Bukan persoalan gampang mengubah impian seseorang. Apalagi jika berniat mengubahnya menjadi petani. Atau paling tidak mengubahnya dari mencintai Game of Thrones menjadi mencintai dunia pertanian…hihihi…
Saat ini, persoalan itu adalah tugas berat. Pertanian di Indonesia diidentikkan dengan kemiskinan, ketertinggaan, keterbelakangan, dan berbagai stigma marjinal lainnya. Tidak ada –atau tepatnya tidak banyak– yang mau jadi petani.
Seorang petani pun mewanti-wanti anaknya agar bersekolah baik-baik supaya tidak menjadi petani. Seperti dirinya. Dia menyadari bahwa menjadi bukan pilihan hidup yang menjanjikan kesejahteraan.
Di lingkup para sarjana pertanian bahkan ada anekdot, sarjana pertanian bisa bekerja di lapangan apa saja asal bukan di bidang pertanian.
Akibatnya, petani yang sudah tua-tua itu semakin susut. Tidak ada pengganti. Karena anak muda tidak memimpikan dirinya menjadi petani: kotor, panas, susah.
Ini ancaman bagi ketahanan nasional kita. Ketika tak ada yang mau jadi petani, kita mau makan apa? Mau impor? Terus impor dan impor terus?
Kondisi di atas harus ditangkap oleh lembaga penyuluhan pertanian sebagai sebuah PR besar. Strategi penyuluhan tidak lagi konvensional: setiap tahun mengajari petani cara bertanam padi yang baik dan benar. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Lembaga penyuluhan pertanian perlu merayu anak muda untuk mau terjun ke pertanian. Salah satu perayu terbaik di dunia adalah seniman. Mereka pandai menggugah orang. Lewat film, lewat cerita, lewat pertunjukan, lewat puisi, lewat lagu.
Kerja-kerja seniman itu adalah kerja-kerja perasaan. Jika perasaan seseorang tersentuh, semua bisa berubah dengan cepat.
Joseph Stalin, diktator Uni Soviet itu, ketika sedang terbaring sakit menunggu ajalnya, diputarkan rekaman concerto Mozart yang dimainkan oleh Maria Yudina, pianis ternama asal negeri itu.
Bahkan sebelumnya, ketika Stalin masih kuat-kuatnya, pernah menghadiahi Maria Yudina uang sebanyak dua puluh ribu rubel atas upayanya mengirimkan rekaman piano Mozart yang diminta sang diktator.
Maria yang relijius itu bersurat ke Stalin atas hadiahnya. Sebuah surat yang berani: “Saya berterima kasih atas bantuan anda. Saya akan mendoakan anda siang malam dan memohon kepada Tuhan agar memaafkan dosa-dosa besar anda atas rakyat dan negara ini. Tuhan Maha Pengasih dan Dia akan mengampuni dosa anda. Saya memberikan uang itu kepada gereja yang saya hadiri.”
Stalin dikabarkan membaca surat itu di hadapan orang-orang terdekatnya –yang sudah bersiap menerima perintah untuk mengeksekusi Maria. Namun, Stalin tidak berkata apa-apa atas surat itu.
Betapa besarnya pengaruh seni dalam jiwa seseorang.
Sehingga, tugas untuk menginspirasi para generasi muda kita agar mau terjun ke pertanian dapat pula mengikutsertakan para seniman.
Kerja-kerja penyuluhan harus diperluas paradigmanya. Perlu melihat dunia luar. Kerja penyuluhan itu harus dikolaborasikan. Tidak mesti dipikul sendiri oleh para insan pertanian.
Bukankah disrupsi itu tentang kolaborasi? Mereka yang tidak berkolaborasi akan termakan oleh zaman.*
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial