Pemerintah Diminta Evaluasi IUP Pemegang Kuota Ekspor di Sultra

Ilustrasi tambang
Ilustrasi

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI dan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Alimazi diminta segera mengevaluasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik pemegang kuota ekspor di Sultra. Sebab, para pemegang IUP itu tak kunjung membangun smelter.

Hal itu disuarakan oleh Ketua Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Sulawesi Tenggara – Jakarta Raya (FMPSST Jaya) Muhammad Fajar Hasan. Dijelaskannya, berdasarkan data yang pernah dirilis Dinas ESDM Provinsi Sultra, dari total 438 IUP di Sultra, sekitar 20-an pemegang IUP mendapatkan izin untuk mengekspor nikel ke luar negeri atau memiliki kuota ekspor, mayoritas perusahaan dalam negeri.

Namun kata Fajar, yang menjadi catatan adalah apakah perusahan-perusahan tersebut patuh memenuhi kewajibannya yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 06 tahun 2017 yang mengatur tentang tata cara pemberian rekomendasi untuk memperoleh izin ekspor mengatur persyaratan sedemikian ketat dan tanpa toleransi.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, tegas dan terang benderang, bahwa perusahaan tambang pemegang kuota ekspor harus membangun fasilitas pemurnian atau smelter, dan fisik bangunan harus kelihatan bukan berupa dokumen atau kertas. Jika perusahaan tidak membangun smelter, maka konsekuensinya izin kuota ekspornya dicabut oleh Menteri,” ujar Fajar di Jakarta melalui pesan Whatsapp, Jumat (15/2/2019).

Secara rinci Fajar menyebut, dalam Permen ESDM 6/2017 tersebut, pada Pasal 5 ayat 2 huruf g dinyatakan bahwa pemegang IUP harus melampirkan dokumen rencana pembangunan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang telah diverifikasi oleh verifikator independen, antara lain jadwal pembangunan fasilitas pemurnian, nilai investasi, dan kapasitas input per tahun.

Ketua Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Sulawesi Tenggara - Jakarta Raya (FMPSST Jaya) Muhammad Fajar Hasan
Muhammad Fajar Hasan

Selanjutnya, kata Fajar, pada pasal 11 ayat 1 bahwa Direktur Jenderal atas nama Menteri melakukan pengawasan terhadap: a) pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri; b) kemajuan fasilitas pemurnian di dalam negeri yang terdiri atas kemajuan fisik fasilitas pemurnian dan besaran serapan biaya pembangunan fasilitas pemurnian.

Kemudian ditegaskan pada pasal 11 ayat 4 bahwa dalam hal persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak tercapai, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan Rekomendasi kepada Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan untuk mencabut Persetujuan Ekspor yang telah diberikan.

“Berdasarkan data yang kami miliki, di Sultra terdapat beberapa perusahaan memegang kuota ekspor tetapi tidak membangun smelter. Sementara ini, tim kami sedang melakukan validasi data, pada saatnya nanti daftar perusahaan tersebut akan kami umumkan di publik. Biar masyarakat Sultra tahu, ada perusahaan yang terus berjanji dan berjanji membangun smelter sambil mengeruk perut bumi, tapi mereka tak membangun smelter di Sultra,” tutur Fajar.

Fajar mengaku memiliki data, terkait kemampuan keuangan dan manajerial perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahan itu memenuhi syarat untuk dicabut kuota ekspornya. Fajar berharap pada pemerintah, agar bagi perusahaan yang sedang bermohon dan sedang mengusulkan perpanjangan untuk mendapatkan kuota ekspor tidak diberikan rekomendasi persetujuan apabila pembangunan smelter tidak jelas.

Dijelaskannya, Sultra kaya dengan sumber daya alam, tetapi jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Sultra sejak tahun 2015 kurang dari Rp 3,5 triliun, tidak bergerak naik. Semestinya hasil sumber daya alam Sultra khususnya nikel memberi kontribusi terhadap peningkatan APBD.

“Itu sebabnya, sudah saatnya pemerintan pusat dan pemerintah provinsi Sultra menertibkan, mendisiplinkan perusahaan pemegang kuota ekspor yang tidak membangun smelter,” ucap Fajar, yang juga, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Halu Oleo.

Dalam Permen ESDM 6/2017, mengatur kewenangan Gubernur di pasal 5 ayat 2 huruf h bahwa salah satu persyaratan untuk mendapatkan izin kuota ekspor melampirkan dokumen rencana kerja dan anggaran biaya yang ditandatangani Gubernur. Secara hukum, kata Fajar, posisi gubernur sangat kuat, termasuk dalam Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, bahwa perizinan dan pengawasan usaha pertambangan menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini