Presiden Jokowi mengungkapkan hal yang menarik perhatian pada saat membuka agenda Hari Kesehatan Nasional Ke-54 di Tangerang, Banten. Beliau mengatakan, “Oleh sebab itu gerakan hidup sehat ini betul-betul harus didorong agar angka (pengeluaran) BPJS ini turun.”Sebelumnya Beliau sempat menyinggung pengeluaran BPJS yang membengkak hingga Rp 9,5 Triliun hanya untuk penyakit jantung, diikuti kanker, ginjal dan katarak (detik.com, 04/11/2018).
Defisit BPJS Kesehatan menjadi momok yang tak kunjung usai dari awal berdirinya hingga tahun 2018 ini. Berdasarkan laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan menunjukkan defisit sebesar Rp 3,8 Triliun pada tahun 2014, Rp 5,9 Triliun di 2015, dan Rp 9,7 Triliun untuk tahun 2016. Sedangkan hasil audityang telah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan defisit keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2018 ini mencapai Rp 10,9 Triliun.
BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial berdasarkan UUNo. 40 th. 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UUNo. 24 th. 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berdasarkan kedua UU tersebut, yang dimaksud dengan jaminan sosial ialah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ditangani oleh BPJS Kesehatan dengan sistem asuransi.
Belakangan akibat terjadinya defisit keuangan BPJS Kesehatan,beberapa rumah sakit menolak untuk menerima pasien peserta program BPJS Kesehatan. Hal ini terkait dengan pembayaran klaim rumah sakit yang terus menunggak, padahal pengadaan obat serta pembayaran gaji karyawan harus diberikan tiap bulannya, bahkandi beberapa tempat tenaga kesehatan tak digaji hingga 3 sampai 9 bulan. Akibatnya, pelayanan yang diberikan kepada pasien tidak maksimal hingga terlantar.
Menanggapi fenomena di atas, BPJS mengambil kebijakan yang tak kalah kontroversial. Pasalnya, sejak 25 Juli 2018 diberlakukan pembatasan penjaminan tiga pelayanan kesehatan, yaitu katarak, persalinan bayi yang lahir sehat, dan rehabilitasi medik.Pemberlakuan ketiga aturan tersebut dikhawatirkan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Misalnya saja, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, aturan ini dikhawatirkan dapat menghambat upaya penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (AKI dan AKB). Hal ini dikarenakan setiap persalinan memiliki resiko tinggi, sehingga bayi bisa mengalami kondisi berbahaya di detik-detik akhir persalinan.Kebutuhan rakyat kembali dikorbankan.
Defisit keuangan BPJS menuntut pemerintah untuk segera turun tangan menyelesaikannya. Dikutip dari okezone.com (07/08/2018)APBN akan menjadi salah satu pilihan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan dana talangan dari cukai rokok sebesar Rp 1,48 Trilliun, terlepas dari slogan yang terpampang di bungkusan rokok, “Rokok Dapat Membunuhmu”. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah mengevaluasi nominal premi yang harus dibayarkan peserta BPJS yang memungkinkan adanya kenaikan premi pada tahun mendatang. Lagi-lagi rakyat menjadi korban.
Setidaknya terdapat dua penyebab yang digadang-gadang sebagai pangkal dari permasalahan defisit yang tak kunjung usai. Penyebab pertama yaitu iuran yang lebih kecil ketimbang manfaat yang dikeluarkan, dan yang kedua adalah banyaknya peserta yang mangkir melakukan pembayaran asuransi. BPJS yang tujuan awalnya dibentuk untuk memenuhi tanggung jawab negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, pada akhirnya menyalahkan rakyat yang tak mampu menjamin dirinya sendiri.
Sehat : Hak rakyat, kewajiban negara
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar rakyat yang dijamin pemenuhannya berdasarkan UU No. 40 tahun 2004. Namun sayang, pemenuhannya tak sesuai harapan. JKN yang dijanjikan untuk seluruh rakyat dengan pelayanan yang layak, faktanya mengunakan sistem asuransi atau iuran “gotong-royong”, menandakan rakyat saling menjamin kesehatan masing-masing. Selain itu hanya mereka yang memiliki pendapatan besar yang dapat menikmati fasilitas yang layak. Terlebih lagi, SJSN dijalankan dengan asas manfaat dan prinsip nirlaba, maka faktor “kemanusiaan” pun semakin terpinggirkan dalam memberikan pelayanan yang layak.
Negara yang hanya menjadi fasilitator bagi pemenuhan kebutuhan rakyat hingga pemberian pelayanan kesehatan yang berbayar kepada rakyat adalah adalah konsekuensi logis saat suatu negeri mengambil paham-paham kapitalisme sebagai pandangan hidup. Alih-alih memikirkan bagaimana agar rakyat sehat-sejahtera, rakyat “dipaksa sehat”agar BPJS terus selamat. Menginginkan solusi tuntas-menyeluruh bagi pemenuhan kebutuhan kesehatan rakyat hanya bisa didapatkan melalui aturan yang berasal dari selain makhluk, yaitu Sang Pencipta dan Maha Pengatur.
“Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah laksana pengembala, dan dia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya (H.R. al-Bukhari)”. Dalil ini menunjukkan bahwa Islam memandang negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warganya termasuk kesehatan, tanpa membedakan ras, suku, agama, ataupun mampu-tidaknya.
Sejarah membuktikan, selama masa Kepemimpinan Islam banyak institusi layanan kesehatan yang dibangun guna memenuhi layanan kesehatan secara gratis. Contohnya rumah sakit yang didirikan oleh Khalifah al-Mansyur di Kairo pada tahun 1248M. Rumah sakit dengan kapasitas 8000 tempat tidur dilengkapi musik terapi bagi pasien penderita sakit jiwa, beserta rumah ibadah untuk pasien muslim maupun Nonmuslim. Pelayanan diberikan tanpa batas waktu hingga sembuh dan tanpa membedakan ras, warna kulit, dan agama pasien. Perawatan, obat dan makanan diberikan secacra gratis dan berkualitas, para pasien pun mendapatkan pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan.
Pembiayaan secara gratis ini, hanya dapat terwujud dengan mengikuti apa-apa yang ditunjukkan Syara. mekanisme pembiayaan gratis ini diperoleh dari hasil pengelolaan harta milik umum yang sesuai syari’at, dan hasil pengelolaan harta milik negara (dapat berupa ghanimah, jizyah, dsb.). Jikapun belum menutupi pembiayaan yang dibutuhkan, maka negara diperbolehkan mengajukan pinjaman dengan syarat pinjaman bebas riba dan lunak. Itulah antara lain cara yang dapat dilakukan oleh Negara dalam kepemimpinan Islam yang pernah dilakukan dimasa peradaban Islam.