Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memutus 22 perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada. Di Sulawesi Tenggara, salah duanya adalah Kota Kendari dan Kabupaten Bombana.
Tulisan ini akan membahas dua hal. Tentang sanksi dan tentang konsekuensi dari putusan DKPP. Tulisan ini adalah kritik bagi DKPP sekaligus kritik atas aturan main penyelesaian sengketa pilkada.
Tentang sanksi. Ada yang menarik dari sanksi yang dijatuhkan DKPP terhadap dua komisioner KPU Kendari. Ketua KPU Kendari Hayani Imbu dan seorang anggotanya Abdul Wahid Daming dilaporkan oleh Bawaslu Sultra.
Hayani dan Wahid diadukan telah melakukan pertemuan rahasia dengan calon Walikota Kendari Adriatma Dwi Putra serta tim kampanye di rumah jabatan Walikota Kendari pada 20 Desember 2016.
Pertemuan itu diakui oleh Sekretaris KPU Kendari Muskam sebagai inisiatifnya. Muskam juga merupakan pihak yang mendapat sanksi dari DKPP.
Poin penting dari aduan ini bahwa perkara yang membelit ketiganya (Hayani, Wahid, dan Muskam) adalah pertemuan itu. Kasusnya sama. Tapi DKPP memberikan sanksi yang berbeda.
Hayani dicopot sebagai ketua dan mendapat teguran keras. Sedangkan Wahid diberhentikan sebagai komisioner. Muskam tidak dimasukkan dalam bahasan ini karena posisinya bukan komisioner. Dia adalah pegawai negeri.
Sanksi ini memberikan kita pelajaran bahwa ketua memiliki hak istimewa di mata hukum jika dibandingkan secara relatif dengan anggotanya. Kenapa? Yah, karena terlihat bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada Ketua KPU Kendari lebih “ringan” ketimbang yang diterima oleh anggotanya.
Sebagai lembaga yang berprinsip kerja kolektif kolegial, seharusnya sanksi yang mereka terima sama. Jika Wahid dipecat, kenapa Hayani hanya dicopot sebagai ketua?
Toh, dengan dicopot sebagai ketua, haknya sebagai anggota masih ada. Apa lagi yang dapat diharapkan dari komisioner yang telah terbukti melanggar kode etik dengan konsekuensi pemecatan seperti yang diterima oleh rekannya?
Atau dalam perspektif lain, jika status Hayani masih dipertahankan sebagai komisioner, kenapa Wahid harus dipecat? Bukankah Wahid juga cukup disanksi dengan hanya teguran keras seperti rekannya?
Hayani yang dalam kapasitasnya sebagai ketua –dan dengan demikian menjadi simbol lembaga– wajar jika dicopot dari jabatan ketuanya. Bahkan justru dengan jabatan yang diembannya, sanksi yang diterima harusnya lebih berat dari Wahid yang hanya anggota biasa. Bukankah mantan Ketua MK Akil Mochtar divonis dengan logika demikian?
Kesimpulannya, sanksi kedua komisioner ini seharusnya sama karena materi aduan yang menjerat mereka juga sama. Jika teguran keras, ya sama-sama teguran keras. Jika pemecatan, ya sama-sama pemecatan.
Hal berikut, tentang konsekuensi dari putusan. Sanksi yang dijatuhkan kepada komisioner KPU Kendari beserta pegawainya mengkonfirmasi bahwa penyelenggaraan Pilkada Kendari mengindikasikan secara kuat adanya kecurangan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara.
Tetapi putusan ini tidak memiliki konsekuensi apa-apa terhadap penetapan pemenang pilkada. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh komisioner tidak lantas membuat kemenangan ADP-Sul –yang diputuskan oleh para komioner ini– menjadi teranulir. ADP-Sul tetap sebagai pemenang pilkada secara sah dan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Apa yang bisa kita pelajari dari realitas ini bahwa eksistensi DKPP hanya sekadar sebagai “tukang jagal” bagi komisioner-komisioner nakal. Kerja-kerja DKPP tidak terintegrasi dengan lembaga lain dalam rangka penegakan keadilan secara lebih luas.
Idealnya, keputusan-keputusan DKPP dapat menjadi pertimbangan hukum bagi MK sebagai pemutus sengketa pilkada. Perangkat hukum yang dibuat dalam rangka aturan main penyelesaian sengketa pilkada seharusnya menunggu putusan-putusan dari DKPP. Karena keadilan bukan hanya soal angka-angka, tapi juga soal kelakuan.***
Oleh: Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & Pemerhati Sosial