Milenialisasi peradaban dunia dan manisfestasi teknologi merevolusi berbagai bentuk kriminalitas dan bagaimana menemukan upaya yang tepat untuk merestrukrisasi bentuk pemidanaan terhadap pelanggar hukum. Tingginya angka kriminalitas serta upaya penyelesaian hukum pidana sebagai jalan akhir dari bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum akan berdampak pada peningkatan kapasitas hunian pada Lapas dan Rutandi Indonesia. Kelebihan kapasitas pada Lapas dan Rutan tentu akan beresiko menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di wilayah Lapas dan Rutan. Hal ini terjadi akibat pelayanan yang tidak maksimal akibat rasio penghuni lebih tinggi di banding dengan kapasitas muatan di Lapas. Narapidana yang berada didalam Lapas dan Rutandengan kondisi overcapacity akan sangat rentan untuk menimbulkan ancaman tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga berpotensi terhadap rekan penghuni bahkan lingkungan sekitarnya termasuk petugas pemasyarakatan. Sangat disayangkan, potret realitas Lapas dan Rutan di Indonesia saat ini sungguh mengkhawatirkan, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ada sepuluh Lapas dan Rutan yang termasuk dalam hunian terpadat dan Lapas Kelas IIA Bagan Siapi – Api menempati posisi pertama dengan overcapacity mencapai 715%. Kita tidak dapat menafikan data secara statistik saja, bahwa angka overcapacityLapas dan Rutan di Indonesia saat ini sudah mencapai 76 %, tetapi lebih jauh kita membayangkanbahwa overcapacity adalah akar timbulnya permasalahan yang kompleks mulai dari kerusuhan, pembakaran, pelarian dan pemberontakan yang tentunya diakibatkan karena pelayanan serta hak – hak narapidana yang tidak terpenuhi. Pelayanan tersebut berupa Remisi Umum dan Khusus, Pembebasan Bersyarat, Cuti bersyarat Cuti Menjelang Bebas, Asimilasi dan hak lainnya yang diatur oleh Undang – Undang.
Kebijakan serta manajemen strategis telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sejak merebaknya jumlah penghuni Lapas di tahun 1990 mulai dari percepatan administrasi pelayanan hak – hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) hingga pengeluaran narapidana yang baru – baru dilaksanakan demi mengantisipasi merebaknya virus covid – 19 yang dapat menimbulkan ancaman di dalam Lapas dan Rutan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusiapun telah berupaya keras untuk menemukan solusi permasalahan bagaimana metode penanggulangan yang tepat terhadap overkapasitas dengan jalan melakukan pembaharuan terhadap Undang – Undang yakni RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan, melakukan koordinasi hukum melalui Forum Integrated Criminal Justice Systemsebagai langkah untuk menyatukan visi bersama dalam penanggulangan overkapasitas, membangun Lapas hunian yang muatannya lebih besar dibandingkan dengan lapas sebelumnya, Melakukan upaya dekriminalisasi hukum dengan jalan Restorative Justice untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa serta meningkatkan level pengamanan Lembaga Pemasyarakatan untuk melakukan asesmen terhadap narapidana sehingga upaya ini diharapkan mempercepat proses pembinaan dengan jalan menyadarkan narapidana dan mengakui kesalahannya sehingga dia mengetahui tanggung jawabnya sebagai seorang individu di masyarakat. Secara spesifik, tulisan ini secara singkat akan menganalisis tentang faktor – faktor penyebab overcapacity di dalam penjara serta upaya pencegahannya dengan tujuan untuk memberikan gambaran realitas kondisi penjara di Indonesia saat ini.
Menganalisis Faktor Penyebab Over Kapasitas di dalam Penjara
Dalam laporan World Prison Populations, International Centre for Prison Studies, United Kingdom, pada tanggal 10Juli 2020,mengungkapkan bahwa lebih dari 10,35 juta orang di seluruh dunia dipenjarakan, baik sebagai tahanan dalam proses peradilan maupun yang telah dijatuhi pidana. Dari jumlah tersebut, 7 negara yang menyumbang populasi narapidana terbanyak adalah 1) USA 2.193.798 , 2) China 1.548.498, 3) Rusia 874.161, 4) Brazil371.482, 5) India 332.112, dan 6) Indonesia 231.978 narapidana/tahanan.
Berdasarkan data yang di lansir melalui laman news.bbc.co.uk menyatakan bahwa dari total populasi narapidana di dunia yakni sekitar 9 juta orang berada di penjara USA, China dan Rusia. Jika mengggunakan rasio perbandingan per 100.000 penduduk maka dapat dikatakan bahwa USA adalah yang tertinggi yakni 724 orang narapidana per 100.000 penduduk.
Berbeda dengan Indonesia yang menempati urutan ke 6 dari jumlah narapidana di dunia setelah India.Menurut data Ditjenpas melalui Sistem Database Pemasyarakatan pertanggal 13 Juli 2020 Tercatat Penghuni seluruh Lapas/Rutan di Indonesia sebanyak 231.978 orang sedangkan kapasitas hanya dapat menampung 132.107 orang. Dari jumlah tersebut, 53,72% nya merupakan tindak pidana narkotika, jumlah Tahanan 24.226 orang, Narapidana 100.392 orang dengan jumlah total 124.618 orang. Dari data diatas terdapat 10 Lapas/Rutan yang memiliki populasi penghuni terbanyak yaitu, 1) Lapas Kelas IIA Bagan Siapiapi 715%, 2) Lapas Kelas IIB Teluk Kuantan 570%, 3) Lapas Kelas IIA Banjarmasin 565%, 4) Lapas Kelas IIB Bireun 535%, 5) Lapas Kelas IIA Labuhan Ruku 527%, 6) Rutan Kelas I Surabaya 480%, 7) Lapas Kelas IIB Idi 478%, 8) Lapas Kelas IIA Balikpapan 429%, 9) Lapas Kelas IIB Lhoksukon 424%, 10) Lapas Kelas IIA Kotabaru 417% narapidana/tahanan.
Berdasarkan data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jika penduduk Indonesia berjumlah 267 juta dan napi/ tahanan ada 230.000 orang maka 23.500.000,000 : 267.000.000 = 81 orang.
Di dalam aturan 14 Nelson Mandela Rules/SMR kondisi diatas adalah sangat tidak layak dan tidak sesuai dengan standar prosedur minimal perlakuan bagi narapidana dan tahanan di dalam penjara. Kondisi overcapacity tentu akan menggeser pola pembinaan yang seharusnya menjadi poin pertama dalam standar perlakuan yang diberikan kepada narapidana dan tahanan.
Merujuk pada penelitian dan data di lapangan, secara umum overcapacityLapas dan Rutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi; penegakkan hukum yang berorientasi pada prinsip penjatuhan pidana/penal intend/punitive intend,Negara abai dalam melaksanakan perintah Undang – Undang untuk membangun Lapas dan Rutan di setiap Kota dan Kabupaten ( UU/12/1995 dan PP. 27/1983 ), serta PP. 99/2012 yang membuat Lapas dan Rutan mengalami sindrom bottleneck dalam melakukan tugasnya.
Faktor lain juga yang mempengaruhi overcapacityantara lain yakni ; tingginya tingkat kriminalitas, keterbatasan fasilitas ruang tahanan Lapas/Rutan,s over kriminalisasi dan penalisasi dengan pidana penjara, alternatif dari pidana penjara seperti pidana denda dan pidana bersyarat dipandang kurang efektif, persyaratan penahanan yang longgar dan masa tahanan yang lama, terdapat aturan yang membatasi pemberian remisi untuk jenis tindak pidana tertentu.
Melihat penjabaran dari KUHAP dan KUHP, proses penyelesaian hukum lebih dititikberatkan pada upaya pidana. Sehingga untuk tindak pidana ringan yang harusnya dapat dilaksanakan dengan metode restorative justice atau dengan memberikan alternatif pemidanaan. Alternatif pemidanaan dapat diberikan melalui pidana kerja sosial serta pemidanaan yang dilaksanakan di masyarakat dengan pengawasan (Community Based Correction/CBC).Hal ini dapat membantu mengintegrasikan narapidana untuk kembali beradaptasi dengan lingkungan masyarakat.
Secara konsep pemasyarakatan bahwasannya, dengan upaya pemidanaan sebagai upaya terakhir dalam mereduksi angka kriminalitas adalah bukan untuk tujuan menjerakan, namun lebih penting adalah untuk menyadarkan pelanggar hukum untuk segera bertobat dan mengakui kesalahannya. Stigma yang negatif tentu akan membuatnya rentan untuk mengulangi tindak kejahatan ( Residivis ) dan menimbulkan kejahatan yang lebih ganas dari yang sebelumnya. Sehingga itu, melakukan upaya penalisasi atapun kriminalisasi pidana hanya akan membuat narapidana semakin tertekan dan membentuk budaya prisonisasi yang menyebabkan penjara menjadi ladang untuk memupuk rasa kejahatan sehingga ketika bebas, narapidana akan kembali melakukan tindak kriminal.
Disatu sisi, bahwa pentingnya peran sebuah negara dalam rangka menyediakan unit Lapas dan Rutan sesuai dengan amanat Undang – Undang No 12 Tahun 1995 serta Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa di setiap Kabupaten atau Kota diwajibkan memilikisekurang – kurangnya satu UPT Lapas dan Rutan. Hal ini dapat mendorong distribusi narapidana di dalam satu wilayah tanpa harus melakukan transfer ke wilayah lain. Tentu, hal ini sangat menjamin kebutuhan psikologis narapidana yang merpakan hak narapidana sesuai dengan prinsip pemasyarakatan bahwasannya penjara tidak memisahkan hubungan antara individu dengan keluarganya. Dengan keberadaan Lapas dan Rutan di satu wilayah akan memberikan pembinaan yang efektif dan terfokus sehingga ketika telah selesai menjalani pidana narapidana akan langsung diintegrasikan ke masyarakat.
Selain itu pengawasan antar lembaga hukum setelah proses persidangan adalah sangat diperlukan. Pemasyarakatan sebagai penanggung jawab pada tahap purna adjudikasi tentu membutuhkan koordinasi dengan lembaga hukum terkait dengan menentukan pembinaan yang tepat melalui asesmen dan sidang bersama (TPP) yang menghadirkan aparat penegakan hukum demi pencapaian visi bersama untuk mengurangi angka overcapacity. Namun sayangnya, dalam perjalanannya untuk mencapai visi tersebut banyak permasalahan krusial yang menghambat proses pembinaan tersebut, salah satunya adalah pembentukan Undang – Undang Hukum yang cenderung tidak sejalan dengan visi Undang – Undang Pemasyarakatan.
Sebagai manifestasi dari perbedaan visiregulasi tersebut yakni, pemberian remisi terhadap narapidana dalam satu tahun 2019 saja terdapat 3.307 orang narapidana yang langsung bebas. Dengan demikian remisi merupakan instrumen yang efektif dalam menanggulangi overcapacity Lapas/Rutan. persoalannya tidak semua narapinana boleh mengajukan remisi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, terdapat persyarakatan yang ketat dalam Pemberian Remisi terhadap narapidana tertentu, yaitu; narapidana tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Terhadap mereka itu selain harus memenuhi persyaratan pada umumnya, yaitu: 1) berkelakuan baik, yang dinbuktikan dengan: a) tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; b) telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lapas dengan predikat baik, dan 2) telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan, juga harus memenuhi syarat : a) bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; b) telah membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana tindak pidana korupsi; dan c) telah mengikuti program deradikalisasi serta menyatakan ikrar bagi narapidana terorisme.
Manifestasi kebijakan ini. menimbulkan perbedaan perlakuan antara narapidana yang tergolong dalam naripadana tindak pidana umum dan narapidana tindak pidana khusus seperti narapidana narkotika yang sudah memenuhi di hampir seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia. Tentu, Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 ini bukan menjadi salah satu regulasi yang menjadi kendala dalam penyatuan visi bersama aparat hukum dalam mengurangi jumlah overcapacityDidalam regulasi lain misalnya Pembaharuan Undang – Undang Narkotika yang menekankan pada upaya pidana bagi tindak pidana narkotika serta pembaharuan KUHAP dan KUHP yang mesti dilakukan demi mengedepankan kebijakan pemidanaan dan dekriminalisasi terhadap pelanggar hukum. Selain itu, RUU Pemasyarakatan seharusnya menjadi prioritas Pemerintah untuk segera disahkan karena ada beberapa poin dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 yang harus mendapat pembaharuan salah satunya adanya fungsi asesmen pembinaan yang sangat berdampak pada manajemen pembinaan narapidana dengan tujuan adalah mengurangi pengulangan tindak pidana (residivis) serta peran serta masyarakat dalam membantu pembinaan narapidana sehingga hal ini dapat membantu dalam menangani permasalahan overkapasitas di dalam Lapas dan Rutan.
Grand Design Mengatasi Over Kapasitas di Indonesia (Permenkumham No 11 Tahun 2017)
Kebijakan hukum pidana dalam mengatasi overcapacitypenjara di Indonesia pada saat ini adalah dengan Pertama, pembangunan lapas/rutan baru dan penambahan ruang hunian, Kedua, pemerataan/pemindahannarapidana. Ketiga, optimalisasi/penyeder-hanaan pemberian Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB) misalnya penyederhanaan syarat administratif dalam pengajuan asimilasi, PB, CMB, dan CB. Selain itu, narapidana dengan pidana dibawah satu tahun diberikan CB dengan ketentuan apabila selama cuti melakukan tindak pidana lagi maka lama cuti yang dijalani tidak dihitung sebagai masa hukuman. Perlu juga dipertimbangkan pendelegasian wewenang pemberian PB bagi narapidana 5 tahun ke bawah kepada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM. Keempat, pemberian remisi umum dan remisi khusus. Kelima, Konsep Community Based Correction dalam bentuk pidana kerja sosial dengan jalan mendekatkan narapidana ke masyarakat.
Strategi mengatasi overcrowdingdi Indonesia dalam upaya untuk menangani overcrowding telahdilakukan, diantaranya yang terakhir adalah adanya Grand Design penanganan overcrowding pada rumah tahanannegara dan lembaga pemasyarakatan. Kebijakan tersebut terlihat cukup lengkap sebagai ‘peta jalan’ untuk menanganani masalah overcrowding di Rutan dan Lapas, yakni melalui (i) penataan regulasi; (ii) penguatan kelembagaan; (iii) pemenuhan saran dan prasarana; serta (iv) pemberdayaan sumber daya manusia.
Pembentukan Grand Design dalam mengatasi overkapasitas penjara di Indonesia tidak terlepas dari konferensi yang di laksanakan beberapa forum dan seminar di dunia, antara lain yaitu ;
- International Seminar on Prison Conditions in Africa pada tanggal 19-21 September 1996 di Kampala, Uganda. Seminar tersebut menghasilkan Kampala Declaration on Prison Condition in Africa yang telah dianeksasi oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1997/36.Deklarasi tersebut pada agenda Remand Prisoners merekomendasikan terkait upaya yang lebih selektif lagi dalam menetapkan penahanan pra-persidangan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap penentuan maupun pelaksanaan jangka waktu penahanan
- “The Challenge Of Prison Overcrowding” di San Jose, Kosta Rika pada 3 sampai 7 Februari 1997 dan akhirnya dilegitimasi pada Konferensi Internasional yang diadakan di Kadoma, Zimbabwe, tanggal 24 sampai 28 November 1997 melalui Kadoma Declaration on Community Service yang juga dianeksasi oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB 1998/23
Dari konferensi tersebut, banyak para ahli merumuskan pola pemidanaan dunia salah satunya adalah Richard D Schwartz dan Jerome H. Skolnick, yang menyatakan bahwa ;pemberian pidana bertujuan untuk:
- Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism).
- Mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar act).
- Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif balas dendam (to provide a chennel for the expression of retaliatory motives).
Selain itu, W. Clifford bahwa “ the rises in crime have efficient to attract attention to the inefficiency of the present criminal justice structure as a mechanism for crime prevention” (meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan). Efisiensi sebuah peradilan pidana adalah kunci dari pelaksanaan hukum yang lebih praktis dan terpadu. Restrukturisasi tehadap pemidanaan harus lebih mempertimbangkan tentang upaya terbaik terkait dengan penanganan bagi pelanggar hukum. Sebagai jalan efisiensi terhadap struktur pemidanaan, seharusnya alternatif pemidanaanlah yang saat ini menjadi prioritas, selain hal tersebut dapat memberikan pembinaan yang tepat melalui kerja social, hal tersebut dapat mengatasi permasalahan mengenai overcapacity di dalam Lapas. Tentu, sangatlah tidak mudah untuk mengatasi hal tersebut, namun ketika seluruh aparat hukum telah menyadari hal tersebut akan menjadi visi bersama, sangat dipastikan bahwa peradilan yang praktis, terpadu dan mengedepankan aspek alternatif pemidanaan akan sangat mendorong upaya perbaikan dalam struktur peradilan pidana khususnya dalam penanganan overcapacitydi Indonesia.
Jadi, beberapa pandangan tersebut mengawali cikal bakal pembentukan manajemen terkait kebijakan strategis kementerian Hukum dan HAM dalam membentuk Grand Design penanganan overcapacity penjara di Indonesia.Oleh sebab itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merancang Grand Design untuk mengatasi permasalahan overcapacity yang dielaborasi melalui Permenkumham No. 11 Tahun 2017 yang bertujuan untuk melakukan penataan strategis terkait manajemen penanganan overkapasitas di Lembaga Pemasyarakatan. Melalui perencanaan yang tepat dan sesuai Standar Operasional Prosedur, penataan regulasi dalam mengatasi overcapacityakan dapat terwujud. Kemudian, peran serta apparat penegak hukum dan elemen masyarakat dalam mendukung program Pemerintah sangat diharapkan demi tercapainya visi bersama.
Oleh : Okki Oktaviandi
Penulis adalah ASN Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia