Mengurai Masalah Sistem Pendidikan

183
Jumartin Gerung, S.Si., M.Kes
Jumartin Gerung, S.Si., M.Kes

Bangsa yang hebat adalah bangsa yang memberikan perhatian serius terhadap generasi penerusnya. Pendidikan memiliki peran penting dalam mewujudkan satu peradaban yang mandiri, kuat dan terdepan. Untuk itu, Suatu bangsa akan merumuskan visi misi pendidikan yang bertujuan untuk mencetak pribadi yang ber-akhlakul karimah,  ahli ilmu yang mumpuni, sekaligus rujukan umat dalam membangun peradaban gemilang. Ilmu  adalah mata air kehidupan, pelita bagi gelapnya kebodohan. Tak satupun bangsa yang menginginkan kebodohan melingkupi rakyat apalagi generasinya. Untuk itu, segala parameter yang menopang keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan akan sangat diperhatikan. Bagaimana dengan kondisi pendidikan Indonesia saat ini?

Berdasarkan data tahun 2016, khusus untuk Angka putus Sekolah tingkat Dasar (SD) saja, di Indonesia rupanya masih cukup tinggi. Merujuk pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tahun 2015-2016 terdapat sekitar 946.013 siswa lulus SD yang ternyata tidak mampu melanjutkan ke tingkat menengah (SMP).

Output pendidikan saat ini juga tak pernah sepi dari masalah. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa Jumlah pengguna narkoba di usia remaja naik menjadi 14 ribu jiwa dengan rentang usia 12-21 tahun. Belum lagi kasus pergaulan bebas, seks bebas yang melanda Remaja akibat gaya hidup permisif hedonis yang terus menerus di kampanyekan. Di Indonesia, berdasarkan data statistik tahun 2016, jumlah kaum gay mencapai 10-20 juta orang, yang sebagian besar berasal dari kalangan remaja. LGBT menjadi fenomena, geng motor kian tak terkendali, aborsi dan hamil diluar nikah bahkan tak pernah sepi dari pemberitaan, bahkan asmara berujung maut kerap menghiasi linimasa dan layar kaca. Sistem pendidikan yang pelaksanaanya sekedar mengejar ijazah, tak berhasil mencetak output yang berakhlakul karimah. Lihatlah, Sistem senioritas yang diterapkan bukannya bertujuan untuk saling berbagi, justru dijadikan ajang kekerasan pada junior. Sungguh, generasi usia produktif dan calon penerus bangsa kita tengah dihancurkan sedemikian rupa.

Pendidikan juga sejatinya menjadi harapan dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Faktanya, berdasarkan profil badan pusat statistic tahun 2016 mengenai Kemiskinan di Indonesia yang diterbitkan pada tanggal 18 Juli 2016, mengungkapkan jumlah penduduk miskin—penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan—pada Maret 2016 di Indonesia mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Mengapa dunia pendidikan menjadi bagian yang terpisah dengan problematika umat?

Jawabannya tak lain adalah karena visi pendidikan saat ini hanya bertujuan untuk mencetak output yang siap kerja, berorientasi pasar dan kurang peka akan problem masyarakat. Pendidikan telah menjadi barang mahal dan ijazahnya hanya digunakan untuk memenuhi prasayarat dunia kerja. Gamang dengan tujuan pendidikan yang kian tak jelas, membuat tingkat ketertarikan masyarakat terhadap ilmu berada pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Generasi Plagiat dan kasus ijazah palsu yang pernah mengemuka adalah bukti betapa ilmu tak lagi di anggap penting. Pendidikan yang dijalani pun seadanya, harapannya cepat lulus dan dapat kerja. Alhasil, pendidikan kita harus banting setir menyusun kurikulum dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar yang berbasis vokasi dan entrepreneur.

Mengurai masalah pendidikan

Penerapan system kapitalis berikut system ekonomi liberal saat ini, menjadikan seluruh kebutuhan rakyat termasuk pendidikan, kian melangit. Sumber daya alam yang melimpah, justru diserahkan ke pihak asing dan hasil pengelolaannya lebih banyak masuk ke kantong konglomerat. Akibatnya, anggaran untuk rakyat termasuk dana pendidikan, dikurangi bahkan dihilangkan. Untuk tahun 2016 saja, Anggaran untuk Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) telah mengalami pemangkasan. Hal ini merupakan dampak dari keputusan pemerintah untuk melakukan penghematan atau pemotongan anggaran belanja kementerian/lembaga untuk tahun anggaran 2016. Sedikit demi sedikit, pengelolaan pendidikan dipindahkan kepada rakyat. Negara berlepas tangan melalui berbagai mekanisme kebijakan seperti BHP-BHMN, UKT hingga PTN-BH. Rakyat meradang, kerasnya kehidupan dalam system kapitalisme pun kian mecengkeram sendi-sendi kehidupan mereka. System ekonomi liberal yang mendukung privatisasi pendidikan, membuat system pendidikan kian bergeser dari tujuan penyelenggaraannya.

Hal tersebut Berbeda dengan Islam yang memandang pendidikan sebagai kebutuhan primer. Negara memiliki seperangkat mekanisme agar kebutuhan ini dapat dijangkau oleh seluruh warga. Tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian islami, yaitu dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran dan perilaku islami. Melalui mekanismenya, Daulah Islam berupaya mempersiapkan generasi Muslim agar mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran).

Kemandirian ekonomi yang ditopang dengan system ekonomi yang mumpuni adalah salah satu kunci kesusksesan system pendidikan yang diselenggarakan negara. Negara akan mengadopsi system politik ekonomi yang akan sangat berkontribusi mewujudkan kemaslahatan umat. Salahsatunya adalah dengan mengelola sumber daya alam yang melimpah. Negara memproteksi adanya individu yang mengelola sumberdaya alam yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat. ‘‘Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Maka, pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk termasuk dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

Berdasarkan tata kelola ini, Negara mampu menyelenggarakan Pendidikan gratis yang diperoleh dari Baitu Mal.  Pos-pos  baitul maal pun tak hanya melalui pengelolaan SDA, terdapat pos-pos keuangan negara lainnya yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara- seperti ghanimah, khumuus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah; (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Dengan pendanaan ini juga, Negara akan menyediakan sarana  dan prasarana terbaik: seperti ruang kelas, observatorium, perpustakaan, laboratorium, asrama, kamar mandi, dan seluruh kebutuhan penyelenggaraan pendidikan lainnya. Disisi lain,negara akan menyediakan tenaga  pengajar yang berkualitas dengan imbalan yang memuaskan sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh khalifah Umar Bin Khattab yang menggaji tenaga pengajar 15 dinar per bulan. Bandingkan dengan gaji tenaga pengajar saat ini dengan berbagai syarat administrasinya yang memberatkan. Negara juga mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang menjamin agar selalu terdapat guru, dosen, perawat, dokter, insinyur, mujtahid, dan tenaga-tenaga lain yang keberadaannya wajib kifayah dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat.

Dengan system ini, akan terwujud pendidikan untuk semua,  capaian output yang mumpuni, dan terwujud peradaban cemerlang yang mandiri dan terdepan.

 

Oleh : Jumartin Gerung, S.Si., M.Kes.
Penulis Merupakan Dosen STIKES Mandala Waluya Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini