ZONASULTRA.COM, WANGI-WANGI – Di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), dalam sekali setahun, ada tradisi yang namanya herapo-rapo atau tradisi menjual kacang sangrai yang saat ini akrab disebut kacang jodoh.
Tradisi itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Dikenal sebagai ajang untuk mencari jodoh dan dapat disaksikan di sepanjang jalan poros Kelurahan Wandoka. Begitu juga di Desa Waha Raya, Desa Pada Raya Makmur dan Patuno, Kecamatan Wangiwangi.
Aktivitas yang tergolong unik itu rata-rata digemari oleh pelajar dan orang dewasa yang ingin menambah teman, bahkan sampai ada yang menjadikan tradisi itu sebagai ajang mencari jodoh, hasil dari pertemanan itu.
Kacang ini dijajakan oleh gadis-gadis cantik nan rupawan yang rata-rata masih remaja dan belum menikah. Tradisi ini dilakukan setiap usai salat Tarawih.
Hanya dengan bermodalkan meja, kursi, bangku, lilin atau pelita dan lampu penerang lainnya, serta satu atau dua liter kacang tanah yang sudah disangrai menggunakan pasir, para gadis itu sudah bisa menjajakan kacang yang mereka olah sendiri.
Kacang dibanderol dengan harga Rp1.000 per tempatnya. Dalam satu tempat jumlahnya bervariasi, ada 8 butir, 7 butir bahkan ada yang hanya 5 butir saja.
Bagi para pria penggemar kacang jodoh harga tersebut tidaklah mahal dibandingkan keinginan untuk berkenalan, menambah pertemanan dan mendapatkan perhatian gadis penjual kacang jodoh yang didominasi gadis-gadis Pulau Wangi-wangi.
(Baca Juga : Kande Tompa di Buton, Tradisi Agar Lajang Mendapat Jodoh)
Yanti (18) misalnya, gadis yang baru saja tamat SMA ini bersama tetangganya Neli (19) mengaku menjual kacang sangrai karena iseng serta ikut-ikutan saja.
“Barusan tahun ini kita menjual, satu tempat dibandrol dengan harga Rp1.000 yang isinya lima biji kacang. Kacangnya kami beli di pasar dengan harga Rp10.000 per liternya,” kata Neli.
Menambah Penghasilan
Mitosnya, kacang jodoh dipercaya menjadi ajang mencari jodoh. Namun bagi Neli dan Yanti, jualan kacang adalah salah satu cara untuk menambah penghasilan.
“Kami jualan kacang bukan untuk mencari jodoh tapi untuk mencari uang supaya kami bisa membeli baju lebaran. Rata-rata yang datang membeli kacang adalah teman-teman semasa sekolah dulu, ada juga yang tidak dikenal sama sekali yang datang dari kampung sebelah. Datang membeli dan ngobrol-ngobrol,” ujarnya.
Para gadis itu menjajakan kacang sangrainya mulai pukul 20:30 Wita, usai salat Tarawih sampai pukul 23:00 Wita.
“Namun tergantung dari ramainya yang datang membeli. Kalau cepat habis, cepat juga kita istrahat. Namun sejauh ini tidak ada larangan dari orang tua, justru mendukung selama itu tidak mengganggu aktivitas di bulan suci Ramadan,” aku Neli.
Eky, salah satu pemuda dari Kelurahan Mandati II mengaku berkunjung ke tempat penjualan kacang jodoh karena diajak teman-teman.
“Saya diajak teman-teman untuk herapo-rapo karena katanya banyak cewek cantik. Siapa tau dari perkenalan ini bisa ke jenjang yang lebih serius,” ungkapnya.
Terpisah tidak jauh dari Yanti dan Neli, penjual kacang lainnya Seni (19) dan sepupunya Yuni (16) juga mengaku jualan kacang tanah untuk menambah tabungan sekaligus membeli baju lebaran, bukan untuk mencari jodoh.
“Malam pertama puasa kacang jualan kami laku sebanyak Rp110 dari hasil olahan kacang dua liter itu. Kalau setiap malamnya rata-rata laku sebanyak itu maka lumayan penghasilan kami untuk membeli baju lebaran dan kebutuhan lainnya,” terang Seni.
Mirna (19) warga Desa Wapia-pia, Kecamatan Wangiwangi juga mengaku menjajakan kacang sangrainya untuk kebutuhan hari raya Idul Fitri.
“Kita jualan kacang bukan seperti dikatakan orang-orang bahwa untuk mencari jodoh, tapi lebih ke aspek ekonominya,” ujarnya.
Begitupun dengan Tiani (13), Astuti (13), dan Surati (13), gadis yang berasal dari Kelurahan Wandoka Induk. Ketiga pelajar SMP ini mengaku jualan kacang sangrai untuk membeli baju lebaran, kosmetik dan perlengkapan sekolah.
“Kita jualan kacang untuk membeli perlengkapan sekolah kalau misalkan uangnya nanti terkumpul sesuai harapan. Jadi bisa mengurangi beban orangtua,” terang Tiani.
Ditanya seputar aktivitas anaknya, Sabaria (36), salah satu orang tua dari ketiga anak-tersebut mendukung penuh upaya anak-anak guna membantu orang tua dalam membiayai kebutuhan sekolah dan sebagainya.
“Kami orang tua mendukung selama itu positif, namun kami selalu berpesan kepada anak-anak agar menjaga jarak dan hati-hati dengan teman-teman atau anak laki-laki yang membeli kacang sangrai mereka. Kita hindari memang hal-hal yang sifatnya negatif,” jelasnya saat ditemui di kediamannya, Kelurahan Wandoka, Kecamatan Wangiwangi, Minggu (20/5/2018).
Sementara warga Desa Waginopo, Kecamatan Wangiwangi, RN (23) dan Alan (24) mengungkapkan bahwa awal mula membangun rumah tangga bermula dari jualan kacang sangrai.
“Saat itu dua tahun yang lalu, suami saya awalnya hanya datang bersama teman-temannya sekedar membeli kacang sangrai saja. Namun keesokan harinya datang lagi, sampai seterusnya seperti itu. Kadang sendiri kadang juga dengan teman-temannya. Dari situ berlanjut hingga pada akhirnya dia minta agar bertemu keluarga saya untuk melaju ke jenjang yang lebih serius,” ungkit RN.
Alan pun membenarkan ungkapan istrinya itu, dirinya mengungkapkan kala itu hanya iseng-iseng saja mengikuti teman-temannya untuk menyaksikan yang namanya herapo-rapo, yang katanya dijajakan oleh gadis-gadis cantik.
“Sebenarnya hanya ingin melepas rasa penasaran saja. Tapi diluar dugaan cinta pada pandangan pertama itu memang benar adanya. Dan itu terus berlanjut sampai akhirnya rasa nyaman itu muncul. Sehingga saya memutuskan untuk melamar RN yang kini menjadi istri saya. Meski ragu waktu itu namun dia juga menyahuti. Dan akhirnya saya melamar dan kami menikah pada lebaran selanjutnya yaitu Idul Adha,” beber Alan.
Tempat Belajar Berbisnis
Budayawan asal Wakatobi sekaligus penulis novel bertajuk Di Bawah Bayang-Bayang Ode, Sumiman Udu menyebutkan kacang jodoh itu sudah pernah ia jelaskan tiga tahun lalu di salah satu TV nasional.
“Sebagai ikon, ya itu bisa dibesar-besarkan, namun sebenarnya itu adalah penjual kacang biasa saja. Menarik juga, secara ekonomi itu tempat anak anak gadis kita belajar berbisnis, dari segi cinta tempat itu menjadi ruang pertemuan,” tuturnya.
Namun, kata dia, sepertinya Wakatobi butuh kacang jodoh yang lebih baik, biar ekonominya bergairah.
“Itu bisa dikembangkan sehingga menjadi ruang informal pelatihan anak muda, itu sangat penting. Di situ potensi ruang publik Wakatobi dibuka. Dalam artian ruang publik kacang jodoh yang dikelola dengan baik, ruang publik terintegrasi dengan kopi, tempat wisata sehingga anak anak kita terlatih berbisnis,” cetusnya. (A)