Pengamat: 65 Persen Pemilih di Sultra Masih Tradisional

296
Bahtiar - Darmin Tuwu
Bahtiar - Darmin Tuwu

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pengamat politik Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari Bahtiar menilai masyarakat wajib pilih di Sulawesi Tenggara (Sultra) masih berpikir tradisional dibandingkan rasional dalam menentukan pilihannya pada Pilgub Sultra Juni 2018 mendatang.

Dekan FISIP UHO ini mengatakan, jika ditarik garis pemisah antara pemilih tradisional dan rasional, ia melihat sebagian masyarakat sudah mengarah ke rasionalitas. Hal ini sejalan dengan meningkatnya pendidikan politik dan kemapanan ekonomi sehingga mempengaruhi cara berpolitik mereka.

Namun menurutnya, pemilih rasionalitas hanya dapat ditemukan di perkotaan saja dan sangat sedikit di pedesaan, sedangkan cara politik masyarakat kota dan desa jauh berbeda.

Kecenderungan hari ini, pemilih di Sultra masih didominasi oleh pemilih tradisional karena ada 15 kabupaten di luar Kota Kendari dan Baubau. Dikatakan sebagai pemilih tradisional, sebab kebanyakan dari pemilih ini masih mengandalkan kedekatan emosional dalam menentukan figur yang akan dipilih.

Selain itu, ada dua hal yang mempengaruhi kenapa mereka menjadi pemilih tradisional, yakni faktor pemberian materi dari paslon dan faktor kelompok etnis agama. Kekuatan materi atau pemberian dari paslon akan mempengaruhi masyarakat tradisional untuk memilih, kemudian faktor kelompok etnis agama akan mempengaruhi pemilih tradisional untuk mencari figur yang letak geografisnya tidak jauh dari tempat mereka bermukim atau berasal. Jika dirata-ratakan, pemilih tradisional masih mendominasi 70 persen dan rasional 30 persen.

“Masyarakat kita masih mengandalkan emosional sebagai pemikiran sandaran politik, ketika mereka akan mempertanyakan dari mana sukunya, agamanya keluarganya siapa, itu beberapa indikator pemilih kita masih mengarah ke tradisonal. Emosional tidak bisa dipungkiri, secara kasat mata kita menilai data empirik di lapangan seperti itu adanya,” ungkap Bahtiar saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (21/3/2018).

Kemudian, pemilih tradisional juga mengandalkan ikatakan hubungan primordial. Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Sementara pemilih rasional, Bahtiar menilai banyak terjadi pada pemilih pemula atau kaum muda. Alasannya karena latar belakang pendidikan yang mereka dapatkan sudah memberikan wawasan dalam menentukan pilihan disetiap perhelatan pilkada, termasuk swing voter yang belum menentukan pilihan, mereka masih mengamati dan mencari figur mana yang akan membawa kebaikan bagi daerah.

BACA JUGA :  Daftar Figur yang Berpotensi Maju Pilgub Sultra 2024

Namun ada pula pemilih pemula yang bersifat pragmatis terutama pelajar SMA dan mahasiswa baru. Pemilih seperti ini akan mencari figur yang mereka idolakan dan sukai tanpa harus berpikir untuk jangka panjang.

“Nah ini yang harus diwaspadai para paslon untuk merebut hati pemilih pemula yang lebih rasional dan bersifat pragmatis,” ungkap Bahtiar.

Berbeda dengan pemilih tradisional yang menilai pemberian materi dari paslon adalah sebuah ikatan dan merasa bersalah jika tidak memilih. Pemilih pemula menganggap hal itu bukan menjadi alasan bahkan tidak berpengaruh sama sekali untuk menentukan pilihannya.

“Anggapan mereka pasti ah ini cuman pembeli rokok saja misal kalau diberikan uang, jadi hati-hati paslon serangan boomerang dari tindakan tersebut. Karena pemilih pemula kita sudah cerdas. Dan lebih acuh tak acuh dengan hal seperti itu. Berbeda dengan pemilih kita yang lebih dewasa ya,” tukasnya.

Lahirnya pemahaman seperti ini sebenarnya merupakan imbas dari pelaksanaan pilkada langsung dan telah menjadi dilema di Indonesia secara umum. Kendati demikian, seiring perkembangan waktu Bahtiar menilai dengan sendirinya perubahan ke rasional akan semakin besar.

Pemilih Tradisional dan Rasional

Sementara pengamat sosial FISIP UHO Darmin Tuwu menilai perbandingan antara pemilih tradisional dengan pemilih rasional di Sultra adalah 60 persen banding 40 persen. Menurutnya, pemilih tradisional adalah pemilih yang sulit digeser pilihannya jika sudah menentukan figur mana yang akan dicoblos pada hari pemilihan. Sebab, alasan kedekatan akan menjadi tolak ukur utama.

“Misalnya, orang selatan pasti ke paslon nomor sekian, orang Buton dan Muna pasi ke paslon satunya begitupula orang Konawe dan Kolaka pasti ke paslon lainnya juga,” ungkap Darmin Tuwu kepada zonasultra belum lama ini di kediamannya.

Untuk merebut suara dan mempertahankan suara di masing-masing daerah kemenangan, setiap paslon harus mampu menjual figur 01 menjadi sosok yang kuat baik itu secara kedaerahan dan track recordnya. Mengapa track record ? Ini penting bagi para pemilih rasional dan swing voter, karena bagi mereka track record adalah gambaran utama untuk menentukan pilihan sebelum alasan kedekatan. Bahkan ini juga penting bagi para paslon, pasalnya track record tidak terjadi secara instan atau disulap begitu saja.

BACA JUGA :  Mengenal Quick Count, Benarkah Akurat?

Lulusan S3 Ilmu Kesejahteraan Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, secara umum masyarakat Sultra saat ini tidak memperhatikan secara spesifik program kerja yang ditawarkan oleh para paslon, melainkan masyarakat lebih kepada bagaimana sosok yang akan memenangkan pilgub tahun ini dapat memenuhi janji-janjinya selama berkampanye. Hal ini disebabkan, karena sebagain besar janji kampanye seringkali dilupakan saat sudah menduduki jabatan.

Alasannya sederhana, karena motivasi dari para paslon untuk bertarung bukan untuk mensejahterakan rakyat melainkan mensengsarakan rakyat karena banyaknya kepentingan di dalamnya, salah satunya kepentingan politik. Dan inilah realitas saat ini menurut dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial itu.

“Terlepas dari persoalan politik ini, menurut saya para paslon ini harus benar-benar mampu memenuhi janji politiknya kepada masyarakat untuk menjaga dan meraup suara yang banyak pada pilgub mendatang terutama untuk pemilih rasional dan swing voter. Mereka harus direbut suaranya karena lebih cerdas,” tukasnya.

Setidaknya, menurut pria yang menyelesaikan S2 di Universitas Gajah Mada (UGM) ini, ada beberapa hal yang harus dipenuhi dan menjadi jualan paslon kepada masyarakat, yakni bagaimana menyediakan fasilitas peningkatan SDM melalui bidang pendidikan, pelayanan kesehatan memadai dan akses yang mudah bagi masyarakat, infrastruktur memadai terutama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat serta pengelolaan keuangan daerah yang transparan.

Untuk diketahui, jumlah Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk Pigub Sultra tahun 2018 sebanyak 1.666.546 pemilih. Jumlah tersebut tersebar di 4.910 tempat pemungutan suara (TPS), 2.264 desa/kelurahan, 212 kecamatan di 17 kabupaten/kota. Hasil rekapitulasi DPS untuk pilgub Sultra 2018 ini ditetapkan melalui Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi Daftar DPS pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur Sultra tahun 2018 yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sultra, Sabtu (17/3/2018) di Hotel Zahra Kendari.

“Dari total jumlah pemilih DPS tersebut masih terdapat pemilih potensial non KTP-elektronik sebanyak 210.166,” kata Ketua KPU Provinsi Sultra Hidayatullah. (A)

 


Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini