitas air di lima sungai utama yang terdapat di wilayah Kota Kendari dalam kurun waktu tahun 2013 – 2014, sudah tidak lagi memenuhi kriteria mutu air kelas I (untuk keperluan air konsumsi).

Parameter pantauannya seperti DO (Dissolved Oxygen), BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), PO4 (Fosfat), fecal coli dan total coliform sebagian besar hanya memenuhi kriteria mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 82 Tahun 2001.

Kepala BLH Kota Kendari Rusnani mengaku terkejut jika cemaran Sungai Wanggu juga mempengaruhi Kerang Kalandue yang hidup di situ. Dikatakannya, sampai saat ini belum ada informasi maupun hasil penelitian terbaru mengenai aman atau tidak mengkonsumsi kerang dari muara Sungai Wanggu.

“Harus ada langkah untuk melakukan kajian maupun penelitian terhadap Kerang Kalandue itu karena ini menyangkut kesehatan dan keselamatan warga Kota Kendari. Untuk itu kami akan segera mengkordinasikan hal itu ke BLH Provinsi Sultra dan sejumlah pihak terkait,” kata Rusnani di ruang kerjanya, Senin (18/5/2015).

Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sultra La Ode Ridwan mengatakan, terlalu jauh tahun 2006 jika dijadikan rujukan aman atau tidaknya Kerang Kalandue. Namun demikian, pihaknya belum pernah melakukan uji terhadap kerang itu dengan alasan tidak pernah ada yang mengeluh tentang dampak logam berat yang dikandung kerang.

“Tapi jika memang kajian kandungan logam dalam kerang itu diperlukan maka kami akan uji Kalandue di sekitar Sungai Wanggu sesuai dengan program kerja. Pada tahun 2006 itu, juga perlu dilihat fenomena apa yang ada. Bisa saja saat itu penggunaan bakan kimia memang sedang tinggi, namun saat ini secara umum dipastikan aman karena belum ada komplain dari warga,” kata Ridwan di kantornya, Kamis (21/5/2015).

Kepala Balai Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Provinsi Sultra Agustinus Misi mengatakan, kerang-kerangan di Kota Kendari memang tidak pernah diuji sejak tahun 1980. Pada tahun itu, kerang dari Kota Kendari sempat diekspor namun tanpa uji logam karena pengawasannya masih kurang. Di tahun-tahun berikutnya, kerang tidak diekspor lagi tanpa alasan yang jelas.

Sayangnya, untuk melakukan pengujian kandungan Kerang Kalandue saat ini, belum bisa dilakukan karena mesin uji sedang rusak. Kemungkinan pada akhir tahun baru bisa dilakukan pengujian.

“Selama ini tidak pernah dilakukan uji karena tidak ada perusahaan yang menjadikan Kerang Kalandue sebagai produk jual dan tidak ada keluhan dari warga Kendari yang mengeluhkan Kalandue,” jelas Agustinus di ruang kerjanya, Kamis (21/5/2015).

Agustinus menambahkan, perbedaan kerang yang mengandung logam berat dan yang tak mengandung logam berat tidak bisa dilihat dari bentuk kerang. Oleh karena itu, sebelum ada kajian lebih lanjut tentang aman atau tidaknya Kerang Kalandue, maka warga yang mengkonsumsi itu disarankan memilih Kalandue yang jelas asal-usulnya dan haruslah diolah dengan benar.

Agustinus bercerita kasus besar yang menggemparkan dunia pernah terjadi dengan munculnya penyakit jenis baru bernama penyakit Minamata atau Sindrom Minamata. Penyakit ini mendapat namanya dari Kota Minamata, Jepang, yang merupakan daerah di mana penyakit ini mewabah mulai tahun 1958.

Penyakit itu mengakibatkan kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut merkuri (air raksa) karena mengkonsumsi kerang dan ikan dari Teluk Minamata yang tercemar Merkuri.

Namun demikian, Agustinus enggan bercerita lebih jauh mengenai penyakit itu karena merupakan hal yang sensitif jika diungkapkan apalagi kerang yang ada di wilayah muara Sungai Wanggu juga belum ada hasil ujinya.

Dampak Ekonomi

Alasan Agustinus cukup beralasan. Vonis yang terlalu dini terhadap bahaya Kerang Kalandue asal Sungai Wanggu dapat berdampak besar terhadap kelangsungan hidup ratusan masyarakat yang menggantungkan penghidupannya dari biota pesisir ini.

Salah seorang pencari kerang Jasrin mengaku permintaan Kalandue cukup tinggi sehingga banyak warga Kota Kendari datang mencari kerang jenis itu. Kerang yang mereka peroleh dijual ke pengepul dan ada juga yang dikonsumsi sendiri.

“Ketika air surut kami mulai turun mencari Kalandue setiap harinya. Sekarang ini agak sulit dapatnya karena banyak saingan pencari Kalandue. Jadi pandai-pandainya saja kita mencari tempat yang bagus,” kata Jasrin, Jumat (8/5/2015).

Pencari kerang lainnya, Eti, mempunyai jadwal tersendiri mencari Kalandue, yakni setiap hari Sabtu dan Minggu. Kerang Kalandue yang sudah dipisahkan dengan kulitnya dijualnya dengan harga Rp 5.000 per mangkuk bekas kemasan sabun colek.

Eti mengungkapkan, pertama kali mencari Kalandue tahun 1997. Saat itu, Kalandue masih melimpah ruah di sekitar muara Sungai Wanggu. Namun kini jumlahnya semakin berkurang karena lahan di sekitar sungai itu sudah berubah dari hutan bakau menjadi tambak ikan.

 

Reporter : Muhamad Taslim Dalma
Editor : Rustam

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini