Tempat kembali paling nyaman adalah rumah. Dan orangtua. Ibu. Ayah. Ramadhan dan Lebaran menjadi cara kembali paling hikmat. Segala kenangan dengan seluruh genangan airmata rindu, menyeruak. Menyentak rasa paling sentimental yang kita miliki.
Inilah kekuatan maha dahsyat yang dimiliki para pemudik. Sehingga rela menerjang larangan. Menempuh resiko paling berbahaya. Menulari dan atau ditulari Covid-19. Dan menghadapi takdir paling ekstrim: mati.
Yah, dunia kita sudah tua. Alam sedang mencoba mencari keseimbangan baru. Memaksa manusia menerima hidup dalam tatanan baru. Bahwa mengalirkan rindu melalui mudik, tidak harus dilakukan sekarang.
Kita antrian. Pulang bergantian. Agar tidak ada penumpukan. Dari kota yang begitu padat. Ke desa-desa yang masih lebih steril. Memang sulit. Sebab Idul Fitri hanya setahun sekali. Pulang di luar itu, rasanya akan lain. Kita semua sepakat dengan perasaan ini.
Namun, ada yang lebih fundamental. Nyawa kita harus dijaga. Karena hanya satu. Sekali dia lepas, nanti sangkakala ditiup untuk yang ketiga kalinya, barulah dia kembali menjumpai raga. Dan itu sudah dunia yang berbeda. Kita sudah mudik dalam pengertian sesungguhnya.
Atas pertimbangan itulah, kami sekeluarga memutuskan tidak mudik. Memanfaatkan teknologi komunikasi secara optimal. Berkomunikasi dengan ibu dan ayah. Agar mereka tetap merasakan kehadiran kami.
Saya mewanti-wanti ibu saya –yang telah agak rentan– agar tak terlalu rapat berinteraksi fisik dengan orang. Beliau pedagang kecil di pasar. Anda tahu, betapa besar resiko di pasar. Terlebih menjelang Lebaran seperti sekarang.
Saya tak lagi memintanya untuk berhenti beraktifitas di pasar. Baginya, pasar adalah penghiburan baginya. Bukan semata soal mencari penghidupan. Di usia tua ketika anak-anakmu telah punya kehidupan sendiri, kamu harus mampu menciptakan kebahagiaanmu sendiri.
Saya menangkap kesadaran itu dari sikap ibuku. Tetap ke pasar. Sebagai pedagang kecil. Di titik itulah, kerap airmata dengan rasa campur aduk menetes. Di pelupuk mata. Merembes hingga ke sumsum terdalam tulang-tulangku.
Begitulah hidup. Ada pilihan-pilihan di sana. Apapun pilihan yang engkau tempuh, pastikan kamu dapat merengkuh kebahagiaan. Saya termasuk yang meyakini kata orang bijak. Bahwa kebahagiaan itu diciptakan. Bukan dicari.
Kebahagiaan itu terpampang di hadapan kita. Pada hidup yang kita jalani. Kita tinggal memungutnya. Kendatipun, itu juga pilihan.
Seperti malam tadi. Ketimbang meratapi diri yang tak mudik dengan mengenang malam terakhir Ramadhan menemani ibu menganyam ketupat, saya juga membangun kenangan bagi anak-anakku kelak.
Mengumpulkan mereka mengisi ketupat dengan beras. Menceritakan kisah masa kecilku. Bahwa ketika malam seperti ini, “ayah meminta nenek mengajari ayah menganyam ketupat.”
Esok hari, memasaknya seharian penuh pada tungku yang dibuat ayah di samping rumah. Saya kebagian memastikan apinya tidak pernah surut. Menjejalkan kayu bakar ke dalamnya. Memastikan air rebusan tidak pernah kering. Terus dimasak hingga sore.
Di antara aktifitas itu, disuruh ayah untuk menyembelih ayam-ayam kesayangan yang dipelihara setahunan. Membawanya ke tetua kampung untuk disembelihkan. Saya memegang kaki dan sayapnya.
Bagi seorang kanak-kanak yang telah dipercaya menyaksikan penyembelihan ayam, dia dianggap sudah besar. Itu menjadi semacam ujian kultural bahwa kami sudah beranjak remaja. Sebuah ceruk antropologis.
Kendatipun, ilmu menganyam ketupat itu tidak pernah berhasil diturunkan ibu padaku, namun kenangan itu tidak pernah usang. Dia tetap tertinggal di hatiku. Sebuah masa kanak-kanak yang manis. Yang membentuk jiwaku saat ini.
Kami tidak mudik tahun ini. Saya tidak membawa istri dan anak-anakku menziarahi kepingan kehidupan remajaku di jazirah tenggara provinsi ini.
Saya mencoba membangun kenangan sendiri untuk anak-anakku. Tetap tinggal di kota yang begitu rukun kehidupan keagamaannya ini. Kota Kendari. Mengisi ketupat Lebaran dengan butiran-butiran beras.***
Penulis: Andi Syahrir