ZONASULTRA.COM, TIRAWUTA – Sudah dua tahun belakangan ini pasangan suami-istri (pasutri), Muh Tang (70) dan Kartini (45), warga desa Lara, Kecamatan Tirawuta,Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), Sulawesi Tenggara (Sultra) bekerja sebagai pengumpul arang.
Mereka terpaksa melakukan hal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk biaya pembelian pulsa listrik (token) setiap bulan.
Selama ini, Muh Tang dan Kartini mengandalkan hasil kebun sebagai sumber utama penghasilan. Namun sekarang tanaman mereka telah banyak yang mati. Sebagian lagi sudah kurang produktif berbuah akibat usianya yang sudah tua.
“Tanaman merica yang kami tanam habis semua mati. Kelapa sawit tidak ada harganya. Coklat (kakao) sudah puluhan tahun rusak. Jadi mau apa lagi. Kalau tidak bekerja begini (mengumpul arang), apa yang mau kami pakai beli beras. Apa mau dipakaikan beli pulsa listrik. Kami harus bekerja keras untuk melangsungkan hidup,” tuturnya bersemangat.
Kartini melanjutkan, untuk membuat arang, mereka mengambil bahan baku dari kayu gamal yang ada di kebunnya. Kayu gamal tersebut merupakan tiang dari tanaman merica milik mereka yang sudah mati tiga tahun lalu.
“Kurang lebih 500 meter jaraknya dari kebun ke tempat pembuatan arang. Pakai mobil open cup kalau diangkut dari kebun. Satu kali angkut dibayar 50 ribu,”kata Kartini.
Untuk menghasilkan arang, kayu-kayu gamal mesti dibakar selama dua hari. Setelah itu dilanjutkan dengan penguburan selama satu malam.
“Habis itu dibuka tanahnya. Satu per satu arangnya diambil dari bara api dengan jepitan bambu yang dianyam. Kemudian direndam dan dijemur kembali. Kalau sudah kering barulah dikasi masuk ke dalam karung, “bebernya.
Hasil pengumpulan arang biasanya dijual dengan harga 80 ribu per satu karung goni. Beruntung, selama dua tahun menjalani pekerjaan seperti itu, Kartini tak perlu repot lagi mencari pelanggan.
“Sudah ada langganan yang suka borong dari desa Tanggobu. Ada juga warga sekitar desa Lara yang ambil. Uangnya kami pakai beli beras, pakai bayar listrik, pakai beli ikan dan kebutuhan lainnya,”ucapnya.
Perjuangan hidup yang dilakukan Kartini bersama suaminya memang tak mudah. Resiko terserang penyakit paru-paru mengancam di depan mata.
Betapa tidak, setiap mengambil kepingan arang, Kartini mesti menghirup asap yang berasal dari lubang pembakaran.
“Susah pakai masker karena susah saya bernafas. Mending kain jilbab saja dipakai. Tapi kalau malam saya batuk-batuk akibat menghirup asap. Mau diapa, sudah begitu resikonya. Kami mau harap anak-anak tidak mungkin. Apalagi mereka sendiri sudah berkeluarga dan hanya bekerja sebagai petani juga. Mana bapak juga sudah tua dan mulai sakit-sakitan,”keluhnya. (a)
Kontributor : Samrul
Editor : Kiki