Orang setempat selalu berusaha memerlihatkan kekhasan daerahnya. Begitu masuk Makassar via pesawat, di pusat informasi bandaranya menampilkan perahu pinisi. Pelancong selalu menyempatkan selfie di sana.
Mereka yang tiba di Yogyakarta siang hari akan disuguhi musik gamelan dengan nyanyian sinden yang khas. Meski kurang begitu diperhatikan karena orang lebih tertarik menunggui bagasinya, pihak bandara setidaknya berusaha menampilkan identitas Yogya.
Coba masuk di Bandara Haluoleo. Sekarang sudah lebih lapang. Modern. Tempat check in-nya sudah keren. Ruang tunggunya lumayan luas.
Beberapa bulan lalu, kita antrian check-in sambil kipas-kipas karena –barangkali– satu-satunya pendingin ruangan itu disetel 26 derajat yang rasanya seperti 30 derajat.
Apalagi kalau check-in bertepatan dengan rombongan orang-orang Cina yang tasnya sudah lebih menyerupai lemari saking besarnya. Selesai.
Di dalam gedung bandara yang kini sudah lebih bagus itu, rasanya kering. Tidak ada sama sekali sentuhan budaya di sana. Entah itu motif hiasan tertentu atau benda-benda pajangan yang identik dengan Sultra. Itu sejak tahun kuda. Maksudnya, sejak bandara itu masih bernama Wolter Monginsidi.
Mari beranjak ke Kota Kendari. Pintu gerbang kota di perbatasan Ranomeeto sudah lebih baik. Tapi sekadar gerbang saja. Sejauh perjalanan dari bandara tadi, kita belum menemukan identitas Sultra. Harapannya ada di gerbang kota. Tapi nihil.
Beberapa kilometer ke depan ada bundaran. Yang dipajang di sana adalah pesawat. Jika berbelok ke arah kawasan gubernuran, lalu lurus menuju pusat kota, kita kembali menemukan bundaran. Apa yang dipajang di sana? Tank. Ya, kendaraan perang itu.
Atau kalau dari bundaran pertama tadi kita lurus menuju pusat kota, kita kembali menjumpai bundaran. Apa yang terpampang di sana? Pesawat. Jangan lewat di sini di musim hujan. Pesawatnya berubah jadi kendaraan amfibi. Terbang di atas air.
Dari tiga kawasan strategis yang dijumpai, kita menyaksikan semuanya peralatan perang. Pada kisah-kisah sejarah daerah ini, tidak pernah terkisahkan ada peperangan hebat yang terjadi, sehingga kita perlu mengabadikan peralatan perangnya sebagai penanda.
Masih ada harapan. Gerbang kota perbatasan dengan Kabupaten Konawe. Dari atau menuju Sulawesi Tengah. Kita menyebutnya gerbang Puuwatu. Gerbang itu luar biasa kumalnya. Jalanan tepat di bawah gerbang sudah bertahun-tahun tak pernah baik. Bangunan gerbangnya sendiri sudah tidak lagi mengenal cat. Selamat datang di Kendari. Begitu katanya, kalau tidak salah.
Yuk, langsung ke hotel. Hotel paling keren di kota ini. Clarion. Ruang pertemuan utamanya dinamai Ballroom Phinisi. Sekali lagi Phinisi. You know phinisi, right?
Kita jalan-jalan ke titik nol kota. Di Mandonga. Ada bundaran. Itu titik nolnya. Apa di sana? Tugu jam. Jam dinding yang tidak terlalu besar yang sudah lama ngadat. Sejak saya menetap di kota ini, jarum jam itu tidak pernah bergerak. Lagipula siapa lagi yang mau longok-longok ke sebuah tigu untuk sekadar melihat pukul berapa saat itu.
Ada air mancurnya. Ngalirnya tempo-tempo. Seperti PDAM. Jadwalnya suka-suka. Kalau lagi happy, airnya lumayan jernih. Kalau lagi galau, airnya campur lumpur.
Kita ke alun-alun kota. Kawasan eks-MTQ. Orang lebih mengenalnya demikian karena tahun 2006 silam, di sana diadakan musabaqah tilawatil qur’an disingkat MTQ tingkat nasional. Dulu namanya Tugu Persatuan. Sekarang Tugu Reliji. Reliji atau Religi? Tau ah….
Dimana kita menemukan ada ikon Sultra? Ada patung lulo. Di taman kota kawasan Kendari Beach. Kebi, nama jago-jagonya. Posisinya tidak begitu kentara dari jalan raya. Terakhir kali saya mendekat ke sana beberapa tahun lalu. Kawasan itu berbau pesing. Entah sekarang.
Ada lagi satu. Patung Haluoleo. Menjadi bagian pagar dari kantor tentara. Ukurannya kecil. Susah untuk selfie. Lagipula ada beban perasaan kalau selfie depan markas tentara.
Masjid Al-Alam? Itu bukan identitas kebudayaan Sultra. Itu bangunan keagamaan. Tidak ada budaya Sultra yang spesifik dikenali di masjid itu yang menjadi ikon ke-Sultra-an kita.
Saya kira, fakta-fakta tadi mampu menjelaskan kenapa beberapa waktu lalu komunitas seni, sastra, dan budaya terlibat seteru dengan pengelola museum dan taman budaya Sultra.
So, dimana kita menemukan identitas Sultra? Itu pekerjaan rumah kita.***