Merdeka, Tak Sekadar Bebas dari Penjajah

Hasni Tagili Opini
Hasni Tagili

17 Agustus 1945 silam, presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, membacakan teks proklamasi. Pembacaantersebut menandai awal kemerdekaanIndonesia. Kini, 74 tahun sudah merasakan merdeka. Merdeka dari penjajahan yang selama bertahun-tahun dilakukan oleh negara-negara kolonialis.

Suka cita merekah. Guna memperingati Hari Merdeka, berbagai acara pun diselenggarakan untuk menyambut momen kemerdekaan ini. Mulai dari upacara, doa bersama, karnaval, hingga berbagai macam perlombaan khas 17-an. Hampir di setiap sudut desa dan kota terpasang bendera merah putih serta baliho-baliho yang bertuliskan ‘Merdeka’. Meski begitu, benarkah bangsa ini secarahakiki sudah merdeka?

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka memiliki arti sebagai berikut: 1) bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya) berdiri sendiri; 2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; 3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Jika merdeka diartikan sebagai bebas dari penjajahan, maka apakah negeri kita sudah sepenuhnya merdeka?

Secara fisik, mungkin kita telah merdeka dari penjajahan, karena kita tidak lagi berhadapan dengan tentara Jepang yang membawa laras panjang. Akan tetapi, penjajahan tidak hanya berwujud fisik semata, tetapi juga dapat berwujud yang lain, seperti penjajahan ekonomi, penjajahan sumber daya alam, penjajahan pemikiran, dan lain sebagainya. Disadari atau tidak, saat ini Indonesia menggantungkan sebagian besar perekonomiannya pada Cina.

Hal ini dapat kita lihat dari kependudukan warga negara Cina yang secara aktif dan masif memainkan bisnis di dalam negeri, seperti sekumpulan pengusaha Taipan yang sering dijuluki 9 naga. Kumpulan pengusaha beretnis Cina tersebut memiliki berbagai bisnis yang berkembang di Indonesia. Mulai dari bisnis korporasi media, real estate, dan lain-lain.

Tidak hanya itu, dari sisi sumber daya alamnya, banyak dijumpai eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara asing terhadap sumber daya alam Indonesia. Di antaranya adalah perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia, PT Freeport.

Sedangkan bentuk dari penjajahan lainnya adalah berupa pemikiran. Penjajahan yang satu ini memang tidak tampak oleh mata atau bisa dikatakan penjajahan laten (terselubung). Walaupun kasatmata, namun penjajahan secara pemikiran ini sangat berbahaya dampaknya. Penjajahan pemikiran berupa paham sekuler saat ini sedang menerpa masyarakat Indonesia.

Sekularisasi berupaya menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai agama, dan ini memang upaya terstruktur untuk menghancurkan tatanan bangsa Indonesia. Akibatnya, penguasa dan masyarakat banyak yang mengambil rujukan dari Barat.

Padahal, sekitar 1400 tahun yang lalu, Rasulullah Muhammad Saw. telah memberikan teladan kepada kaum muslim tentang bagaimana mewujudkan kemerdekaan yang hakiki. Di saat kondisi bangsa Arab saat itu masih jahiliyah, kebiasaannya menyembah berhala, mabuk-mabukan, berzina, hingga membunuh anak-anak perempuan mereka, Rasulullah tidak hanya berdiam diri, pasrah, atau meratapi kondisi yang ada.

Sebagai seorang Rasul, beliauberusaha melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat dengan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru Arab. Banyak yang menerima, tapi banyak pula yang menolak. Rasul dikatakan gila dan disebut sebagai tukang sihir yang memisahkan manusia dari keluarganya. Rasul juga pernah diludahi, berusaha dibunuh, bahkan diboikot selama bertahun-tahun. Tetapi, Rasul dan para sahabat tetap bersabar dan terus melakukan dakwah.

Rasulullah SAW. bersabda, “Ucapkanlah satu kata, jika kalian memberikannya maka seluruh bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan orang non-Arab akan membayar jizyah kepada kalian.” Rasul melanjutkan, “Katakanlah, Laa illaha illa Allah, Muhammad Rasulullah (tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah).” (HR. Tirmidzi).

Setelah berdakwah selama 13 tahun di Mekkah, Rasulullah SAW. berhasil mewujudkan masyarakat Islam di Madinah. Selanjutnya, beliau melakukan Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah), menyelamatkan Mekkah dari belenggu kesyirikan dan kedzaliman menjadi kota yang bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah.

Tak hanya membebaskan Mekkah, dengan dakwah, Rasulullah juga mampu menjadikan Islam berjaya menjadi peradaban besar yang memimpin dunia. Bahkan, peradaban Islam mampu menutup dua imperium besar yang sangat zalim pada masa itu, yakni Kekaisaran Persia di Timur dan Imperium Romawi di Barat.

Sahabat Rabi’ bin Amir ra. dalam dialognya dengan Raja Kisra, ketika ditanya tentang motif pembebasan yang dilakukan kaum muslimin pada saat itu. Beliau menyatakan, “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan manusia pada manusia lain kepada penyembahan semata-mata pada Tuhannya manusia, dan dari sempitnya dunia pada luasnya kehidupan akhirat, dari ketidakadilan keyakinan-keyakinan (agama-agama) pada keadilan Islam…”. (banuasyariah.com). Inilah makna kemerdekaan hakiki dalam Islam, yaitu terbebas dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan kepada Allah semata. Bukan sekadar bebas dari penjajah. Wallahu a’lam bisshowab.

 


Oleh : Hasni Tagili, M. Pd
Penulis adalah Praktisi Pendidikan Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini