ZONASULTRA.COM, KENDARI – Forum Pemerhati Perempuan daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam dialog publik dengan tema Urgensi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), mendesak legislator di DPR RI agar segera mengesahkan RUU tersebut.
Ketua Majelis Wilayah Forum Alumni HMI Wati (Forhati) Sultra Ulfa Matoka mengatakan, 13 lembaga pemerhati perempuan akan melakukan berbagai upaya untuk mendorong percepatan pengesahan RUU PKS di Dewan DPR RI. Pasalnya sejak diusulkan 2016 lalu, sampai saat ini masih berkutat di Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
“Karena maraknya terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka kami mendorong rekomendasi-rekomendasi dari daerah sebagai pertimbangan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan untuk diteruskan ke legislator di pusat, mumpung ini masih dibahas di Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” ungkap Ulfa di salah satu hotel di Kendari, Sabtu (16/3/2019)
Menurut Ulfa, ada beberapa hambatan di daerah sehingga RUU PKS ini masih tarik ulur dan menjadi faktor penghalang diterapkannya regulasi tersebut ketika sah menjadi undang-undang. Di antaranya soal budaya yang masih patriarki dan pendidikan seks yang masih dianggap tabu.
“Aspek budaya patriarki, sebagian orang masih berpendapat jika ini disahkan maka seolah-olah liberal, membuka peluang LGBT dan seks bebas, padahal sebenarnya tidak justru undang-undang ini melindungi,” bebernya.
Selanjutnya, adalah proses pendidikan seks sebagai upaya preventif (pencegahan) yang masih dianggap tabu dan belum mampu direalisasikan ke dalam kurikulum dasar dan pendidikan non formal.
“Seharusnya sejak pendidikan dasar, anak-anak bisa tahu, hal-hal apa saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain selain kedua orang tuanya. Hanya orang tuamu yang bisa menyentuhmu,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sultra, Suleha Andi Bahar mengatakan realisasi pengesahan rancangan undang-undang tersebut akan mendorong perlindungan perempuan dan anak.
“Pelaku-pelaku itu otomatis akan berkurang karena ada undang-undang yang mengikat, tapi kalau tidak ada regulasi yang mengikat maka pelaku akan dengan enteng saja melakukan karena tidak ada kekuatam hukum,” papar Suleha.
Ia juga mengharapkan partisipasi aktif perempuan menjadi pelopor kesetaraan gender baik dilingkungan keluarga maupun ditataran legislatif.
“Saya mengharapkan perempuan dapat memilih yang betul-betul pemerhati perempuan bukan karena ada tujuan lain dan harus peka dalam menganggapi isu perempuan,” tutup Suleha. (A)
Kontributor: Fadli Aksar
Editor: Muhamad Taslim Dalma