ZONASULTRA.COM, KOLAKA – Kisruh pertambangan nikel milik PT Waja Inti Lestari (WIL) di desa Babarina dan Muara Lapao-pao, kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) kian memanas.
Setelah sebelumnya Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Kolaka menyatakan bahwa aktivitas PT WIL yang menambang diluar areal Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimilikinya. Kini giliran DPRD Kolaka yang mengklaim kalau aktivitas perusahaan itu tidak ada masalah apapun.
Bahkan, dalam wawancaranya dengan media ini, ketua komisi III DPRD Kolaka Ajib Majid menilai, aktivitas PT WIL di kecamatan Wolo adalah legal.
Menurutnya, berdasarkan hasil rapat dengar pendapat yang dilakukan DPRD bersama dengan Dinas Kehutanan (Dishut), Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) dan Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Kolaka beberapa waktu lalu, tidak ada yang menyampaikan ke DPRD jika PT. WIL melanggar.
“Jadi saya fikir hingga saat ini di sana tidak ada masalah, karena tidak ada yang datang melapor ke DPRD. Bahkan pada waktu ada aksi yang digelar beberapa waktu lalu, tentang PT. WIL itu tidak sampai ke DPRD. Bahkan, dari hasil rapat dengar pendapat itu, tidak ada yang menyebut bahwa PT. WIL telah melakukan penambangan ilegal,” jelas Ajib saat ditemui di kantor DPRD Kolaka, Jum’at (21/10/2016).
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi III DPRD Kolaka lainnya, Hasbi Mustafa. Menurutnya, ada salah satu LSM yang membawa aspirasi ke DPRD, namun sampai detik pertemuan yang dilakukan itu tidak hadir. Padahal, rapat dengar pendapat yang digelar tersebut dihadiri dinas terkait.
(Baca Juga : Dinas Kehutanan Kolaka: PT WIL Menambang di Luar Areal IUP)
“Kita pernah melakukan rapat dengar pendapat dengan PT. WIL, pertambangan, Dishut, BLHK, semua dinas yang berkompeten terkait hal tersebut itu. Tapi si pembawa aspirasi tersebut itu tidak mau hadiri pertemuan tersebut,” terangnya.
Pada dasarnya, lanjut Hasbi, hasil pertemuan dan melihat dokumen yang dipegang PT. WIL tidak ada satupun instansi yang menyatakan kalau aktivitas PT WIL itu bermasalah.
Hasbi justru menyayangkan sikap Dishut Kolaka. Sebab, pada waktu rapat dengar pendapat yang dilakukan beberapa waktu itu tidak menyampaikannya. Sebab, apabila sudah masuk ke ranah hukum, sudah bukan lagi ranah DPRD.
“Jadi karena tidak ada masalah, kita tidak turun langsung ke lapangan. Sebab, apabila persoalan yang terjadi seperti itu dan sudah masuk ke ranah hukum, kita tidak bisa lagi tangani,” ujarnya.
Karena kita perlu ingat, lanjut Hasbi. Jika PT WIL melakukan pelanggaran, seharusnya, Dishut, Pertambangan dan BLHK memanggil perusahaan itu untuk menemukan solusi penyelesaian masalahnya.
Kalaupun sudah masuk ke ranah hukum, Hasbi mempersilahkan pilihan kepolisian dan kejaksaan untuk melakuknanproaes hukum.
“Kan begitu, karena kita itu disini menyelesaikan masalah, bukan memperkeruh agar, apa yang disuarakan di Dinas Kehutanan tidak terlalu melebar yang pada akhir perjalanannya itu akan ketemu (selesai, red). Itu semua yang diharapkan oleh Komisi III DPRD ini,” tandasnya.
IUP Istimewa Itu Milik PT WIL
Dari puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Kabupaten Kolaka, hanya satu IUP saja yang dinilai menimbulkan pro-kontra.
Direktur Lingkar Demokrasi Rakyat (Lider) Sultra, Herman Syahruddin bahkan menilai, IUP yang diterbitkan oleh mantan pelaksana tugas (Plt) Bupati Kolaka, Amir Sahaka itu terkesan istimewa.
Sebab, dalam melakukan aktivitasnya, ternyata perusahaan penambang nikel itu sudah dua kali melakukan perubahan IUP. Yang mana, pertama kali IUP PT WIL diterbitkan melalui surat keputusan (SK) bupati Kolaka nomor 351 tahun 2010.
(Baca Juga : KPK Sahuti Laporan Lider Sultra Soal Penambangan Ilegal PT WIL di Kolaka)
Menurut Herman, karena areal IUP 351 itu tidak memiliki kandungan nikel dengan kadar yang tinggi, maka perusahaan itu kembali mengajukan pergeseran areal tambang melalui SK Plt Bupati Kolaka nomor 502 tahun 2013.
Kisruh IUP istimewa milik PT WIL itu semakin mencuat setelah Badan Penanam Modal Daerah-Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BKPMD-PTSP) Sultra yang dinilai berani mengeluarkan persetujuan perubahan titik koordinat IUP PT WIL dari SK Nomor 502 Tahun 2013 dikembalikan ke IUP SK nomor 351 Tahun 2010 yang menimbulkan pidana khusus dan pidana pertambangan.
Herman menilai, dengan surat izin itu, maka BKPMD Sultra melegitimasi terjadinya praktik pidana khusus dan kejahatan berjamaah dibidang pertambangan.
Sebab, SK Nomor 502 tahun 2013 tentang penerbitan IUP perusahaan itu telah dinyatakan dalam status sengketa dan telah memiliki keputusan hukum dari Pengadilan Negeri Kolaka nomor 49/Pid.B/2014/PN.KKa dan Putusan Nomor 62/Pid.SUS/2014/PN.Kka tanggal 25 Oktober 2014.
Dalam putusan pengadilan itu menyatakan bahwa pimpinan PT WIL beserta perusahaan JO-nya divonis bersalah dan menghukum penjara empat tahun kepada Syamsul Bahtiar Bin Abd Rahim selaku Direktur Cabang PT WIL serta denda Rp 500 juta.
Selain itu, putusan pengadilan itu juga menghukum Farid Wadjim Bin H Abdul Cholis dengan vonis 3,6 tahun penjara serta membayar denda Rp 300 juta. Kemudian Amir Bahtiar Bin Ucup Mudiya selaku komisaris PT Emin Indonesia serta Mr. Zhang Yong Tur (pihak rekanan PT WIL) masing-masing divonis penjara 2,6 tahun serta denda Rp. 300 juta.
SK Nomor 502 Tahun 2013 tentang penataan ulang titik koordinat yang dikeluarkan mantan pelaksana tugas (Plt) Bupati Kolaka H Amir Sahaka, lanjut Herman, secara tegas membatalkan lampiran 1 (titik Koordinat) dan Lampiran 2 (peta wilayah) IUP SK Nomor 351 Tahun 2010 yang ditandatangani mantan Bupati Kolaka H Buhari Matta.
“Anehnya, tanggal 19 Oktober 2015 BKPMD-PTSP Provinsi Sultra mengeluarkan surat keputusan berisi persetujuan penataan batas koordinat dan peta wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi PT WIL Nomor:269/BKPMD-PTSP/X/2015 ditanda tangani oleh Masmuddin atas nama gubernur Sultra,”beber Herman, Minggu (23/10/2016).
Inti dari surat BKPMD-PTSP ini, lanjut Herman adalah mengaktifkan kembali IUP SK Nomor 351 Tahun 2010 Tanggal 12 April 2010. Dengan keputusan tersebut, SK Nomor 502 Tahun 2013 Tanggal 26 Agustus 2013 dinyatakan tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berarti cacat hukum dan dinilai Illegal.
Apakah perubahan-perubahan titik koordinat itu dibenarkan? Dengan tegas Herman menyatakan, perubahan titik koordinat merupakan pidana pertambangan sebagaimana diatur pada Pasal 165 undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
“Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK bertentangan dengan UU dan menyalahgunakan kewenangnya, diberi sanksi pidana paling lama dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta,”kutipnya.
Ditegaskan, SK 502 Tahun 2013 milik PT WIL hasil penataan ulang titik koodinat jelas-jelas merupakan IUP baru dengan listas bujur perpindahan titik koordinat sejauh 8 KM, sementara terhitung Oktober 2012 Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak menerima lagi data IUP yang diterbitkan pemerintah daerah untuk diregistrasi sebagai data nasional IUP.
IUP dengan lampiran Titik Koodinat Peta Pertambangan setelah ditandatangani Rekonsiliasi Nasional IUP Tahap II Wilayah Sulawesi, berarti IUP Operasi Produksi status CnC menjadi data Nasional IUP pada Dirjen Minerba Kementrian ESDM RI sebagaimana IUP dan titik koodinat yang diajuhkan saat pengurusan CnC.
Rekonsiliasi Nasional IUP, kata Herman dipertegas dengan Surat Dirjen Minerba kepada Para Gubernur dan Bupati/walikota Se-Indonesia No.680/30/DJB/2013 tanggal 22 April 2013. Surat tersebut berisi hal Penetapan WP (WUP, WPN dan WPR). Maka tanggapan Penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dengan Peta Wilayah Pertambangan Wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota telah ditentukan oleh Gubernur, Bupati/walikota se- Pulau Sulawesi.
“Penentuan Wilayah Pertambangan (WP) Gubernur, Bupati/walikota se- Pulau Sulawesi ditindak lanjuti dengan Hasil Rekonsiliasi Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementrian ESDM RI dengan Gubernur dan Bupati/walikota se-Pulau Sulawesi pada tanggal 13 Juni 2013,”ujarnya.
Hasil Rekonsiliasi Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi lanjut Herman kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) Tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi No: 2737 K/30/MEM/2013 tanggal 3 Juli 2013. Keputusan Menteri ESDM RI Tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Sulawesi tersebut sebagai dasar hukum data Nasional IUP.
“Mangacu aturan diatas, perubahan titik koodinat dan peta wilayah pertambangan pada IUP operasi produksi status CnC PT WIL dapat disimpulkan suatu rekayasa atau kongkalikong para pelaku kebijakan pada instansi terkait dan dikategorikan pidana Pertambangan dan pemufakatan hajat,”tegasnya.
Artinya, beber Herman perubahan titik koodinat dan peta wilayah pertambangan pada IUP operasi produksi status CnC dengan menambah titik koodinat baru dan tidak bertalian, maka perusahaan pertambangan tersebut dapat dipastikan tidak lagi berstatus CnC sebagaimana data Nasional IUP pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementrian ESDM RI.
Selain tindak pidana pertambangan dan pemufakatan hajat, Herman juga mengakui keberanian PT WIL mengangkut dan menjual tumpukan Ore sebanyak 300.000 MT hasil produksi lalu yang merupakan hasil penambagan illigal pada titik koordinat SK 502 serta diduga keras juga sebagai barang bukti milik negara dengan menggunakan “surat sakti” dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ditegaskan, “surat sakti” dimiliki PT WIL untuk beraktifitas di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang masuk sebagai Hutan Moratorium dan sampai hari ini status hutan tersebut belum berubah berasal dari BKPMD- PTSP dan dari Dinas ESDM Propinsi
Herman menjelaskan, Surat Nomor:269/BKPMD-PTSP/X/2015 berisi tentang persetujuan penataan batas koordinat dan peta wilayah izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi PT WIL.
“Dari surat BKPMD-PTSP inilah, Dinas ESDM Sultra mengeluarkan surat bernomor: 540/1149 tanggal 20 Oktober 2015. Surat tersebut keluar sehari setelah BPMD-KTSP mengeluarkan surat ke PT WIL,”tambahnya.
Sementara surat Kepala Dinas ESDM Sultra yang ditanda tangani pelaksana harian Kepala Dinas Andi Asis, itu disebutkan kalau PT WIL sudah dapat melakukan kegiatan usaha pertambangan antara lain penambangan, pengangkutan, penjualan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai IUP dimiliki PT WIL.
Menurutnya, dokumen-dokumen itulah dijadikan sebagai “surat sakti” bagi PT WIL untuk kembali beraktifitas di lokasi titik koordinat SK Nomor 502 Tahun 2013 untuk mengangkut dan menjual ore hasil produksi lalu yang mana keseluruhan lahannya seluas 210,3 hektar telah dikembalikan kepada Kementerian Kehutanan RI sesuai putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor:62/Pid.SUS/2014/PN.KKa tanggal 25 oktober 2014.
(Baca Juga : Gabungan LSM di Kolaka Minta Penegak Hukum Proses PT WIL)
Bahwa “surat sakti” dimiliki PT WIL, menurut Herman, dalam konsideran menimbang ditegaskan bahwa hasil evaluasi terhadap penataan ulang batas koordinat dan peta wilayah IUP PT WIL berdasarkan SK Bupati Kolaka Nomor 502 Tahun 2013 tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan. Maka segala produk hasil penambangan serta hasil penjualan ore ke China sesuai SK 502 Tahun 2013 adalah tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan alias cacat hukum dan Illegal.
Itu artinya, SK Nomor:351 Tahun 2010 yang ditanda tangani mantan Bupati Kolaka H Buhari Matta sebagai dasar IUP PT WIL kembali diaktifkan, sementara sisa hasil penambangan sebanyak 300.000 MT yang telah diangkut dan dipindahkan dan sebagian besar telah dijual antar provinsi dengan memakai kapal tongkang, serta hasil penjualan ore nikel ke China sebanyak 11 kapal berkapasitas 50.000 metrik ton (MT)/kapal atau setara 550.000 MT merupakan produk hasil penataan ulang titik koordinat SK 502 tahun 2013 dianggap cacat hukum dan Illegal merupakan kejahatan massif dan korupsi berjamaah yang sangat merugikan perekonomian Negara.
Ia juga mengungkapkan, selain SK 502 tahun 2013 yang dinilai cacat hukum dan illegal karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan menurut SK Kepala BKPMD-PTSP Sultra, lalu bagaimana dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor; 62/Pid.SUS/2014/PN.KKa telah berkekuatan hukum tetap.
“Inilah yang disinyalir bahwa SK Kepala BKPMD PTSP Sultra nomor 264/BKPMD-PTSP/X/2015, Surat Kepala Dinas ESDM Sultra Nomor;540/1052 tanggal 2 Oktober 2015 terkait pertimbangan teknis serta Surat Kepala Dinas ESDM Sultra Nomor;540/1149 tanggal 20 Oktober 2015 perihal kegiatan usaha pertambangan, merupakan suatu pemufakatan jahat karena mengesampingkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,”katanya. (A)
Reporter : Abdul Saban
Editor : Tahir Ose