Pemberantasan Korupsi Hari Ini

La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

Pemberantasan korupsi di negeri ini tentu merupakan dambaan bagi kita semua. Penderitaan rakyat sebagai dampak korupsi sungguh luar biasa. Sulit dan tak terhitung dari aspek materi saja. Sangat menderita. Olehnya itu struktur hukum, sebagai pemberantas korupsi mesti serius memerangi ini dengan segala kewenangannya, dan tentu berdasar pada basis substansi hukum kita. Mesti ada hukuman yang membuat jera koruptor.

La Ode Muhram Naadu
La Ode Muhram Naadu

Korupsi, masih menjadi masalah yang sangat familiar di bangsa ini. Efeknya begitu masif dalam mengeroposkan ketahanan suatu negara, hingga kemudian secara positif hukum kita di Indonesia menggolongkan sebagai extraordinary crime. Yah, kejahatan yang luar biasa. Dalam pemberantasannya, korupsi memerlukan penanganan secara terstruktur. Sebagaimana korupsi merupakan kejahatan terstruktur yang dilakukan oleh orang-orang berjabatan (White Collar Crime).

Sayangnya, harapan rakyat akan pemberantasan korupsi terjawab ironi. Palu hakim-hakim kita justru membunyikan suara yang sumbang. Berkaca pada data yang dirilis oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) rata-rata hukuman penjara terhadap 573 putusan sidang kasus korupsi dijatuhi vonis ringan. Standar pengkategorian ringan berdasar pada Pada Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang mana hukuman minimal penjara ada dalam kisaran 4 tahun penjara.

Di tingkat pertama di Pengadilan Negeri rata-rata vonis hanya 1 tahun 11 bulan kurungan penjara. Putusan ringan ini hampir terjadi disebagian besar daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Kemudian, di Sidang banding pada Pengadilan Tinggi, rata-rata vonis berkisar pada angka 2 tahun 6 bulan penjara. Dan lanjut di tahap kasasi pada Mahkamah Agung (MA) vonis kasus korupsi rata-rata dihitungan 4 tahun 1 bulan.

Data ini diambil sepanjang tahun 2016. Dari data tersebut, dipresentasekan bahwa vonis rendah paling tinggi terjadi ditingkat Pengadilan Negeri. Presentasenya 76% dari 420 Putusan. Ditingkat banding sebanyak 60% dari 120 putusan. Ditingkat MA ada 45% dari 32 Putusan.

Menurut ICW sebagai perilis hasil penelitian ini, tuntutan ringan ini tidak terlepas dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang gagal memformulasikan hukuman yang tepat bagi terdakwa. Tuntutan cenderung ringan, baik ditinjau dari pidana penjaranya maupun pidana denda. Terlebih tidak disertai kewajiban mengganti kerugian, dan tidak disertai pencabutan hak politik bagi koruptor yang backgroundnya politisi. Ditahun 2016 hanya ada 7 putusan diantara 573 putusan yang memvonis terdakwa berupa pencabutan hak politik. Tentu sangat miris.

Perlu dicatat bahwa dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, MA sejauh ini belum mengeluarkan Perma atau SEMA terkait kesungguhan mereka dalam menjatuhkan vonis berat terhadap koruptor. Pidana Pokok dan Pidana tambahan tidak dimaksimalkan. Diluar itu, ketidaksungguhan MA diatas secara kelembagaan, terlebih para Jaksa, sebenarnya Hakim sebagai tokoh sentral penegakan hukum tidak boleh ikut-ikutan. Mereka dapat melaksanakan kewenangannya berdasarkan hukum dan keyakinan nuraninya yang tulus untuk memberantas korupsi, dengan cermat menilai apakah tuntutan Jaksa sudah sesuai. Hingga menjatuhkan vonis yang menjerakan-mencerminkan keseriusan pemberantasan korupsi.

Hakim sebagai tokoh sentral yang terhormat (officium nobile) sebenarnya dapat menjadi panglima atas ketidaksungguhan para Jaksa. Sebagai ujung tombak penegakan hukum, hakim dapat menggunakan kewenangannya yang luas dalam menerjemahkan semangat pemberantasan korupsi. Dalam menjatuhkan vonis sudah selayaknya tidak terbelenggu pada bunyi undang-undang yang sifatnya situasional. Dibutuhkan suatu konsep progresif, sebagaimana apa yang dikemukakan Satjipo Rahardjo, yakni hakim harus membuat putusan berdasar pada kondisi lokal dan kondisi waktu. Dengan keyakinan dan kemuliaannya, hakim harus membuat putusan sendiri, sehingga rasa keadilan itu dapat diterima oleh masyarakat sebagai rasa keadilan, bukan karena kebenaran bunyi undang-undang. Seperti itu ang dimaksud hukum progresif.

Negara, sebagaimana menurut Hegel adalah sebagai realitas atau kesadaran seharusnya menjawab pertentangan-pertentangan yang ada. Kondisi faktual menyiratkan kita butuh terobosan dalam memperkuat struktur hukum kita hari ini. Kesengkarutan pemberantasan korupsi hari ini tentu mengundang pesimisme, menyuburkan perilaku koruptif. Sudah menjadi lagu lama, kiat pemberantasan Korupsi di Negeri ini ternyata hanya sekadar service lips, atau paling jauh nan sering mengarah pada kriminalisasi, penuh intrik. Kitapun bertanya, kapankah ada kesungguhan memberantas korupsi tanpa pandang bulu, sebagai perwujudan equality before the law.

Struktur hukum seolah menjadi entitas yang sulit direvolusi mentalnya. Tentu merupakan sebuah luka bagi masyarakat jika kita dibohongi oleh pemberantasan korupsi yang ngeyel-nya minta ampun. Vonis rendah ini sangat memilukan bagi kita semua. Data-data tersebut mencoreng semangat pemberantasan korupsi ditubuh Kejaksaan dan Pengadilan kita. Ini merupakan suatu kemunduran dalam pemberantasan Korupsi.

Bukannya memberantas dengan progres, aparat kita justru memicu penyuburan tindak-tanduk koruptif. Sebab tidak ada efek jera yang tegas. Dari faktor opportunity sebagai akar korupsi, dengan adanya vonis-vonis rendah seperti ini, dapat diprediksi bahwa masih banyak yang akan korupsi dengan angka fantastis kedepannya, jikalau hukumannya dikisaran 1-4 tahun,dan itu belum termaksud remisi. Terlebih remisi yang kadang jadi obrolan bin obralan.

Jawaban akan ini tentu mengarah pada pembenahan struktur hukum kita. Publik pun bertanya, sudah sejauh inikah semangat pemberantasan korupsi yang digalakan di sarana kampanye, seperti sticker, baju, baliho-baliho dari Kejaksaan juga Pengadilan kita?. Bukankah kita selama ini terbuai akan kampanye zero tolerance, kesungguhan akan pemberantasan korupsi. Kenyataannya struktur hukum kita memang mesti dibenah, kapasitas dan integritasnya, semangatnya.

Dari pembenahan struktur kita berharap, bahwa aparat hukum kita hari ini masih mempunyai hati nurani untuk memberantas korupsi. Kita tak boleh lupa, bahwa ada banyak agenda peningkatan kapasitas aparat hukum kita yang menelan uang negara dan justru menghasilkan pemberantasan korupsi dengan rapor merah seperti ini. Jikalau selalu demikian adanya, apalagi yang mesti ditingkatkan selain semangat bin moralitas. Mereka mungkin banyak lupa dengan sumpah jabatannya, atau lupa dengan anjuran agama, yang menyatakan betapa pedihnya siksaan bagi mereka yang mempermainkan hukum.

Disamping pembenahan struktur hukum kita, keadaan hari ini membutuhkan suatu substansi hukum yang menjerakan. Standar pemidanaan korupsi mesti dinaikan, meski Indonesia belum memiliki standar pemidanaan yang teratur. Ukuran ketercelaan korupsi dengan pidana yang tergolong extraordinary crime mesti dinaikan. Sebagai contoh, keberadaan Pasal 2 (2) UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 thun 2001 sepertinya butuh penyeragaman sanksi dijenis korupsi yang lain pada pasal lainnya. Penekanan pasalnya meski ber-genre imperatif.

Antusiasme masyarakat dalam menyikapi wacana hukuman mati merupakan suatu ukuran, yang menjadi Dasar Sosiologis (sociologische gelding) dalam kebutuhan hukum kita. Dari basis Filosofis pun tak bisa kita pungkiri bahwa cita hukum (rechtsidee) masyarakat Indonesia menginginkan Negara ini bersih dari perilaku korup pejabat-penguasa. Jawaban terbaik dari sisi substansi hukum adalah bagaimana melahirkan aturan yang menjerakan. Kita sangat butuh itu. Hukum yang berfungsi sebagai alat menakuti mesti ditonjolkan. Terlebih situasinya seperti ini.

Dalam pendekatan substansi hukum, mesti ada suatu terobosan hukum yang mengarah pada penjeraan koruptor, sebagaimana dalam teori pemidanaan ini dikenal sebagai Teori Vindikatif sebagaimana diperkenalkan Kant dan Hegel. Kejamnya Koruptor mesti dihukum kejam pula. Sejauh ini belum ada koruptor yang dihukum mati. Yah, belum ada shock therapy dan malah di vonis rata-rata sangat ringan. Bahkan dalam proses hukum pun mereka masih bisa menikmati hasil curiannya.

Harapan kedepan publik mengarahkan bahwa, penegak hukum kita mesti sadar dan lebih greget dalam memberantas korupsi, dan tentunya koruptor mesti dijerakan dengan hukuman yang memberikan shock therapy. Dua hal tersebut tentu menjadi harapan yang ingin disaksikan seluruh warga negara di Republik ini. Catatan kelam pemberantasan korupsi sejatinya sudah menjelaskan bahwa kebutuhan hukum sangat mendesak pada sisi keduanya. Pemberantasan korupsi mesti progres. Lebih dari sekadar service lips struktur hukum dan substansi hukum yang kurang tajam, yang menipu kita selama ini.

 

Oleh : La Ode Muhram Naadu S.H., M.H

Penulis Merupakan Peneliti di MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) – Sultra, Alumni Universitas Muhammadiyah Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini