Beberapa wajah teduh menyambutku ramah saat menggendong putraku masuk ke ruangan itu. Dengan sigap mereka mendekat, meminta putraku dibaringkan di tempat tidur, lalu kemudian melakukan pemeriksaan.
Awalnya, saya tidak tahu apakah mereka dokter atau hanya tenaga medis lainnya, karena tidak mengenakan pakaian putih-putih dan tanpa papan nama tersemat di dadanya. Mereka mengenakan kemeja rapi. Beberapa petugas terlihat mengenakan baju gamis berpadu celana kain di atas mata kaki.
Ada dua hingga tiga orang secara bergantian datang melayaniku atau menanyakan hal-hal teknis dan administratif lainnya. Keyakinanku bahwa ada seorang dokter di antara mereka adalah sapaan, “Dok” saat berbincang di antara mereka.
Keramahtamahan mereka sedikit banyak mengobati kegundahan dan kekhawatiranku atas kondisi kesehatan anakku. Akhirnya, setelah beberapa jam observasi, dokter menyarankan agar putraku rawat inap saja. Dan dimulailah hari-hari kami dalam lingkungan rumah sakit.
Areal rumah sakit itu kecil saja. Setidaknya, hanya ada tiga blok bangunan. Pertama, ruang gawat darurat. Kedua, gedung perawatan berlantai satu. Di gedung ini, ada ruang petugas jaga. Ketiga, gedung perawatan berlantai dua. Lantai satu untuk ruang bersalin dan kamar rawat inapnya. Lantai dua untuk pasien anak-anak. Di situlah kami bermarkas selama beberapa hari.
Dalam kawasan rumah sakit, juga terdapat sebuah masjid. Ukurannya lumayan besar. Jauh lebih luas dari ukuran tempat shalat di lantai tiga Lippo Plaza Kendari. Lho, kok?
Suara muadzinnya keren-keren. Suara imam shalat Magrib dan Isya-nya menggetarkan. Tapi saya shalat di kamar saja. Dasar, Muslim apaan loe? Iya…iya…guwe salah.
Di bagian tengah areal rumah sakit, terdapat parkiran yang hanya mampu menampung belasan hingga duapuluhan mobil saja.
Selama beberapa hari hidup di rumah sakit, saya mengamati cukup detail lingkungan di sana. Saya mulai dari perawatnya yang saban hari begitu telaten datang tepat waktu dan sigap saat dibangunkan tengah malam.
Mereka cantik-cantik. Kebanyakan berjilbab besar. Ada yang mengenakan cadar. Mereka cukup komunikatif jika diajak berbincang. Maksudnya, kalau bertanya tentang suhu tubuh pasien atau tatacara memperbaiki infus yang ngadat. Bukan nanya nomor telepeon atau akun facebook, lho. Mereka sangat responsif atas segala keluhan keluarga pasien yang cerewet seperti saya.
Beberapa di antaranya mungkin masih jomblo. Jika ada jomblowan yang sudah siap lahir batin nikah tapi cintanya ditolak terus, bolehlah mengadu nasib di sini. Ini mau jadi PHB atau apa? Eh…PHB…itu istilah jaman old. Sekarang namanya Mak Comblang.
Pernah sekali saya panik. Cairan infus habis total. Tak tersisa setetes pun. Jam menunjukkan pukul dua lewat. Saya paksakan ke ruang perawat jaga. Saya ketuk pintu berkali-kali. Hanya sekitar 3-5 menit, pintu terkuak.
Sesosok tubuh muncul. Dia berusaha menutupi wajahnya dengan tangan karena silau oleh cahaya atau melindungi mukanya yang ngantuk agar tak nampak olehku. Nah, yang mau saya katakan adalah dengan wajah ngantuk sekalipun, perawat itu masih sangat ramah. Nah, para jomblowan, tunggu apa lagi. Coba saya belum pensiun, saya tak akan menceritakan kisah ini…hehehe
Lanjut, ya. Dokternya, cepat datang. Pagi-pagi kita masih bau jigong, dokternya sudah rapi jali wangi semerbak sepanjang hari …halah…masuk ke ruang perawatan melakukan pemeriksaan. Pada beberapa pengalaman sebelumnya, di rumah sakit lain, kita sudah hampir kering menunggu, pasien sudah menderita banget, dokter belum datang.
Nah, ini yang guwe demen. Pengantaran ransum pagi, siang, malam. Pagi hari, masih ada gelap-gelapnya, pintu sudah diketuk-ketuk. Begitu terkuak, sebuah tangan menjulurkan kemasan plastik berisi makanan. Di siang dan sore hari, ada tambahan kalimat, “Tempat makannya dikembalikan, Pak.” Saya kira boleh dibawa pulang…hehehe…
Terakhir, layanan BPJS Kesehatan. Ini andalan kita semua saat sakit. Di rumah sakit ini prosesnya cepat. Mungkin karena pasiennya sedikit sehingga mengurusnya lancar jaya. Tidak harus pontang panting berjalan ke sana kemari dengan antrian yang mengular. Tapi terlepas dari itu, cara melayaninya yang ramah membuat proses ini menyenangkan.
Apa kesan yang saya peroleh dari rumah sakit ini. Bahwa standar pelayanan bukan hanya soal seperangkat instrumen yang diikuti dan dijalankan secara mekanis, tapi di sana melibatkan empati.
Rumah sakit bukan sekadar tempat mengobati penyakit pasien agar bisa sembuh. Rumah sakit adalah tempat perawatan. Sangat jauh bedanya antara mengobati dan merawat. Bagi sebagian besar pasien dan keluarganya, pengobatan itu adalah nomor dua. Yang pertama, adalah sikap care dan peduli.
Rumah sakit bukan soal kecanggihan peralatan medisnya. Bukan semata kemewahan fasilitasnya. Bukan tentang luas kawasannya atau bertingkat-tingkatnya gedungnya. Rumah sakit adalah tentang sikap orang-orang yang memberikan pelayanannya.
Dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Rumah Sakit, pengertian rumah sakit sama sekali tidak menyinggung tentang pengobatan.
Rumah sakit, kata undang-undang ini, adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Kata kuncinya: pelayanan, paripurna, perawatan.
Rumah sakit ini sedang berusaha menjalankan amanat UU itu dengan konsekuen. Bukan sekadar slogan. Namanya Rumah Sakit Umum Aliyah 2. Terima kasih atas kepedulian seluruh jajarannya. Tetaplah konsisten dengan rasa peduli yang kalian miliki. Bagi kami, itu lebih dari cukup. ***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial