ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Sejak H-1 Ramadan 1438 H, smartphone Menteri Pariwisata Arief Yahya dipenuhi ucapan “Marhaban Ya Ramadan!” Pria asal Banyuwangi yang tinggal di Bandung itu juga sibuk menjawab satu per satu, ribuan messages yang mampir ke Blackberry “pegangan” nya itu. Bagaimana aktivitas kepariwisataan di bulan Puasa?
“Wisatawan nusantara sudah pasti turun, orang memilih berada di rumah, hemat energi, menahan lapar dan dahaga. Wisman asal Singapura dan Malaysia juga memilih stay, tidak banyak bergerak, dari tahun ke tahun seperti itu. Wisman Timur Tengah juga turun,” sebut Menpar Arief Yahya.
Tetapi begitu Lebaran tiba, jutaan orang bergerak dalam waktu yang bersamaan. Peak season di wisnus, apalagi bersamaan dengan liburan pertengahan tahun. “Itulah panen kedua orang-orang pariwisata, jika panen pertamanya liburan akhir tahun,” sebut Arief Yahya.
Mirip, antara tourism, telecommunication, dan transportation! Sama-sama memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Di tourism, yang dipindahkan adalah travellers, tourist, wisatawan, dengan segala keribetannya.
Di transportation, yang dipindahkan adalah penumpang orang dan barang atau cargo. Sedangkan di telco, yang dipindahkan adalah suara (voice), gambar dan gambar bergerak (video), dan data. “Ketiganya sama-sama memiliki peak season, high season dan low season. Ketiganya berhadapan dengan masalah jarak, waktu, kecepatan,” jelas Arief Yahya.
Kecuali destinasi Bali, yang tidak terlalu banyak terpengaruh di wisman. Karena target originasi mereka juga banyak wisman. “Dan di situlah yang terus kami genjot untuk mengejar target kunjungan,” ungkapnya.
Juga aktivitas wisata crossborder, di daerah perbatasan, yang bisa menambah jumlah wisman. Crossborder itu sedang menjadi perhatian Menpar Arief Yahya, terutama di wilayah timur, seperti Atambua yang berbatasan dengan Timor Leste. Juga di Merauke, Skaw, dan Papua.
Baca Juga : Yuk, Berwisata ke Aceh Merasakan Pesona Ramadan
“Untuk wisnus, kami yakin ada wisata religi seperti Ziarah Wali Songo di Pantura, dari Cirebon, Demak, Kudus, Tuban, sampai Surabaya, sudah pasti ramai. Di Jawa Timur juga banyak tokoh-tokoh yang menjadi destinasi wisata religi,” ungkap Arief Yahya.
Sebagai industry, di 3T di atas, tantangannya adalah bagaimana di saat low season tetap bisa mengangkut lebih optimum? “Maka muncullkan sharing economy itu. Internet itu murah, karena ada sharing economy, beban yang besar ditanggung bersama-sama. Hanya membayar yang digunakan saja. Tidak harus menyewa jaringan semuanya,” ungkap Arief yang Mantan Dirut PT Telkom itu.
Homestay Desa Wisata, yang sudah dikupas tuntas di arena Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) II/2017 di Hotel Bidakara, 18-19 Mei 2017 lalu, prinsipnya sama. Sharing economy, kamar rumah yang tidak dipakai itu di-share untuk disewa travellers dengan harga yang terjangkau. “Sama dengan Grab, Uber dan Gojek, yang memanfaatkan tempat duduk mobil dan motor Anda yang kosong itu untuk orang yang mau nebeng! Bayarnya tidak full, namanya juga nebeng?” tutur Arief.
“Ini semua bisa dilakukan dengan fair, mudah, terstandarisasi, terhitung, terbuka, melalui teknologi digital. Dengan aplikasi, semua menjadi begitu mudah. Di transportasi sedang terjadi, di telecommunication sudah lama banting membanting harga, di tourism ini masih belum terasa. Tapi, ini sebuah keniscayaan, cepat atau lambat akan terjadi,” kata Arief Yahya yang mempertegas hokum “Disruption”-nya Prof Dr Rhenal Kasali.
Indonesia tergolong cepat mengantisipasi. Yakni dengan membuat Digital Market Place yang bernama ITX –Indonesia Tourism Xchange, yang mempertemukan buyers dan sellers dalam satu platform digital. Seluruh industry diminta bergabung di ITX, free of charge, dan sudah mendapatkan web commerce, booking system dan payment engine. “Tinggal mempromosikan saja, yang itu juga akan dikerjakan bersama-sama,” ungkap dia.
Pola ini, saat dipresentasikan Arief Yahya ke Sekjen UNWTO –United Nation World Tourism Organization– Taleb Rifai, konsep ini mendapat acungan jempol. UNWTO juga sedang menghadapi “tekanan” dari pemilik-pemilik hotel konvensional, yang dikelola dengan cara-cara standart. Pertumbuhan AirBnB misalnya, sudah jauh melesat dengan angka yang spektakuler.
Di Prancis 62% orang sudah menggunakan jasa Online Travel Agent (OTA). Di Spanyol yang 4 tahun silam masih 12%, saat ini sudah mencapai 75% search and share, booking, dan payment menggunakan OTA.
Homestay Desa Wisata mungkin akan menemukan momentumnya saat ini. Pariwisata sedang heboh, bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia. Platform bisnis kepariwisataan juga sudah mulai berubah, ke arah digital. Kebiasaan anak-anak muda sekarang tidak semua suka berwisata dengan cara-cara lama, tetapi explore dengan gaya baru yang lebih advanture, bersentuhan dengan adat istiadat dan budaya lokal.
“Itu semua terjawab dengan Homestay Desa Wisata. Benchmark-nya banyak di hampir semua negara saat ini, model people to people connections seperti ini jauh lebih menantang. Dan anak-anak muda sekarang, suka tantangan baru,” paparnya. (*)