ZONASULTRA.COM, KENDARI – Muhammad Rafi’ar Rasyid Nursyah yang akrab disapa Rafi memiliki hasrat menjadi seorang polisi tapi bukan sembarang polisi. Dengan kemampuan ilmu agama dan hafalan Al Quran, dia ingin menjadi polisi yang beriman, yang suka berceramah.
Belia dengan cita-cita mulia, begitulah untaian kata yang pantas disematkan kepada remaja yang lahir di Kolaka, 31 Agustus 2001 silam ini. Selain memiliki tubuh yang sehat dengan tinggi badan 168 cm, anak kedua dari pasangan Saifuddin Mustaming dan Helmi Irmawati ini punya modal yang sangat istimewa, bisa menghafal 30 juz Al Qur’an dan pandai ceramah agama.
Rafi kini terdaftar mengikuti seleksi penerimaan Calon Bintara Polri, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra) dari Kepolisian Resor (Polres) Kolaka untuk jalur seleksi Bintara Dakwah Islam dengan nomor ujian: 112622/P/0001 terverifikasi 28 Maret 2019.
“Di dalam kepolisian saya bisa mengembangkan dakwah saya, makanya saya pilih Bintara Dakwah Islam, supaya bisa juga mengabdi pada negara sambil mengembangkan agama Islam,” ujar remaja berbusana muslim itu, di sebuah kedai kopi kawasan pertokoan Kendari pada akhir pekan (30/3/2019) lalu.
Baca Juga : Kisah Mahasiswa Asal Buton yang Kuliah di Tiga Negara Eropa Sekaligus
Rafi yang kini memiliki hafalan 30 juz Al Quran banyak mengembangkan dirinya di Kota Kendari. Ketika semester pertama kelas 6 di Madrasah Ibtidayah Negeri (setingkat SD) Kolaka, anak kedua dari 4 bersaudara ini, harus ikut bersama keluarga pindah ke Kota Kendari. Sebab, ayahnya saat itu pindah tugas ke Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sultra untuk mengisi jabatan sebagai Hubungan Masyarakat (Humas).
Di Kendari, Rafi tinggal di kawasan pasar basah, Jalan Lasandara, Kelurahan Mandonga Kecamatan Mandonga. Dia melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidayah Pesantren Ummusabri (MI Pesri) hingga tamat.
Setelahnya, Rafi masuk ke pemondokkan di Pesantren Al Askar di Masjid Agung Al Kautsar Kendari pada 2012. Di situlah Rafi memulai aktivitas menjadi penghafal kalam Tuhan hingga 4 tahun lamanya.
“Sebelum resmi masuk pondok itu, sudah hafal beberapa halaman, jadi pas masuk langsung setor hafalan. Tahun pertama 5 juz, itu agak lama, tahun kedua sudah 10 juz dan tahun ketiga langsung 20 juz, dan tahun keempat alhamdulillah 30 juz di tahun 2016,” tutur Rafi.
Menjadi penghafal tidak menyurutkan aktivitas Rafi untuk bergaul dengan rekan sejawatnya. Teman yang punya karakter baik, buruk ataupun pengonsumsi alkohol sekalipun tak dipilah-pilihnya untuk menjalin pertemanan. Hal itu, justru menjadi lahan Rafi untuk berdakwah.
Kerap kali Rafi mengingatkan temannya untuk berhenti menghisap rokok. Namun, apa hendak dikata, dia hanya sebatas berupaya mengingatkan, rekannya tak mau berubah. Dia juga tak mau ikut-ikutan menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis (pacaran).
“Itu (hubungan asmara) salah satu pantangan hafalan Qur’an, tapi itu tergantung diri sendiri, bagaimana kita hadapi, kita batasi, komunikasi hanya yang perlu saja, seperti tanyakan tugas, kerja kelompok, tidak berlebihan juga dan tidak menyinggung hatinya, kita tetap jaga hubungan pertemanan,” imbuhnya.
Kini, dia mempertahankan bacaannya dengan rajin membuka kitab suci itu, membacanya dan selalu mengingat-ingat surah demi surah, walaupun memang pernah ada yang dilupa. Ibu dan ayahnya sering mengingatkan soal itu, meski masing-masing punya kesibukan.
“Sering-sering saja baca Al Quran, banyak mendengar orang mengaji dan yang paling penting menghindari berbuat dosa,” kata Rafi sembari tersenyum.
*Sosok Ayah dan Tantangan Menghafal
Rafi, yang kerap dipanggil dengan sapaan ‘pak ustad’ oleh teman sebayanya itu, mengakui awal mula punya semangat untuk menjadi hafiz Quran ada aktor utama yang menginspirasi. Adalah ayahnya sendiri, Saifuddin Mustaming, yang akrab disapa Ustaz Pudo.
Sosok ayah bagi Rafi merupakan super hero pertama di dunia, manusia kebanggaan yang patut diikuti rekam jejaknya. Ayahnya pernah menjadi penghafal Quran di masanya, kini menjadi penyebar syiar Islam langganan masjid-masjid di Kolaka.
Proses menjadi hafiz Quran dengan menghafal aksara Arab baginya hal yang tidak mudah. Banyak tantangan yang menjadi hambatannya. Pada juz 14, 15 dan 22 setelah surah yasin, ayat-ayat itu tergolong pendek dan mirip, menjadi salah satu kesulitan untuk mencerna aksara arab itu. Hingga stress kadang ikut mengganggu pikiran Rafi. Justru, pada untaian-untaian ayat panjang, lebih mudah diingatnya.
Baca Juga : Kisah Guru Honorer di Koltim, Berjalan Kaki 14 Kilometer untuk Bisa Mengajar
Musuh utama bagi dia adalah masalah hawa nafsu, apalagi dalam era melek teknologi membuatnya terganggu dan tidak mudah untuk dihindari. Salah satunya keinginan bermain handphone untuk berselancar di media sosial. Selain itu, aktivitas demikian pada masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kendari, medio tahun 2015 menjadi sedikit rintangan Rafi dalam menggenjot hafalan.
“Itu susah sekali, misalnya kita malas buka Al Quran, maunya main handphone terus. Itu sangat susah untuk dilawan. Tapi kita para penghafal pasti punya target yang harus diselesaikan sebelum tenggat waktu yang ditentukan. Target pribadi satu hari satu lembar, jadi dua halaman, untuk disetor subuhnya,” ujar dia sambil mengutak-atik handphonenya.
Berbagai hambatan dan rintangan itu, bukan menjadi alasan untuk menuntaskan hafalan. Pribadi yang pantang menyerah menjadi prinsip yang telah terpatri kuat di dalam dirinya. Justru Rafi menemukan metode hafalan yang bisa mempermudah. Metode dauroh namanya, yakni mengaji dari pagi sampai malam secara terus menerus, hingga dalam sehari bisa menghafal 8 halaman.
*Wakili Sultra Ajang MTQ Nasional di Batam
Kemampuan yang dimiliki itu ternyata sudah banyak dilirik. Dia diutus dari pesantren untuk mengikuti Musabaqah Tilawitil Qur’an (MTQ) di Kabupaten Kolaka Timur tahun 2014. Rafi tercatat ikut bersaing dengan puluhan kompetitor dari barbagai daerah di Sulawesi untuk kategori lomba 5 juz. Hasilnya dia berhasil menyabet gelar harapan pertama.
Puncaknya, dia didaulat mewakili kafilah Sultra dalam ajang MTQ Nasional di Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tahun 2014 untuk kategori lomba tilawah dan golongan 5 juz putra. Saat itu, Rafi hanya sebagai hafiz cadangan yang hanya bisa tampil ketika yang hafiz pertama ada kendala.
Kesempatan pun datang karena peserta utama mengalami kendala sakit. Sehingga sebagai cadangan Rafi diutus tampil melantunkan ayat suci tanpa teks konsep, dan catatan yang dibawanya. Meski tak mendapat juara. Perjuangan Rafi mendapat apresiasi oleh Kanwil Kemenag Sultra yaitu berlibur di Singapura bersama ayahnya yang memang ikut mendampingi sejak lomba.
*Bisa Berceramah dan Didaulat Jadi Imam
Selain pintar mengaji dan menghafal Al Quran, Rafi juga bisa memberi siraman rohani atau berceramah di depan puluhan jamaah di masjid-masjid Kolaka. Pernah suatu ketika, jadwal ceramah ayahnya bertabrakan dengan jadwal di luar Kolaka sehingga tak bisa mengisi ceramah di malam itu. Ustaz Pudo pun menyuruh anaknya untuk menggantikannya.
Kala itu Rafi masih duduk di bangku setingkat SMP. Memang pengalaman pertama kali ceramah di depan umum, membuatnya tidak percaya diri. Berbekal pelatihan mubaligh di sekolah, bahwa ketika sudah ada di atas mimbar, sudah dirinya yang paling benar maka rasa tidak percaya diri dan grogi hilang seketika.
Baca Juga : Kisah Guru Honorer di Koltim, Berjalan Kaki 14 Kilometer untuk Bisa Mengajar
Cibiran halus kerap kali dialami dari para jamaah yang meragukan kemampuannya. Namun, berbekal percaya diri dan mental yang kuat, Rafi tetap tegar dengan langkah tegak maju ke atas mimbar. Kala itu Rafi membawa ceramah dengan tema akhlak.
“Saya dengar bisik-bisik, ‘kenapa anak-anak bawa ceramah, memang dia bisa’. Saya serahkan saja sama yang di atas, saya kuatkan mental, saya maju sesuai dengan apa yang diajarkan bapak, setelah selesai jamaah bapak-bapak yang meragukan saya langsung mengambil tangan saya berjabat tangan,” senyum Rafi bangga.
Saat menjalani proses seleksi di Polda Sultra, Sabtu (30/3/2019) lalu. Setelah apel menjelang salat Magrib, Rafi diminta untuk jadi imam di masjid Al Amin (Masjid dalam lingkungan Polda). Awalnya dia agak keberatan karena tidak enak hati kepada imamnya, tapi ternyata imam masjid saat itu sedang sibuk di STQ Sultra yang sedang berlangsung.
Dia pun menjadi imam salat, mengimami ratusan jamaah dari teman seleksinya peserta casis dan polisi-polisi yang ada saat itu. Rafi tak mau takabur. Dia hanyalah manusia biasa dengan ilmu dan pemahaman yang masih setara dengan sebayanya. “Alhamdulillah Allah memberi anugerahnya pada saya,” tutur Rafi.
Bila gagal dalam perekrutan Bintara Penyiar Islam, dia berencana akan melanjutkan pendidikan di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan komunikasi penyiaran Islam.
*Punya Tekad Kuat Jadi Polisi Dakwah*
Ayah Rafi, Saifuddin Mustaming (ustaz Pudo) bercerita anak keduanya itu punya tekad kuat menjadi polisi pendakwah. Cita-cita itu ada sejak masa kecil. Meski dalam perjalanan, hasrat itu sempat pudar, akibat aktivitas menghafal-mengaji dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Ustaz Pado yang saat ini bekerja di Kanwil Kemenag Kolaka, mengatakan suatu ketika Rafi sudah konsentrasi menghafal di Masjid Al Kautsar. Dia mengingatkan anaknya itu yang pernah bercita-cita menjadi polisi dan dijawab Rafi bahwa ingin menjadi polisi beriman, polisi penceramah. Sebab tugas polisi saat ini tidak hanya sebatas mengurus lalu lintas, melakukan pengamanan, dan mengayomi masyarakat, tetapi dapat pula mendakwah.
“Setelah saya sibuk mengurus STQ, dia sampaikan hasratnya, bahwa dia ingin jadi polisi, dia ingin sekali. Dia bilang, seperti apapun hasilnya di belakang, yang penting dapat menyalurkan keinginan sejak kecil,” ucap Pudo.
Pudo merasakan betul perjuangan anaknya, bahkan ketika mengingat kembali perjuangan putra kebanggaannya itu membuatnya terharu. Menurutnya, Rafi berusaha sungguh-sungguh mengurus berkas, namun pernah tersendat dengan berkas yang kurang. Seingatnya ada 21 poin syarat berkas yang harus dilengkapi.
Ketika Pudo sibuk dengan penyelenggaraan STQ tingkat provinsi tahun 2019 ini, maka harus berbagi dengan ibu Rafi. “Ketika ada waktu istrahat saya lagi yang mengurus, ketika waktu super sibuk, ibunda Rafi lagi yang mengurus. Hingga dalam seminggu ini dua kali bolak-balik Kolaka urus berkas,” ujar Pudo.
“Saya cuma punya harapan, rezeki dari Allah itu tidak akan tertukar. Setelah dia mengurus semuanya, ini satu isyarat dari Tuhan, satu tahapan sudah dilalui, inshaallah dia lolos menjadi anggota Polri,” harapnya.
Bila diterima menjadi bintara dakwah, Rafi mempunyai visi akan memberi pemahaman tentang Al Quran untuk anggota Polri dan sebagai pengayom masyarakat, Rafi akan menyiarkan Islam kepada masyarakat secara luas. (*)
Muh. Rafy ar-rasyid ini alumni MAN 1 Kendari, tamat tahun lalu, di MAN 1 Kendari mengambil jurusan Keagamaan.