Menunggu Putusan Dismissal Mk Para Pihak Diharapkan Legowo Menerima Hasil Putusan

Musriansyah, S.H.,M.Kn
Musriansyah, S.H.,M.Kn

Pilkada serentak tahun 2018 yang diikuti sebanyak 171 daerah di Indonesia telah usai, pelaksanaan kontestasi politik tersebut dilakukan secara serentak pada tanggal 27 Juni 2018 kemarin, meskipun tahapan pleno hasil perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD telah selesai namun tahapan pesta demokrasi lima tahunan tersebut tidak berhenti disini pasalnya masih ada tahapan selanjutnya sebagaimana telah terlampir pada PKPU RI Nomor 2 tahun 2018 yakni para pasangan calon yang tidak menerima hasil pleno perhitungan suara sebagaimana telah ditetapkan oleh KPUDdiberi kesempatan untuk mengajukan gugatan pada lembaga peradilan khusus yang ditunjuk oleh undang-undang dengan batasan jangka waktu yang telah ditentukan, kemudian mengenai pokok gugatan yang diajukan yang mana harus sesuai dengan kewenangan peradilan mengadili suatu perkara. Perlu kita ketahui bahwa ada 2 (dua) kewenangan lembaga peradilan dalam memutus perkara yakni kompetensi absolut dan dan kompetensi relatif.

Kompetensi absolute yakni terkait kewenangan masing-masing lembaga peradilan seperti tata usaha Negara, peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan khusus seperti MK (Mahkamah Konstitusi) sementara kompetensi relative terkait dengan yuridiksi dalam lingkungan peradilan yang sama, untuk menghindari ditolaknya gugatan pada lembaga peradilan tempat gugatan dimohonkan.

Terkait kewenangan lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa pilkada dalam hal perselisihan hasil pemilihan kepala daerah telah diatur dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, mengatur sebagai berikut:

(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilankhusus.

(2)  Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.

(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus

Mencermati bunyi pasal tersebut diatas maka disimpulkan bahwa undang-undang pilkada memberikan kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan khusus yang berwenang  memutus dan mengadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah, namun bukan berarti dalam pengajuan gugatan pemohon terkait sengketa pilkada semuanya diterima dan dilanjutkan namun melalui agenda pemeriksaan pendahuluan hakim dapat melakukan penilaian terhadap gugatan dengan memberikan kesempatan kepada pemohon untuk membacakan pokok gugatannya dan setelah itu termohon dan pihak terkait mendapat kesempatan untuk menjawab pokok gugatan pemohon, kemudian dilanjutkan dengan putusan dismissal oleh mahkamah, melalui putusan dismissal tersebut kita akan mengetahui apakah gugatan pemohon diterima atau ditolak sebagaimana penilaian terhadap pokok perkara yang diajukan kepada hakim. Proses ini merupakan hal yang penting karena hakim tidak boleh menolak perkara, sesuai dengan asas hukum Ius Curia Novit/Curia Novit Jus,  yang berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara. Meskipun dari awal sesungguhnya perkara tersebut tidak layak untuk diperkarakan karena tidak memenuhi syarat formal dan materil.

Mahkamah Konstitusi dalam menilai pokok gugatan pemohon untuk dimuat dalam putusan dismissal, ada beberapa yang mendasari sehingga gugatan pemohon ditolak yakni yang pertama, mengenai  legal standing atau kedudukan hukum jika pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan gugatan sengketa pilkada maka dipastikan permohonannya akan ditolak, kemudian yang kedua dalam hal tenggang waktu pengajuan gugatan berdasarkan pasal 157 ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Pilkada,permohonan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi diberi tenggang waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan jika terdapat kekurangan pada berkas gugatan maka MK memberi kesempatan 3 (tiga) hari kerja sejak berkas permohonan gugatan dikembalikan untuk dilakukan perbaikan dan dilengkapi jika melewati tenggang waktu yang telah ditentukan maka dipastikan permohonan gugatan pemohon dapat ditolak, kemudian yang terakhir mengenai syarat persentase selisih perolehan suara sebagaimana persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 158 pada Undang-Undang yang sama, dimana hasil perhitungan suara harus memiliki selisih 0,5 persen sampai dengan 2 persen sesuai jumlah penduduk daerah setempat dari total hasil rekapitulasi penghitungan suara sah yang ditetapkan KPUD setempat.

Oleh karena itu dari beberapa hal yang menjadidasar ditolaknya gugatan pemohon maka para kuasa hukum pemohon dapat belajar dari pertimbangan hakim pada putusan dismissal pilkada tahun sebelumnya, karena ketentuan tersebut sudah jelas diatur dalam Undang-undang pilkada begitupun dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi, sehingga para kuasa hukum pemohon tidak perlu memaksakan gugatannya jika syarat formilnya tidak terpenuhi. Disamping itu diharapkan para pihak baik pemohon yang mengharapkan permohonan gugatannya diterima maupun termohon dan pihak terkait yang menginginkan gugatan pemohon ditolak harus menghargai apapun yang menjadi putusan dismissal MK nantinya dan legowo menerima hasil tersebut begitupun juga dengan pendukung dan seluruh simpatisan para pasangan calon di daerah diharapkan dapat menjaga ketertiban dalam berdemokrasi agar proses kontestasi politik ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Jika pemohon menilai bahwa terhadap proses tahapan pemilihan sarat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara maka pemohon dapat melaporkan hal tersebut kepada DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) untuk diproses sesuai pelanggaran kode etik penyelenggara, meskipun putusan DKPP tidak dapat mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, karena pada prinsipnya putusan DKPP bukan merupakan satu kesatuan dari putusan MK melainkan putusan DKPP merupakan putusan tersendiri yang khusus mengadili pelanggaran kode etik para penyelenggara.

Perlu kita ketahui bahwa pilkada yang dilakukan serentak khususnya di Sulawesi Tenggara diikuti 3 (tiga) kabupaten/kota diantaranya kab. Kolaka, Konawe dan Kota Bau-bau serta pemilihan gubernur dan wakil gubernur sulawesi tenggara periode 2018-2023, yang mana seluruhnya telah diajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan kepada Mahkamah Konstitusi yang mana saat ini sedang menunggu putusan dismissal apakah permohonan gugatan diterima atau ditolak.

Oleh : Musriansyah, S.H.,M.Kn.

Penulis merupakan alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Kendari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini