Sudah dua pekan, saya memelihara ayam. Dua ekor. Jantan dan betina. Mereka dalam satu sangkar. Belum mau kawin. Masih remaja. Mereka enggan kawin dini. Bakal tidak ada hasilnya. Buang-buang tenaga, barangkali begitu pikir mereka.
Jantannya jinak. Mau dipegang. Kalau sangkarnya dibuka, tidak banyak bergerak. Malas makan. Badannya lebih kurus di bawah pemeliharaanku. Tapi kelihatannya sehat. Pialnya merah segar. Matanya cemerlang.
Beda dengan betinanya. Temboloknya selalu penuh. Agresif sekali. Bulunya kelihatan mengkilat dengan mata jernih dan sangat awas. Begitu sangkarnya didekati, dia menggelepar-gelepar tidak karuan. Saya khawatir, suatu saat ayam ini akan lepas.
Betul, kekhawatiranku terbukti. Pagi saat memberinya makan, jantannya hendak kumandikan, supaya kutunya hilang. Mau diurut agar dagingnya liat.
Begitu sangkarnya terbuka sedikit, si betina ngamuk. Menggelepar. Separuh tubuhnya yang masih kecil, berhasil keluar sangkar. Sangkar telat ditutup kembali. Sudah. Ayam itu lepas. Lari terbirit-birit menjauh.
Tapi dia tidak pergi jauh. Beberapa saat kemudian, ayam itu datang ke sangkarnya. Menemui temannya. Mungkin sudah jadi kekasihnya. Setelah sekian lama terpaksa satu sangkar. Begitu saya dekati, kabur lagi.
Saya mencari tali untuk menjeratnya. Tali rafia yang ada kependekan. Tidak lentur untuk digunakan sebagai jerat. Saya lihat tali jemuran yang terpasang ganda. Ukurannya kecil. Kualitasnya bagus sebagai jerat. Tapi saya tidak begitu ahli menjerat. Dua tiga kali dicoba, ayamnya bahkan tidak pernah masuk dalam lingkaran jerat.
Dalam keputusasaan menangkapnya pagi hingga siang ini, saya sudah punya niat. Jika ayam ini berhasil tertangkap, maka akan segera kucari lengkuas untuk menemaninya di dalam panci.
Ayam ini seperti tukang kritik pemerintah. Keliarannya adalah representasi kecerdasan. Saat kita menjauh, dia mendekat. Begitu didekati, lari lagi. Berbagai cara untuk menjeratnya selalu lolos. Pandai sekali berkelit. Ayam ini hanya akan tertangkap jika pendekatannya kekerasan. Dilempar, disumpit, atau ditembak. Tukang kritik seperti ini perlu dipelihara, alih-alih “disembelih”.
Kehadiran pengkritik seperti ayam liar ini meningkatkan kreatifitas pemerintahan dalam bekerja. Jadi, tidak perlu mengejar-ngejar hendak menangkapnya. Atau melaporkannya. Pengkritik yang sudah menyatu dengan sangkarnya, pasti akan selalu kembali. Menemui hal-hal yang dicintainya. Seperti ayam itu.
Saya akhirnya seperti pemerintah yang sedang putus asa. Sudah punya niat yang fatal. Mencari lengkuas. Negeri ini pernah dikelola dengan cara seperti itu. Apakah akan diulangi lagi?***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan pemerhati sosial & alumni UHO