ZONASULTRA.COM, WANGIWANGI – Suku Bajo dikenal sebagai masyarakat yang hidupnya bergantung dari laut. Namun, kadang mereka disalahkan atas rusaknya ekosistem laut akibat melakukan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pembiusan dan pengeboman ikan.
Padahal Suku Bajo memiliki banyak jenis alat tangkap yang ramah lingkungan. Salah satunya kedo-kedo, yang digunakan nelayan tradisional Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Adalah Hartono (45), nelayan Suku Bajo asal perkampungan Mola yang sampai hari ini masih setia dengan alat tangkap tersebut. Alasannya, kedo-kedo menjamin perikanan berkelanjutan karena tidak merusak terumbu karang.
Ditemui di kediamannya di Desa Mola Raya oleh tim Media Trip Wakatobi #TemanTamanLaut WWF 2017, Senin 10 April 2017, Suhartono menjelaskan selain ramah lingkungan, hasil tangkapan dari kedo-kedo juga sangat menjanjikan. Selain itu, alat tangkap kedo-kedo juga tidak mengenal musim. Artinya bisa digunakan setiap saat.
“Kedo-kedo ini alat tangkap yang menjanjikan asal bisa sabar, bukan alat tangkap yang bisa menghasilkan dalam jumlah banyak dalam satu kali tangkap,” kata dia.
Untuk penghasilan, dalam sebulan Tono bisa meraup hingga Rp 7 juta dari kedo-kedo. Dan dalam setahun dirinya bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp 50 juta.
Tak hanya itu, dirinya bahkan bisa membangun rumah dari hasil tangkapan kedo-kedo.
Dijelaskan, kedo-kedo yang digunakannya saat ini diadopsi dari alat tangkap sejenis yang digunakan nelayan Makassar. Terbuat dari logam aluminium berbentuk tali senar yang diberi mata pancing dan umpan kain sutra yang berwarna-warni. Umpan warna warni bertujuan untuk menarik minat ikan.
“Kita sebut kedo-kedo karena digunakan dengan cara menghentakkan tali senar berisi umpan tersebut di setiap jalur laut yang dilewati,” kata dia.
Menurutnya, kedo-kedo sudah digunakan nelayan Bajo Wakatobi sejak 1960-an. Salah satu yang menggunakannya adalah ayahnya sendiri. Saat itu kedo-kedo menggunakan logam dan serabut kelapa, kemudian pada 1970-an serabut kelapa berganti menjadi tali rapia.
Barulah pada 1998, saat Hartono bertemu dengan nelayan Makassar dirinya pun mulai menggunakan sendiri dengan bahan kain sutra. Dan pada 2010 dirinya membentuk kelompok “Kedo-kedo Sanggeh Kami” yang dalam bahasa Bajo artinya hanya kita saja karena memang kelompok yang beranggotakan 14 orang itu merupakan keluarga dekat Suhartono sendiri.
Hasil tangkapannya bermacama-macam. Ada sunu, kerapu, dan ikan putih. Namun, khusus sunu dan kerapu dijual ke UD Pulau Mas, salah satu perusahaan penampung ikan hidup yang berkantor di Bali yang memang membeli ikan dari hasil tangkapan ramah lingkungan. Harganya pun berbeda-beda mulai dari Rp 110 ribu hingga Rp 450 ribu per kilogram.
Dalam kunjungan media ke rumahnya, Hartono mengajak para awak media untuk melihat langsung bagaimana cara memancing dengan kedo-kedo di salah satu wilayah pemancingan yang jaraknya sekitar dua mil dari daratan.
Meski Kedo-kedo ini efektif namun ternyata tak banyak warga suku Bajo yang mau terlibat dalam cara penangkapan ini. Sebagian disebabkan karena mereka belum bisa meninggalkan cara kebiasan yang lama dan butuh hasil cepat. (*)
Penulis: Jumriati