Menanti Dampak Kartu Pra Kerja

Zulfikar Halim Lumintang, SST
Zulfikar Halim Lumintang, SST

Tanggal 20 Oktober 2019 merupakan hari bersejarah bagi dunia perpolitikan di Indonesia. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena hasil dari pesta demokrasi khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan 17 April 2019 lalu akan dilantik. Joko Widodo akan menjabat kembali sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2019-2024, dan didampingi oleh Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden terpilih.

Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung sehari saja ini, tentu tidak sebanding dengan beban amanah yang akan dipikul untuk lima tahun mendatang. Apalagi banyak janji dan orasi yang harus dipenuhi tatkala ma

sa kampanye tempo hari. Masyarakat Indonesia tentu masih sangat ingat, tentang salah satu tawaran kebijakan mengenai kartu pra kerja yang akan diberlakukan, ketika Joko Widodo dan Ma’ruf Amin terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.

Kini, masyarakat tinggal menunggu bakal seperti apa kebijakan kartu pra kerja tersebut direalisasikan. Dengan bergabungnya kubu “sang rival” ke pemerintahan, diprediksi Kabinet Kerja Jilid 2 akan semakin kokoh. Terbukti, Prabowo Subianto telah diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan, dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan menggantikan posisi Susi Pudjiastuti yang dinilai berhasil dalam memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan pada periode 2014-2019.

Presiden Joko Widodo tidak hanya memberikan kejutan dengan mengganti Susi Pudjiastuti. Pos Kementerian Kementerian Ketenagakerjaan yang sebelumnya dipimpin oleh Muhammad Hanif Dhakiri pun juga dicopot, dan diganti oleh Ida Fauziyah. Pasalnya pria 47 tahun tersebut, dinilai publik telah berhasil dalam memimpin Kementerian Ketenagakerjaan selama periode 2014-2019 ini. Badan Pusat Statistik mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka atau yang lebih dikenal dengan TPT Indonesia selalu mengalami tren penurunan pada periode Februari 2015 hingga Februari 2019. Pada mulanya TPT tercatat sebesar 5,81% pada periode Februari 2015. Kemudian turun 0,31 poin ke angka 5,50% pada tahun berikutnya. Setelah itu, TPT Indonesia berhasil menginjak angka 5,33% pada Februari 2017. Tren menurun kembali berlanjut pada Februari 2018 dimana TPT menyentuh angka 5,13%. Dan yang terakhir, di tahun masa jabatan berakhir, TPT Indonesia berhasil turun 0,12 poin menjadi 5,01%.

Ida Fauziyah tentu memiliki tugas yang tidak ringan, selain mempertahankan prestasi Menteri sebelumnya, kedepannya beliau juga harus mengurus dan mengatur kebijakan kartu pra kerja. Kabarnya kartu pra kerja tersebut akan diperuntukkan kepada ​fresh graduate ​ , korban PHK, dan pekerja eksisting. Dimana para ​fresh graduate ​ akan diberikan program khusus agar para pekerja muda bisa mendapatkan kemampuan atau keahlian ​skill yang mumpuni. Sementara untuk korban PHK akan diberikan ​reskilling ​ apabila pekerja tersebut berencana melakukan alih profesi. Sedangkan bagi pekerja eksisting, akan diberikan program ​upskilling yaitu suatu pembekalan untuk meningkatkan kemampuannya agar bisa beradaptasi dengan pasar kerja saat ini.

Dalam wawancaranya, Presiden Joko Widodo pun juga menampik bahwa negara tidak akan menggaji pengangguran. Presiden menjelaskan bahwa negara hanya akan memberikan stimulus atau rangsangan bagi para pencari kerja agar segera mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkan dengan memberikan pelatihan dan insentif. Namun, insentif yang diberikan pun terbatas untuk 6-12 bulan saja.

Sekarang, yang jadi pertanyaan adalah siapa yang mau dan mampu menampung mereka para penganggur untuk bekerja?

Sektor Jasa Pemerintahan sudah tidak cukup menampung para pelamar kerja. Namun menjadi seorang PNS masih menjadi harapan bagi para pelamar kerja. Tentu saja tidak banyak yang bisa diterima untuk menjadi seorang PNS karena lowongan yang disediakan pun juga tidak banyak. Belum lagi praktik kecurangan dalam penerimaan CPNS masih menjadi tradisi di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan tambahan dari kartu pra kerja. Misalnya dengan menstimulasi seseorang agar bisa wirausaha muda. Karena dari swasta atau wirausaha juga lapangan kerja bisa terbentuk. Sehingga, sebagian penganggur pun akhirnya akan terserap ke dalam lapangan kerja.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2016 jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 1,65% dari jumlah penduduk. Rasio tersebut jauh tertinggal dibanding dengan jumlah pengusaha yang ada di Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang bahkan memiliki pengusaha lebih dari 10% dari jumlah populasi. Idealnya jumlah pengusaha adalah 2% dari total populasi, tetapi untuk mencapai target pendapatan perkapita yang baik diperlukan 6,13 juta pengusaha atau sekitar 2,5% dari populasi. Saat ini jumlah wirausaha yang mapan sekitar 4 juta pengusaha.

Meskipun jumlah pengusaha di Indonesia masih sangat minim, namun survei yang dilakukan oleh ​Global Entrepreneurship Monitor (GEM) pada 2013, menunjukkan bahwa keinginan berwirausaha masyarakat Indonesia adalah tertinggi kedua di ASEAN setelah Filipina.

Tidak sampai disitu saja, Kementerian Ketenagakerjaan juga harus menghadapi kenyataan bahwa keberadaan Tenaga Kerja Asing di Indonesia memiliki tren meningkat. Sejak 2014-2018, jumlah TKA di Indonesia telah tumbuh sebesar 38,6%. Di periode yang sama realisasi investasi penanaman modal asing hanya tumbuh di angka 17%. Pada Desember 2018, tercatat sebanyak lebih dari 95 ribu TKA bekerja di Indonesia.

China merupakan negara penyumbang TKA terbesar di Indonesia pada tahun 2017. Tercatat 24.804 TKA. Kebanyakan TKA bekerja sebagai profesional sebanyak hampir 24 ribu orang, sebagai manajer sebanyak 20 ribu orang dan direksi di suatu perusahaan sekitar 15 ribu orang. Sisanya bekerja sebagai komisaris, supervisor, konsultan dan teknisi.

Menghadapi kenyataan tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan tentu tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan koordinasi dan kolaborasi dengan kementerian lainnya yang berkaitan dengan TKA. Misalnya berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi yang bertugas mengurusi paspor dan visa TKA, mengingat masih banyaknya ditemukan TKA ilegal yang tidak memiliki paspor. TKA ilegal ini tentu mencoreng kebijakan pasar bebas tenaga kerja yang ada di Indonesia. Diberlakukannya kuota untuk TKA yang mengisi posisi tertentu juga harus diterapkan guna menjaga tetap terserapnya tenaga kerja lokal.

 


Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST.
Penulis merupakan Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini