Mengenal Lulo, Tari Persahabatan yang Jadi Ikon Sultra

Mengenal Lulo, Tari Persahabatan yang Jadi Ikon Sultra
TARIAN LULO – Gerakan tari lulo yang ditampilkan oleh para penari dari Sanggar Ana Sepu Sorume. (Foto: Istimewa)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Sulawesi Tenggara (Sultra) kaya akan ragam tarian tradisional. Salah satunya adalah tari malulo atau tari lulo.

Kesenian tradisional Sultra ini dapat dengan mudah kita jumpai di berbagai hajatan masyakarat Sultra, terutama pada acara pesta pernikahan.

Hal ini pula yang menjadikan tari lulo sebagai salah satu ikon Sultra. Untuk memperkenalkan Sultra, tari lulo kerap ditampilkan dalam berbagai acara, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Terbaru, beberapa pemuda asal Sultra menampilkan tari lulo dalam sebuah acara di Kota Azumino, Prefektur Nagano, Jepang pada 29 Oktober 2023.

Tari lulo juga biasa disebut tari persahabatan atau pemersatu karena tarian ini dilakukan secara bersama-sama dalam jumlah banyak tanpa memandang jabatan, suku maupun agama.

Tari lulo biasa dilakukan di tempat yang luas agar para peserta bisa leluasa untuk melulo. Para peserta lulo menari sambil berpegangan tangan dengan mengikuti irama musik pengiring.

Tari lulo dilakukan dengan cara membentuk lingkaran. Semakin banyak peserta lulo maka lingkarannya juga semakin besar.

Gerakan tari lulo sangat sederhana dan mudah diikuti. Tarian ini didominasi gerakan kaki dan tangan yang diayunkan maju dan mundur serta ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang harus dilakukan secara kompak dan disesuaikan dengan irama musik pengiring.

Dalam perkembangannya, tari lulo kini memiliki banyak variasi atau biasa disebut lulo kreasi tanpa mengubah ciri khas dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Bermacam-macam jenis lulo yang berkembang saat ini ada lulo biasa, lulo hada, lulo stater, lulo 321, lulo segi tiga, dan masih banyak lagi.

Tak hanya gerakannya, musik pengiring tari lulo juga mengikuti perkembangan zaman, dari alat musik tradisional seperti gong dan gendang, kini menggunakan pemutar musik atau organ (elekton).

Begitu juga dengan kostum yang digunakan oleh penari. Dulu, para penari mengenakan pakaian adat lengkap dengan properti lainnya. Kini penari bisa berpakaian biasa asalkan rapi dan sopan.

Sejarah Tari Lulo

Ajemain Suruambo, tokoh adat sekaligus budayawan, mengatakan, tari lulo pada masyarakat Tolaki sudah ada jauh sebelum terbentuknya sistem Kerajaan Konawe maupun Kerajaan Mekongga di Kolaka.

Mengenal Lulo, Tari Persahabatan yang Jadi Ikon Sultra
Salah satu peserta Hari Pangan Sedunia (HPS) 2019 asal Armenia, Lilit Sargsyam (baju putih) saat mengikuti tarian Lulo di Kota Kendari.

Hal itu didasarkan pada babad-abad masyarakat Tolaki kuno yang di dalamnya sudah terdapat cerita mengenai lulo.

Munculnya tari lulo, kata Ajemain, berhubungan dengan sistem mata pencaharian utama masyarakat Tolaki kuno, yaitu bertani.

Saat panen, masyarakat Tolaki terbiasa merontokkan bulir padi dari tangkainya dengan cara diinjak-injak, bergantian kaki kiri dan kanan. Dalam bahasa Tolaki, kegiatan itu disebut “molulowi”. Gerakan molulowi itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal tari lulo.

“Jadi lulo itu merupakan tarian tradisional asli Tolaki yang tercipta tanpa ada unsur atau pengaruh budaya dari luar,” kata Ajemain saat dihubungi pada Kamis (16/11/2023).

Lulo akhirnya menjelma menjadi tarian sakral bagi masyarakat Tolaki kuno. Mereka melaksanakan lulo dalam upacara penentuan masa tanam padi atau biasa dikenal dengan istilah pra tanam dan pascapanen.

Mereka juga melakukan lulo saat panen sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang didapat.

Saat itu, kata Ajemain, tari lulo diiringi oleh alat musik tradisional Tolaki bernama kanda-kanda wuta.

Dalam bahasa Tolaki, kanda berarti gendang, sedangkan wuta artinya tanah. Jadi, kanda-kanda wuta adalah alat musik berbentuk gendang yang terbuat dari tanah dan dimainkan dengan cara dipukul.

Seiring waktu penggunaan kanda-kanda wuta untuk mengiringi tari lulo pun tergantikan oleh kehadiran gong. Penggunaan gong ini diyakini merupakan pengaruh masuknya Islam di Kerajaan Konawe sekitar abad ke-18.

Gong kemudian digantikan lagi dengan alat musik yang lebih modern seperti tape deck, lalu berganti lagi dengan alat musik listrik yang dikenal dengan sebutan elekton.

Tak hanya menjadi hiburan, tari lulo bagi masyarakat Tolaki kuno berkembang menjadi konsep keyakinan. Itulah sebabnya lulo terbagi menjadi dua, yaitu lulo untuk hiburan dan lulo untuk konsep ritual.

“Lulo untuk konsep ritual itu disebut lulo sangia yang bertujuan menghormati para dewa,” ungkap Ajemain.

Karena tujuannya untuk menghormati para dewa, lulo sangia tidak sembarang ditampilkan. Tari lulo sangia ini hanya ditampilkan apabila ada raja yang meninggal.

Terakhir, lulo sangia ditampilkan ketika Ratu (Bokeo) Kerajaan Mekongga ke-18 Kolaka, Nur Zaenab Lowa, meninggal dunia pada 9 April 2014 lalu.

Menurut Ajemain, lulo sangia juga terbagi lagi menjadi dua, yaitu lulo sangia apabila ada raja yang meninggal dan sangia apabila ada wabah penyakit menyerang.

Nilai-Nilai Tari Lulo

Menurut Ajemain, tari lulo mengandung berbagai nilai sosial seperti nilai persatuan atau persaudaraan, nilai kebersamaan, dan solidaritas.

Meskipun gerakan tari lulo saat ini sudah memiliki banyak variasi, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap sama seperti lulo pada zaman dulu.

“Lulo sekarang, kan lebih energik, mungkin karena pelakunya para anak-anak muda, tapi tetap gerakan-gerakannya itu punya makna, punya nilai-nilai yang tidak bergeser dari nilai-nilai orang dulu,” terang Ajemain.

Ajemain mencontohkan gerakan moese dan molakoako, yang merupakan gerakan dasar tari lulo. Seperti apapun variasi gerakan lulo modern atau lulo kreasi, kedua gerakan tersebut tidak akan pernah terlewatkan.

Moese dalam bahasa Tolaki adalah gerakan tangan naik turun dengan posisi bergandengan sementara molakoako adalah gerakan kaki ke kanan dan ke kiri.

Kedua gerakan dasar itu, kata Ajemain, sudah mencerminkan nilai solidaritas, persatuan, dan kebersamaan.

Nilai estetika juga tampak saat para peserta lulo berpegangan tangan dan dengan gerakan kaki yang sama ke kanan dan ke kiri, menyatu dengan irama musik pengiring.

Itulah sebabnya, acara lulo menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Sultra dan selalu menjadi acara yang ditunggu-tunggu, baik mereka yang ingin melakukan lulo ataupun hanya sekadar menyaksikannya saja.

Ajemain menambahkan, pada zaman dulu, ada tata caranya bila ingin bergabung dalam rombongan penari lulo, seperti harus masuk lewat depan, tidak boleh berbisik-bisik ketika sedang molulo.

Kemudian saat molulo diwajibkan melakukan minimal satu putaran sebelum keluar dari lingkaran lulo, dan ketika ingin meninggalkan lulo diharuskan untuk berpamitan pada polulo yang ada di kiri dan di kanan.

Namun di zaman modern ini, tata cara tersebut sudah tidak berlaku. Menurut Ajemain, itu bisa saja karena ketidaktahuan, terutama para muda-mudi.

Untuk pengembangan tari ini, Ajemain mengaku tak khawatir dengan lulo yang untuk hiburan, namun ia khawatir lulo sangia akan semakin lama semakin hilang. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah melakukan upaya agar tradisi tersebut tetap lestari. (***)

 


Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini