Politik Uang (money polityc) sepertinya sudah menjadi tradisi dikalangan masyarakat. Setiap menjelang penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilu yang pelaksanaannya tahun 2024 untuk memilih aktor-aktor pemerintahan kita dilembaga eksekutif dan legislatif. Politik uang merupakan suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Dalam dunia politik dewasa ini, melalui setiap pesta demokrasi pada pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif kadang masyarakat kelas bawah sering dijadikan obyek oleh setiap calon-calon, baik kepala daerah maupun legislatif untuk dapat mempengaruhi massa dengan menggunakan politik uang (money politic) sebagai perangsang untuk memperoleh dukungan/suara dari setiap masyarakat.
Ajang Pemilihan umum (pemilu) sebenarnya berfungsi sebagai alat seleksi bagi aktor politik yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol).
Dalam kompetisi politik yang ketat uang berperan hanya sebatas instrumen. Peran pentingnya adalah bagaimana uang digunakan orang-orang tertentu untuk mencoba mendapatkan pengaruh, ditukar atau dikombinasikan dengan bentuk sumber daya yang lain, guna meraih kekuasaan politik. Jadi, politik uang adalah pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud tersembunyi dibalik pemberian tersebut.
Praktek semacam itu jelas melanggar hukum positif di Indonesia dan merupakan kejahatan, bahkan pelakunya dapat dibatalkan pencalonannya dan berujung kepada tindak pidana. Tindak pidana yang dikenanakan antara 3-4 tahun atau denda 36 juta-48 juta rupiah, pasal 278, 280, 284, 515 dan 523 Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal-pasal tersebut, larangan politik uang dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye.
Money Politic seharusnya tidak dijadikan sarana dalam menyukseskan pemilihan umum. Seharusnya para calon kandidat bisa membuktikan bagaimana dedikasinya, tidak harus memberikan sejumlah uang untuk diiming-imingkan kepada masyarakat. Melalui Money Politic kedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”. Hal inilah yang kemudian menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang pemilihan.
Money politics dalam pemilu 2019 melibatkan jumlah pemilih yang cukup besar. Catatan Burhanuddin Muhtadi, dkk. angkanya mencapai 19,4% hingga 33,1%. Angka tersebut termasuk dalam kategori sangat tinggi berdasarkan standar internasional. Angka tersebut sekaligus mendudukkan Negara Republik Indonesia di rangking money politics ke-3 besar dunia. Tingginya angka money politics pada Pemilu 2019 menandai bahwa transactional politics sudah dianggap lumrah terjadi dan menjadi tatanan perilaku politik baru dalam pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia.
Catatan lain tentang tingginya angka politik uang dalam Pemilu 2019 juga berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, saat ini bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) LIPI melaksanakan tentang kekejian politik transaksional pada saat pemilihan umum 2019 juga di beberapa daerah yang melaksanakan pilkada serentak. Angka yang diperoleh jauh lebih tinggi dibandingkan temuan Burhanuddin Muhtadi, dkk, yakni lebih dari 50%. Lebih memprihatinkan lagi karena LIPI juga menemukan bahwa para pemilih meyakini bahwa money politics merupakan salah satu elemen dari demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian maka Money politics bukan sekadar penyimpangan, melainkan kebangkitan peradaban kotor budaya politik Indonesia. Hal ini karena orang-orang beranggapan bahwa politik transaksional dalam pilkada dan pemilihan legislatif merupakan sesuatu yang biasa atau sepele. Sementara itu, bila semakin sering seseorang disodori uang/barang atau menyaksikan adanya praktik politik uang maka semakin permisif seseorang dengan money politics. “Semakin banyak menjalani praktik money politics atau melihat peristiwa dimaksud maka menjadikan praktik money politics menjadi hal yang lumrah”. (Burhanudin Muhtadi,2013). Politik uang dianggap sebagai hal yang lazim meskipun merupakan praktik politik negatif karena daya Tarik finansial mengalahkan kecerdasan intelektual kandidat (Hartaman, N.,Purwaningsih,T.,& Nurmandi, 2020). Kemenangan kandidat atau calon bukan dilihat dari kompetensi atau kemampuan secara intelektualitas calon tetapi lebih melihat dari kemampuan ekonomi dan modal/uang yang dimiliki oleh calon tersebut untuk berkompetisi, dukungan pemilik modal dari pengusaha- pengusaha kaya dalam pencalonannya juga telah menjadi hal yang lazim banyak dilakukan aktor-aktor politik untuk mendukung biaya kampanye dan sosialisasi.
Mencermati makna dan kasus politik uang seperti penulis sajikan, maka praktik politik uang sangat berbahaya dan merusak mental serta sendi-sendi kehidupan demokrasi di Negara kita. Olehnya itu bersama-sama kita mencegahnya untuk melahirkan wakil dan pemimpin kita yang bermartabat. Cara yang dapat ditempuh berupa mensosialisaikan secara masif kepada masyarakat bahwa politik uang diidentikkan dengan jual beli suara, memberi dan menerima masuk pada kategori suap (Risywah) serta diharamkan seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). berupaya mengedukasi masyarakat melalui kegiatan Desa Anti Politik Uang, membantu bawaslu membentuk lembaga pemantau politik uang di lingkungan/RT masing-masing, sehingga politik uang dapat dicegah serta inisiatif untuk melaporkan bila menemukan praktik politik uang kepada Bawaslu atau GAKKUMDU/penegaakkan hukum terpadu.
Oleh, Abd. Rahman
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Kendari.