Sekali dua kali saya pernah mendengar kata itu disebut. Mumbul. Tapi saya tidak ngeh. Kukira itu istilah-istilah komunitas anak-anak muda. Kadang-kadang saya memang kudet. Kurang update.
Dua hari lalu, saya berbincang dengan dua orang tetangga di teras rumah saya. Mereka kembali menyebut mumbul. Saya bertanya apa itu? Yang satu menjawab itu obat. Tetangga satunya memperjelas. Dia menyebut somadril. Saya berkesimpulan, itu narkoba.
Narkoba? tanyaku lagi. Bukan. Itu obat penenang yang diperjualbelikan secara bebas. Bukan oleh apotek, tapi siapa saja yang mau menjualnya. Dan diperuntukkan kepada siapapun yang mau membelinya. Tidak ada resep.
Saya membayangkan obat ini dijual seperti orang menjual ayam. Tidak harus selalu di penjualan khusus ayam. Bisa saja dijual di tepi jalan. Bisa di rumah pemilik ayam, yang jika tangkap sendiri, dapat potongan harga.
Kedua tetanggaku bertutur tentang penangkapan seorang penjual obat penenang di sebuah rumah kost di kompleks kami. Mereka yang tahu sepak terjang si penghuni kost ini sebenarnya sudah lama geram dengan aktifitasnya.
Saya yang lugu dan polos –serta ganteng– ini tak tahu menahu tentang hal itu. Saya hanya kerap melihat ada mobil petepete yang parkir di depan kost itu, lalu kemudian pergi terburu-buru setelah diklakson berulang kali karena menghalangi jalanan.
Atau tiba-tiba remaja-remaja tanggung yang nyelonong dengan sepeda motornya tanpa tolah toleh ketika keluar dari tempat kost dan nyaris mencium bemper mobil saya saat melintas. Saya tidak berpikir bahwa mereka-mereka itu pembeli obat.
Si penjual obat ini sudah pernah ditegur oleh kedua tetangga saya. Tapi dia berkilah. Katanya, dia tidak melanggar hukum apapun. Dia hanya menjual obat seperti yang dijual di apotek-apotek. Bukan narkoba, tangkisnya.
Singkat cerita, dia ditangkap. Saya cukup lega mendengar akhir ceritanya. Biar polisi yang menyiapkan perangkat hukum untuk menjerat orang ini. Begitu kesimpulan perbincangan kami.
Saya masih belum selesai dengan istilah mumbul ini. Saya mendapati sebuah artikel yang membahasnya. Berdasarkan artikel itu, mumbul merupakan aktifitas mabuk-mabukan menggunakan obat berbiaya murah.
Kenapa murah? Karena obat yang digunakan harganya murah. Cukup beberapa puluh ribu sudah bisa teler. Beda dengan narkoba “mainstream” yang harganya mahal. Selain itu, mudah diperoleh karena tidak ada larangan penjualannya.
Berdasarkan tata bahasa, mumbul diadopsi dari Bahasa Sunda yang berarti “muncul/timbul di permukaan air”. Juga bisa diartikan “terbang tinggi”. Berdasarkan KBBI Online, mumbul mengandung makna melompat (terlompat) naik; melanting. Juga dapat diterjemahkan sebagai membubung atau melambung.
Berdasarkan pengertiannya, saya yang lugu dan polos –serta ganteng– dan Anda yang mungkin sama gantengnya dengan saya, sudah bisa memahami kenapa mumbul menjadi istilah bagi para pemadat murahan ini.
Mereka yang menggunakan obat ini ingin membubung ke langit menemui penghuni-penghuni kegelapan. Mungkin hendak bercengkrama dengan Jin Ifrit. Mengkhayal terbang tinggi tapi kakinya menggelepar-gelepar di atas tanah.
Ini saya beritahukan kepada mereka yang kerap ber-mumbul ria, bagaimana efeknya pada tubuh kalian.
Pertama –dan terutama– akan merasakan otak menjadi tumpul. Tapi mereka yang senang mumbul sebenarnya otaknya sudah tumpul duluan. Kalau tajam, mana mungkin mereka coba-coba nge-mumbul. Dan lambat laun, otaknya rusak permanen. Yang begini, cocok jadi “pengantin” bom bunuh diri. Sama-sama udah ga punya otak.
Kedua, sering tidak sadar secara mendadak saat beraktifitas. Entah di rumah, kantin, nongkrong di dekker atau lagi sisiran persiapan malam Minggu. Miris banget kalo tiba-tiba kejang-kejang saat bertamu ke rumah gebetan. Dan setelah sadar, gebetannya langsung mutusin sebelum dianya sempat menyatakan cinta. Pingsan lagi, ah.
Ketiga, kulit tubuh terasa jadi tipis. Tergores sedikit saja jadi luka. Bahkan sering timbul luka berair tanpa sebab yang jelas. Hatinya pasti ikut-ikutan tipis dan mudah terluka. Motornya mogok saja sudah ambil tali, mau gantung diri. Padahal, maksudnya mau ditarik pake motor temannya. Yah, namanya aja otak sudah rusak.
Keempat, syaraf tubuh terasa mati. Bulu kumisnya dicabuti satu-satu sekalipun sampai habis tidak akan terasa lagi. Seperti ayam mati yang dicabuti bulu-bulunya diam aja. Mau dipacari sama ayam mati? Ogah.
Kelima, temperamen jadi sering overreacting atau bertindak berlebihan. Ceritanya ngga lucu-lucu amat, dia ngakak sampai kejang-kejang. Atau nonton film India yang sedih, dia nangis siang malam nggak mau makan. Lalu dia digunjing sebagai orang punya kelainan. Lambat laun, teman-temannya pada menjauh.
So, mikir-mikirlah kalau mau jadi mumbul-ers. Hidup ini indah lho tanpa terbang pura-pura.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial