Beberapa waktu yang lalu 3 (tiga) anggota TNI, 2 (dua) dari TNI AD dan 1 (satu) dari TNI AU harus menanggung hukuman disiplin dan harus mendekam di tahanan selama 14 hari akibat ulah sang istri. Penyebabnya, kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto dikomentari nyinyir melalui status di media sosial oleh para istri anggota TNI tersebut, sehingga berdampak kepada sang suami. Atas hal tersebut, para prajurit TNI tersebut dianggap telah melanggar ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer sedangkan kepada para istri prajurit TNI tersebut dianggap melanggar ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Berdasarkan kasus tersebut, timbul pertanyaan dikalangan masyarakat apakah pantas para anggota TNI tersebut dihukum disebabkan perlakuan para istrinya yang nyinyir melalui media sosial? Tegasnya, apakah seseorang bisa bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain?
Dalam konteks teori hukum pidana hal demikian dikenal dengan pertanggungjawaban pidana pengganti atau didalam berbagai literatur dikenal dengan istilah vicarious liability. Yang dimaksud dengan vicarious liability menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana (hal. 93) adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).
Menurut Eddy O.S Hiariej dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi (hal. 207) doktrin vicarious liability ini bertolak dari doktrin responden superior, berdasarkan pada employment principle dan the delegation principle. Doktrin ini merupakan pengecualian pertanggungjawaban pidana individu yang dianut dalam hukum pidana berdasarkan adagium “nemo punitur pro alieno delicto” yang artinya tidak ada seorangpun yang dihukum karena perbuatan orang lain.
Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain adalah dalam ruang lingkup perkerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Muladi didalam bukunya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Edisi Revisi (hal. 114) prinsip vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu menurut hukum pidana Inggris, yaitu hanya berlaku terhadap delik-delik yang mensyaratkan kualitas dan delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Di Indonesia sendiri, doktrin pertanggungjawaban pidana (vicarious liability) berdasarkan hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum) hanya diatur didalam dua hal. Pertama, yaitu dalam pertanggungjawaban komando pada pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (genosida dan kejahatan kemanusiaan). Kedua, yaitu dalam pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pada pertanggungjawban komando, seorang komando atau atasan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya apabila : Pertama, komandan atau atasan dituntut untuk kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut memerintahkan pasukannya yang berada dibawah komando dan kendali efektifnya untuk melakukan suatu kejahatan (crimes by commission). Kedua, komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya, bila komandan atau atasan tersebut mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan, tetapi yang bersangkutan tidak mencegahnya (crimes by omission). Ketiga, komandan atau atasan dituntut atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan bawahannya bilamana dia tidak menindak pasukan yang berada dibawah komando dan kendali efektifnya yang telah melakukan kejahatan yang dalam hal ini berupa pelanggaran HAM berat utamanya kategori kejahatan terhadap kemanusian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Bila dihubungkan dengan kasus yang menimpa 3 (tiga) orang anggota prajurit TNI tersebut, apakah dapat dikategorikan sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana komando sebagaimana disebutkan diatas?
Perlu pula kiranya diketahui, bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana pengganti atau vicarious liability ini merupakan pengecualian dari asas culpabilitas dalam hukum pidana. Lahirnya pengecualian ini menurut Muladi (ibid, hal 115-116) merupakan perluasan dan pendalaman asas regulatif dari yuridis, moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan perkerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya.
Oleh karena itu, meskipun seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana, namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Sebagai suatu pengecualian, maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Maka berdasarkan hal tersebut, nampaknya menjadi keliru jika para anggota TNI harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan nyinyir yang dilakukan oleh para istrinya bila berdasarkan prinsip vicarious liability. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut dianggap keliru. Pertama, dilihat dari adseratnya atau subjek hukum yang ditujukan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer (UU Hukum Disiplin Militer) ditujukan hanya pada Militer sebagai pelaku yang melanggar hukum dan tidak mengenal subjek lain diluar itu. Hal ini dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 1 angka 5 yang berbunyi “pelanggaran hukum disiplin militer adalah segala perbuatan dan/atau tindakan yang dilakukan oleh militer yang melanggar hukum dan/atau peraturan disiplin militer dan/atau melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan militer yang berdasarkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Selanjutnya pengertian Militer sendiri dijelaskan lebih lanjut didalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Militer adalah anggota kekuatan angkatan perang atau suatu negara yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Kedua, sebagaimana disebutkan oleh Muladi diatas penggunaan prinsip vicarious liability tidak serta-merta dapat digunakan untuk semua bentuk tindak pidana, melainkan secara limitatif hanya pada apa yang disebutkan didalam undang-undang. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pelimpahan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh istri prajurit TNI kepada suaminya adalah out of context karena bukan merupakan bentuk pelanggaran HAM berat sebagaimana yang diakui didalam ius constitutum juga perbuatan a quo tidak ditentukan secara expressive verbis didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.
Ketiga, bahwa didalam prinsip hukum pidana dibedakan delik sebagai tatbestandmassigkeit dan delik sebagai wesenschau. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tatbestandmassikeit dapat diartikan perbuatan memenuhi unsur delik yang dirumuskan. Sedangkan wesenschau mengandung makna suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik tidak hanya karena perbuatan tersebut telah sesuai dengan rumusan delik tetapi perbutan tersebut juga dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Maka bila dihubungkan dengan tanggungjawab anggota TNI atas perbuatan istrinya berdasasrkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 adalah termasuk tatbestandmassigkeit secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
Keempat, bahwa didalam prinsip hukum pidana juga dikenal istilah titulus est lex dan rubrica est lex. Titulus est lex berarti judul perundang-undangan yang menentukan sedangkan rubrica est lex berarti bagian perundang-undanganlah yang menentukan. Dalam konteks ini, perbuatan istri TNI tidak dimaksudkan didalam Undang-Undang Hukum Disiplin Militer.
Atas dasar itulah sehingga menurut penulis terjadi kekeliruan dalam menerapkan prinsip pertanggungjawaban pidana pengganti atau vicarious liability berkenaan dengan kasus yang menimpa 3 (tiga) anggota TNI sebagaimana didalam hukum positif kita prinsip vicarious liability hanya diatur dalam dua hal sebagaimana disebutkan diatas, pertama dalam pertanggungjawaban komando terbatas pada pelanggaran HAM berat. Kedua, pada pertanggungjawaban pidana korporasi.
Pertanggungjawaban pidana sebagaimana yang dilakukan oleh para istri anggota TNI yang dianggap melanggar ketentuan didalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kiranya merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana individu sehingga tidak berkenan untuk dilakukan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada orang lain.
Oleh : Muhammad Takdir Al Mubaraq, SH
Penulis merupakan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Gajah Mada