OPINI : Salah satu politisi yang sudah jauh-jauh hari menyatakan akan berkompetisi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 adalah Rusda Mahmud. Bupati Kolaka Utara yang sebentar lagi akan lengser. Dia sudah bikin posko pemenangan di kawasan elite di Kota Kendari. Baliho berbayarnya sempat mewarnai titik-titik strategis di ibukota provinsi. Belum baliho “pinggir-pinggir” jalannya di hampir seluruh kabupaten/kota.
Dipandang dari titik mereka mulai tarik gas, Rusda hanya bisa disetarakan dengan kandidat kuat lainnya, Walikota Kendari Asrun, yang juga lengser. Keduanya memiliki kemiripan, Asrun baru saja memenangkan putranya sebagai pengganti di Kendari, Rusda pun baru saja “memenangkan” orang kepercayaannya sebagai suksesornya. Bedanya, kemenangan Adriatma Dwiputra kemungkinan akan berproses hukum, sedangkan Nur Rahman Umar menang telak.
Rusda patut jor-joran memperkenalkan diri. Dia bukan siapa-siapa di level provinsi. Namanya sayup-sayup di wilayah kepulauan (Buton, Muna, Wakatobi). Di jazirah Konawe (termasuk utara, selatan, dan Wawonii), mendapati tantangan primordial. Kepulauan dan jazirah Konawe adalah kantong suara.
Tidak heran sejumlah perhelatan level provinsi dijemputnya agar daerah yang dipimpinnya menjadi tuan rumah. Dia mengundang orang-orang se-Sultra menyaksikan apa yang diperbuatnya di daerah paling utara provinsi ini.
Tidak bisa dipungkiri, Kolaka Utara merupakan kabupaten pemekaran yang berkembang sangat pesat melampaui kemajuan sejumlah daerah pemekaran yang seusia dengannya, bahkan beberapa kabupaten induk lainnya.
Di perpolitikan Kolaka Utara, Rusda menggurita. Dia politisi terkuat sepanjang 2004-2014 dengan PNBK (yang berubah menjadi PNBKI) yang dipimpinya. Partainya kemudian menjadi korban parliamentary threshold sehingga memaksanya hengkang ke partai lain. Dia memilih Demokrat dan menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Sultra yang dipimpin oleh Muhammad Endang.
Sesungguhnya, keberadaannya di Demokrat kurang kontributif. Pada Pemilu 2014, Demokrat hanya berhasil meraih tiga kursi. Hanya menambah satu kursi dari raihan Pemilu 2009 sebanyak dua kursi. Sebagai “kader” Demokrat yang duduk sebagai bupati, itu bukan prestasi. Bandingkan dengan PDIP –pemenang pemilu di sana– dari nol kursi pada Pemilu 2004 dan 2009 menjadi enam kursi pada Pemilu 2014.
Survei elektabilitas yang dilakukan Barometer Suara Indonesia (BSI), Oktober 2016 lalu, hanya menempatkan Rusda di posisi kelima setelah Ali Mazi, Asrun, La Ode Ida, dan Ridwan Bae. Rusda hanya unggul atas Lukman Abunawas, Hugua, Imran, dan Tina Nur Alam.
Manuvernya yang sedikit menolong adalah di Pilkada 2017. Dia mendorong seorang pamong senior yang selama ini membantunya di pemerintahan, Nur Rahman Umar. Demokrat menjadi motor koalisi, tempat dia bernaung. Meskipun pengaruh Rusda lebih lebih kental karena posisinya sebagai bupati ketimbang ketua dewan pembina partai.
Kini, Rusda menatap kursi gubernur. Pilkada 2017 selesai. Pilkada 2018 menanti. Modalnya tidak sekomplit Asrun, bakal lawan tandingnya. Rusda hanya punya dua jualan, prestasi pembangunannya dan uang. Di partai, dia hanya menduduki “kursi kehormatan”. Jejaringnya ke level nasional putus sejak PNBK ambruk.
Spekulasinya membangun komitmen dengan Sjafei Kahar, mantan Bupati Buton, lumayan cantik. Mereka direkatkan oleh kesepakatan hasil survei. Siapa yang tinggi akan menjadi 01 dan lainnya harus 02. Rusda percaya diri akan merengkuh kandidat 01 dengan posisi tawar Sjafei kala itu.
Tapi konstelasi berubah setelah putra Sjafei, Agus Feisal Hidayat, kemungkinan keluar sebagai pemenang pilkada di Buton Selatan. Ini memperpanjang napas Sjafei yang bintangnya sudah mulai redup. Sjafei akan pasang harga. Dia akan bersikeras menjadi kandidat 01 dan melemahkan daya tawar Rusda. Seperti kata Rusda, semua keputusan berpulang pada Sjafei. Lanjut atau tidak.
Untuk partai pengusung, lirikan pertama Rusda tentu saja ke Demokrat. Dia menaruh harapan besar pada bintang mercy. Partai pemenang ketiga setelah PAN dan Golkar di DPRD provinsi. Membukukan enam kursi. Hanya perlu minimal tiga kursi koalisi untuk bisa mengusung calon.
Muhammad Endang, sang komandan, tentu punya hitungan sendiri. Kekalahan beruntunnya di dua pilkada yang melibatkan dirinya secara langsung, membuatnya berhitung super cermat. Yang pasti, jika ada tiga pasangan calon gubernur, Demokrat berpotensi kuat merupakan salah satu motor koalisi.
Realitas itu akan membuat Endang tidak mudah mengatakan “ya” buat Rusda. Apalagi jika Rusda “memaksakan” akan berpaket dengan Sjafei. Itu artinya –jika akan mengusung keduanya– Endang akan banting tulang lagi meyakinkan jazirah Konawe untuk melirik mereka. Rusda-Sjafei tidak merepsentasikan jazirah itu.
Pertimbangan lain, Sjafei seorang kader Golkar yang tak lagi memiliki kuasa signifikan di partainya. Belum lagi jika Ketua Golkar Sultra Ridwan Bae kembali berniat menjajal elektabilitasnya di pilgub.
Baca Juga : [Tak] Perlu Berdoa di Pilkada
Akhirnya, posisi Rusda seperti ronin. Pendekar Jepang yang kehilangan tuan. Dia akan berkelana memasuki kastil-kastil baru yang bisa menerimanya kembali sebagai samurai seutuhnya, sembari mencari tandem yang tepat untuk menemani atau malah sekadar ditemaninya.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial