ZONASULTRA.ID, KENDARI – Pemerintah Kota (Pemkot) Kendari bersama Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara (RPS) menggelar workshop penyusunan standar operasional prosedur (SOP) Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA). Kegiatan yang melibatkan berbagai pihak itu digelar di salah satu hotel Kendari, pada Jumat (31/3/2023).
UPTD-PPA telah terbentuk melalui Surat Keputusan Walikota Kendari pada Tahun 2020 yang lalu. Lembaga ini memiliki tugas pokok untuk melakukan pendampingan dan penanganan perempuan dan anak korban kekerasan di wilayah Kota Kendari.
Namun, UPTD-PPA Kota Kendari dalam melaksanakan fungsi dan tupoksinya belum maksimal dalam memberikan layanan untuk penjangkauan, pendampingan, penanganan kasus ataupun menjalin kemitraan dengan pihak lain.
Beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam rangka menunjang kinerja pelayanan UPTD PPA yang inklusif, di antaranya diperlukan kualitas sumber daya manusia sebagai pendamping, sarana dan prasarana, serta sistem dan standar prosedur layanan. Oleh karena itu, Pemkot Kendari bersama Rumpun Perempuan Sultra mendorong adanya SOP Layanan UPTD PPA yang Inklusif.
Direktur Rumpun Perempuan Sultra, Husna menjelaskan UPTD PPA merupakan unit pelaksana teknis untuk memberikan pelayanan dengan berbagai layanan yang dimulai dari penerimaan pengaduan, penjangkauan, pendampingan, layanan informasi ke korban, fasilitasi pemberian layanan kesehatan, penguatan psikologis, psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, reintegrasi sosial, penampungan sementara, pemulangan korban, pemberdayaan ekonomi, termasuk dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Pada pemberian Layanan Pengelolaan Kasus, UPTD PPA telah diatur dengan berbagai peraturan Hukum perundang-undangan/peraturan pemerintah yang berkaitan langsung dengan Tupoksi ataupun peraturan yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam pendampingan, seperti UU Perlindungan Anak (PA) Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang PA yang di dukungan Peraturan Pemerintah atau PERDA yang ada.
Untuk menciptakan Layanan yang inklusif maka memang perlu standar pelayanan minimal bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Kendati demikian konsideran produk hukumnya belum mengakomodir terkait dengan penyandang disabilitas (diatur UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyadang Disabilitas).
“Perspektif disabilitas belum terintegrasi dalam sederetan peraturan perundang-undangan, seperti UU KUHP, UU PKDRT dan lainnya, sementara korban kekerasan perempuan dan anak penyandang disabilitas memiliki kerentanan berlapis. Termasuk dilanggar hak-hak konstusional perempuan,” ujar Husna.
Husna mencontohkan korban kekerasan seksual masih mengalami hambatan dalam memperoleh informasi dan mengakses keadilan yang baik. Karena belum diatur dalam pemberian layanan, faktanya korban perempuan disabilitas lebih membiarkan situasi yang dialaminya untuk tidak dilaporkan kasusnya, sehingga penyelesainnya lebih memilih penyelesaian secara keluarga.
Hambatan dan tantangan didalam menangani dan mendamping korban pun masih terkendala pada sdm, dukungan kelembagaan dan infrastruktur; belum adanya sistem data yang komprehensif; pandangan aparat penegak hukum yang tidak sensitif; terbatasnya fasilitas rumah aman dan keterjangkauan kepada korban.
“Pelaksanaan Workshop ini, kami harapkan dapat memberikan akses keadilan dan layanan untuk semua korban dengan berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya,” ujar Husna.
Editor: Muhamad Taslim Dalma