Pernikahan seringkali diartikan sebagai pengikatan janji yang dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Menikah menjadi impian bagi setiap Muslim dan Muslimah yang masih lajang. Beragam bayangan terlintas dalam pikiran seseorang yang belum mengalaminya. Namun demikian, mempersiapkan diri sebelum waktunya tiba akan lebih bemakna dan utama. Bebicara tentang pernikahan impian ini cukup menarik, sebab setiap orang pasti memiliki keinginan untuk menyusun rencana pernikahan seperti apa yang akan dilangsungkannya nanti, termasuk memandang pernikahan dari segi pemikiran yang pas.
Ironi pernikahan saat ini berujung pada masalah seperti tiada henti terus menguak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Baru-baru ini polemik pernikahan dini kembali menuai kontroversi pro kontra lapisan masyarakat yang beragam. Menelisik arah perbincangan pihak yang kontra dengan pernikahan anak, nampak ada niat mengikis dan memberangus pandangan hukum Islam yang membolehkan pernikahan ini. Meski ayat Alquran (Ath –Thalaq:4, An-Nisa:3, 127), As-Sunnah, Ijma’ membolehkan adanya pernikahan anak, mereka tak peduli. Karena yang dikedepankan adalah rujukan sekuler yaitu konvensi hak anak, HAM, KHI, UU-P nomor 1/1974, revisi UU-PA np. 35/2014 dan sebagainya.
Jakarta, CNN Indonesia – Batas usia perkawinan kembali menjadi polemik usai bergulir kontroversi sejoli siswa SMP di Bantaeng, Sulawesi Selatan berhasrat mengikat janji suci di hadapan penghulu. Kasus lain yang sangat disesalkan seperti yang dilansir oleh www.kompas.com – Cerita pernikahan dini antara dua remaja, ZA (13) dan IB (15), di Tapin, Kalimantan Selatan. Pernikahan mereka akhirnya dibatalkan sehari setelah pesta syukuran digelar. Karena dinilai melanggar UU Pernikahan.
Indonesia gawat darurat pernikahan dini membuat Aktivis perempuan berupaya menekan pemerintah agar segera mengeluarkan perpu larangan pernikahan dini. Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Pemerintah (Perppu) untuk mencegah pernikahan anak usia dini. Dilansir oleh www.kumparan.com – Menteri PPPA Yohana Yembise mengaku rencana tersebut sudah direstui oleh Presiden Joko Widodo. Perppu ini, kata dia, akan menggantikan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Batas usia perkawinan selama ini masih mengikuti Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”.
Seperti yang dilansir www.muslimahnews.com – Pernyataan aktivis perempuan peneliti Genre Lies Marcoes Natsir ia menyoroti adanya dualisme aturan hukum yang menurutnya “mengerikan”. Dalam konteks Indonesia yang makin konservatif, yang mengerikan adalah adanya dualisme hukum ini, yang menunjukkan ketidaktegasan negara untuk keluar dari hukum agama,” menyikapi pertentangan antara UU-PA dengan UU-P, di mana UU-P nomor 1/1974 masih mengizinkan pernikahan anak perempuan dengan usia 16 tahun dan adanya dispensasi pernikahan anak dari pengadilan. Ini artinya pemahaman masyarakat berdasarkan agama harus menyesuaikan dengan hukum pada suatu Negara. Sangat jelas bahwa pernyataan tersebut menentang syariat Islam.
Begitu juga dengan pengamat hukum dari UII, Eko Riyadi, mengatakan meski pernikahan tersebut akan sah secara agama jika syarat terpenuhi, ia berpendapat keabsahan pernikahan itu masih bisa diperdebatkan dari perspektif hukum. Berdasarkan asas hukum perdata, perjanjian termasuk pernikahan setidaknya memenuhi tiga unsur.
Pertama, para pihak sepakat melakukan perjanjian. Misalnya, pernikahan. Kedua, para pihak sudah cakap hukum, artinya, orang itu mampu melakukan perbuatan yang dipandang sah secara hukum Ketiga, kausa yang halal, terkait dengan apakah objek yang dijanjikan itu halal, sah atau tidak.
Dimana Peran Negara ?
Batas usia yang ditentunkan UU dijadikan pertimbangan bahwa pada rentang usia tersebut, mereka dianggap dewasa untuk memasuki rana pernikahan, termasuk tanggung jawab dan kepantasan ilmu dalam membina rumah tangga. Disisi lain muncul permasalahan (lain) hamil diluar nikah, yang memaksa orang tua untuk menikahkan anaknya meski dalam rentang usia dini, hukum dalam Negara ambur adur dan gagal dalam mengatur pernikahan. Banyak hal untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, terlebih dengan dalih untuk menghindari zina sehingga harus dinikahkan meskipun dalam keadaan hamil. Sementara jika dilihat masi ada jalan yang bisa digunakan untuk menghindari zina. Nampak bahwa ada upaya menundukkan hukum agama terhadap hukum akal buatan manusia.
Hukum Islam kembali di tentang, dengan dalih pernikahan dini yang dibolehkan agama itu menimbulkan KDRT, kanker serviks, perampasan hak pendidikan, hak bermain dan lain sebagainya. Mereka yang lantang bersuara menolak pernikahan anak adalah mereka yang juga lantang mempersoalkan hukum-hukum Islam lainnya, seperti bolehnya poligami, sunat anak perempuan, hak waris perempuan setengah dari laki-laki, dan lain-lain yang dalam perspektif mereka, hukum ini tidak adil bagi perempuan.
Anehnya, mereka yang lantang menolak pernikahan dini justru tidak berteriak lantang untuk membela hak anak, perempuan dan masyarakat ketika ada hal yang mengganggu tumbuh kembang anak dan ketenangan masyarakat. Free sex di kalangan anak-anak dan remaja, game online yang menyita waktu belajar anak, film, majalah, games yang menstimulasi anak untuk melakukan pornoaksi atau kekerasan, dan sebagainya. Bukankah ini sebenarnya yang merampas hak tumbuh kembang anak dan hak-hak dasar mereka?
Asumsi memberi hak hidup pada mereka bukan dengan mengajarkan kesehatan reproduksi yang mengajari cara berseks aman, alat kontrasepsi, dan alat reproduksi. Menjaga mereka adalah dengan menjauhkan sejauh-jauhnya dari stimulus naluri seksual, atau gambar-gambar porno. Generasi penerus seharusnya hidup dalam suasana steril dari pemicu berbagai tindakan kriminal, suasana pergaulan yang kondusif, dapat menunjang pembentukan kepribadian generasi dengan baik.
Seharusnya pemerintah berupaya untuk mengeluarkan UU anti seks bebas, anti pornografi, anti liberalisasi sosial dan budaya, anti ekonomi neo-liberal, anti kapitalisme layanan publik, karena hal inilah yang telah merampas hak hidup anak dan masyarakat. Pemerintah punya cara jitu membina kedewasaan anak. Terlebih soal tanggung jawab tentang pernikahan dan kehidupan berumahtangga. Bukan justru mengekang pemahaman generasi.
Pernikahan dini jelas perlu diapresiasi, meskipun tidak selalu menjadi solusi karena situasi dan kondisi tiap orang yang berbeda-beda. Akan tetapi pernikahan dini menjadi salah satu usaha dalam penjaga kesucian dan kehormatan generasi dari amoralitas pergaulan bebas.
Seharusnya di dukung bukan di hukum, hendaknya tidak melulu dituding merusak masa depan generasi bangsa. Buka mata, maka akan terlihat jelas, perusak kaum muda adalah pacaran dan pergaulan bebas yang tumbuh subur akibat paham liberalisme di negeri ini. Pada akhirnya, kehidupan pernikahan baik di usia dini ataupun tua, akan lebih muda dijalani jika ditunjang sistem kehidupan yang mendukung optimalnya setiap peran dalam keluarga.
Sekularisme menjamur memberikan makna kabur terhadap keberadaan agama dalam mengatur dan memutuskan pernikahan. Paham keliru membelenggu masyarakat menjadi bukti kerusakan dan kegagalan sistem ini dalam mengatur pernikahan maupun mencegah pemicu terjadinya kasus memilukan.
Islam memandang pernikahan
Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu, menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan. Allah SWT. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ.
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa”.
Sebagaimana diriwayat-kan juga oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng)”.
Pembinaan kedewasaan akan berpengaruh pada kematangan berpikir dan keberanian bertanggung jawab. Karena penilaian dewasa bukan sekedar usia, namun ada pada kedua indikator tersebut. Dalam Islam, awalnya mereka harus dipahamkan bahwa usia baligh menjadi patokan bisa menikah, dan dimulainya pembebanan pelaksanaan hukum syariat Islam. Pada masa inilah mulai berlaku standar pahala dan dosa pada seorang hamba
Islam juga memahamkan fungsi dan tanggung jawab masing-masing peran dalam rumah tangga. Pernikahan adalah perjanjian agung di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala yang harus dijalani sebagai bentuk ibadah. Suami berperan sebagai penanggung jawab keluarga, dialah pencari nafkah bagi keluarga. Sedangkan istri adalah manajer di rumah, Ia berkewajiban melayani suami dan menjalani fungsi keibuan.
Islam memiliki tujuan dalam pernikahan yakni Sakinah mawaddah warohmah, keluarga tenteram saling berkasih sayang karena Allah SWT. tujuan tersebut diharapkan untuk menjaga kelestarian keturunan dalam bingkai ketaqwaan. Dalam islam memandang bahwasanya seorang perempuan yang telah baligh (dewasa), maka diperbolehkan untuk menikah. Dikarenakan seseorang yang baligh (dewasa) dianggap sudah mampu, dan telah melewati masa anak-anak. Tanggung jawab beban sudah berlaku terhadap dirinya, termasuk hisab dan kewajiban bagi laki untuk mencari nafkah. Sedangkan bagi perempuan wajib menutup aurat dan memahami perannya dalam menjadi istri dan ibu ketika menikah nantinya. Islam sangat menekankan pemahaman terhadap pernikahan, memberikan porsi besar dalam mencegah terjadinya perbuatan maksiat sebelum adanya akad pernikahan. perbuatan zina tidak akan terjadi, kecuali jika memisahkan agama dari kehidupan mereka. Pasalnya dalam islam pernikahan ideal sudah menjadi tujuan. Terwujudnya pernikahan ideal hanya akan terjadi ketika berjalan diatas aturan Allah SWT. dan aturan tersebut tidak akan berjalan dengan sempurna ketika diterapkan dalam sistem kufur. Hanya Daulah islam yang mampu mewujudkan pernikahan impian secara sempurna.
Wallah ‘alam bishowab.
Oleh: Hasrianti
Penulis adalah Mahasiswi Pendidikan Kimia UHO