Hari ini rakyat Indonesia sedang membincang pembubaran sebuah ormas bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas ini sudah lama ada di negara kita. Sudah sejak tahun 80-an.
Ketika masih mahasiswa dulu di akhir-akhir 90-an, saya kerapkali diajak masuk HTI. Tapi saya menolak. Tepatnya malu. Masak tiap hari mau ngomong negara Islam tapi shalat subuh masih bolong-bolong. Jadi atas nama tahu diri, saya tidak pernah mau menjadi anggotanya.
Tapi di lubuk hati terdalam, sebagai Muslim, saya bersimpati pada gerakannya, termasuk seluruh gerakan-gerakan bernafas Islam lainnya yang ada di Indonesia.
Kita persingkat saja pendahuluannya karena saya tidak bermaksud curhat tentang lubuk hati saya. Kita baca UU Ormas, yuk. Lihat pada postingan gambar di tulisan ini.
Saya tidak menemukan HTI, sebagai ormas yang berideologi Islam, dalam penjelasan UU itu, sebagai sesuatu yg memenuhi syarat untuk dilarang atau dibubarkan.
Saya masih bingung, apa sebenarnya kesalahan HTI? Bukankah HTI hanya berpendapat? Hanya berekspresi? Kan itu yang mereka lakukan selama ini. Bukankah itu dijamin oleh UU? Dalam sebuah proses silang pendapat, jika setuju ikut, jika ga setuju ya udah. Jangan lantas main otot utk memaksakan pendirian.
Bahwa kemudian secara berangsur, pengikutnya tumbuh besar dan makin banyak, itu berarti argumentasi yang dibangun HTI mengenai konsepsi bernegara, rasional bagi masyarakat.
Masuk di akal.
Mereka merekrut anggotanya dengan cara berdialog kok. Tidak dogmatis. Tidak represif. Tidak memaksa. Anggotanya masuk secara sadar. Pun jika keluar, keluar secara merdeka.
Jika tuduhannya tidak pancasilais karena hendak mengubah dasar negara menjadi khilafah (Islamisme), maka mari kita ajukan dua preposisi untuk menguji “makar” yang telah dilakukan HTI.
Pertama, dunia ini terus berkembang, berubah, membentuk tatanan-tatanan baru. Menciptakan kebudayaan baru, dsb. Hal sederhana, sesuatu yang dulunya lawas, ketinggalan jaman, kini digandrungi lagi. Poinnya adalah peradaban terus bergerak.
Komunisme, sosialisme, liberalisme, Islamisme, dan berbagai paham lainnya adalah ideologi yang pernah dan atau akan terus tumbuh di dunia ini jika rakyat mayoritas menginginkannya.
Dengan dasar demikian, sebagai penganut paham demokrasi, idealnya negara memberi kebebasan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk menemukan cara bernegara yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Jika mayoritas rakyat ingin mengganti pancasila sekalipun, negara harusnya berada di belakang rakyat untuk itu. Bukankah demokrasi adalah representasi suara mayoritas rakyat?
Dalam konteks ini, HTI telah menempuh proses-proses yang legal dalam tatanan kenegaraan kita saat ini, sebagai respon atas peradaban yang terus berubah.
Preposisi kedua, HTI adalah salah satu kepingan dari perjuangan ideologi Islam. Perjuangan HTI sangat spesifik, yakni di ranah pemikiran. Muhammadiyah dan NU misalnya di ranah pendidikan, HTI masuk pada wilayah konsepsi bernegara.
Di penghujung jaman ini, kita semua memaklumi bahwa Islam itu seperti kepingan-kepingan yang berserakan. Tidak ada satu lembaga Islam apapun yang bisa mengklaim diri sebagai yang paling Islam. Termasuk HTI.
HTI, NU, Muhammadiyah adalah kepingan-kepingan Islam yang masing-masing fokus pada satu atau beberapa isu besar. Tidak akan mungkin semuanya.
HTI berjuang pada aspek bernegara. Pada diskursus ideologis. Jika rasional, rakyat akan ikut. Jika tidak, rakyat akan tinggalkan. Sesimpel itu sebenarnya perjuangan HTI.
Lalu apa yang ditakuti dari HTI ini? Fundamentalisme seperti yang dituduhkan? Jika mayoritas rakyat menginginkannya, kenapa tidak? Kita masih negara demokrasi kan, dimana suara rakyat –katanya– suara Tuhan? Dan bukankah demokrasi bukan soal benar atau salah, tapi soal legal atau tidak legal? Ada yang tidak legal dari HTI?***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial