Pancasila “Jalan Tengah” Persatuan Bangsa

Falihin Barakati
Falihin Barakati

“Pancasila kecuali satu weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan, siapa tidak mengerti bahwa kita hanyalah dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Pancasila”(Bung Karno)

Lahir dan disepaktinya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukanlah suatu proses yang mudah. Melalui sidang BPUPKI terjadi proses dialektika yang panjang dan penuh perdebatan. Bahkan terjadi benturan-benturan pemikiran diantara tokoh-tokoh bangsa yang ada dalam BPUPKI. Secara umum dalam sidang tersebut terbagi dalam dua kelompok gagasan yaitu kelompok dengan gagasan Nasionalis-Sekuler dan kelompok dengan gagasan Nasionalis-Agamis (Islam).

Namun di tengah perdebatan panjang tersebut disepakatilah Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan jalan tengah diantara dua kelompok tersebut, dimana Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama tetapi merupakan negara Pancasila.

Seperti kutipan kalimat Bung Karno di awal tulisan ini, bahwa Pancasila adalah alat pemersatu. Ini dibuktikan bahwa Pancasila mampu menyatukan perbedaan-perbedaan pandangan parah tokoh bangsa tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI, sehingga Pancasila pun disepakati bersama sebagai dasar negara. Itulah sepintas sejarah singkat mengenai lahirnya Pancasila yang merupakan konsensus bersama yang menjadi jalan tengah persatuan bangsa. Kita mesti bangga kepada para tokoh bangsa kita pada saat itu yang mampu meramu  sebuah gagasan besar yang lahir dari nilai-nilai luhur dan budaya Indonesia sehingga tidak terjebak dalam pilihan ekstrim antara negara sekuler dan negara agama.

Coba kita lihat negara lain seperti Turki, dimana saat mencari jalan keluar dari kemerosotan Dinasti Utsmani yang berkuasa selama hampir delapan abad, akhirnya memilih Negara sekuler yang ditandai dengan runtuhnya kekhalifahan pada maret 1924. Turki pun menjadi Negara sekuler pertama di tengah masyarakat muslim. Begitupun di Pakistan. Negeri yang berdiri di atas bekas wilayah Dinasti Mogul itu, dari dua arus pemikiran politik yang bersaing saat menuju kemerdekaan, antara Ali Jinnah sebagai representasi gagasan Negara sekuler dan Maududi sebagai representasi gagasan Negara agama, toh akhirnya memilih  jalan sebagai Negara Islam, setelah gagal mensenyawakan format yang solutif untuk sebuah dasar Negara modern.

Pancasila dan Tantangan Kekinian

Sekalipun Pancasila sebagai konsensus bersama yang dijadikan dasar atau ideologi negara, bukan berarti dalam proses perjalanannya hingga saat ini tanpa tantangan. Dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga saat ini tidak terhindarkan dari tantangan-tantangan yang mengancam eksistensi Pancasila. Apalagi pasca reformasi dimana demokratisasi meningkat yang diatandai dengan kebebasan diagung-agungkan. Bahkan kebebasan sudah berubah menjadi kebablasan yang menyebabkan banyak paham radikalisme dan ekstrimisme meracuni pemikiran-pemikiran anak bangsa sehingga muncul kelompok-kelompok yang jauh dari nilai-nilai Pancasila bahkan menantang dan ingin menggantikan Pancasila sebagai dasar negara.

Hate speech atau ujaran kebencian sesama anak bangsa bahkan menjadi pemandangan yang tidak asing lagi khususnya di media sosial. Bukan hanya itu, politik identitas buta kembali dipraktikkan dengan mengangkat isu-isu SARA yang sangat sensitif. Belum lagi aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan agama saat ini makin menjadi-jadi. Kesemuanya menjadi gambaran bahwa alat pemersatu kita sebagai bangsa yaitu Pancasila mulai dikerdilkan.

Pancasila sebagai jalan tengah ideologi negara dirong-rong oleh paham radikalisme yang dibawa oleh kelompok-kelompok ekstrim yang mengusung ideologi-ideologi negara selain Pancasila. Ini menjadi tantangan kekinian yang mengganggu eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara yang bisa berbuntut terciptanya disintegritas bangsa Indonesia.

Dengan melihat tantangan kekinian di atas, menurut hemat penulis pemerintah harus segara mengambil langkah tegas guna menjaga eksistensi Pancasila dari rong-rongan radikalisme dan ekstrimisme termasuk terorisme di dalamnya. Kita patut bersyukur dan mengapresiasi pemerintah yang telah menerbitkan Undang-undang Ormas dan menyepakati revisi Undang-undang Anti Terorisme sebagai legal standing atau perangkat hukum yang bisa menjadi alat dalam melindungi eksistensi Pancasila dari radikalisme dan ekstrimisme.

Tetapi itu tidak akan cukup menjamin bahwa radikalisme dan ekstrimisme akan hilang dan Pancasila akan aman dari rong-rongan mereka. Butuh kerjasama seluruh komponen bangsa dalam rangka menjaga integritas Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berideologi Pancasila, karena tantangan terhadap Pancasila akan selalu ada.

Oleh karena itu, di momentum peringatan Hari Lahir Pancasila kali ini mengajak kepada seluruh anak bangsa Indonesia tanpa terkecuali agar tidak terjebak di jalan-jalan ekstrim. Mari kita kembali ke jalan tengah yaitu Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Seperti kutipan pidato Bung Karno di awal tulisan ini yang menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang tidak mengerti perlunya persatuan yang tidak mengerti Pancasila. (*)

 

Oleh : Falihin Barakati
Penulis Merupakan Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sultra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini