Kecelakaandi perairan Indonesia terjadi lagi dan lagi. Usai kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Toba yang menyisakan 145 korban yang tak ditemukan sampai sekarang itu, KM Lestari Maju juga alami peristiwa serupa di perairan Selayar, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 2018 lalu.
KM Lestari Maju karam saat berlayar dari pelabuhan Bira Bulukumbang menuju pelabuhan Pamatata kabupaten Selayar. Diduga, KM Lestari Maju tenggelam karena masuknya air ke dalam kapal karena lambung kiri kapal yang bocor karena cuaca buruk. Jumlah penumpang yang berada didalam sebanyak 139 orang, terdapat 18 unit kendaraan roda dua, 14 unit kendaraan roda empat, 8 unit kendaraan golongan lima dan 8 unit kendaraan golongan 6.
Kejadian ini tentu saja menambah daftar panjang kecelakaan yang terjadi pada mode transportasi di Indonesia. Hal ini membuat transportasi laut tengah dalam sorotan, karena sering kali kecelakaan terjadi secara hampir berurutan.
Akar Masalah transportasi
Carut-marut bak benang kusut yang melanda transportasi umum di Indonesia sebenarnya berawal dari anggapan yang salah ketika mendudukkan makna transportasi yang sesungguhnya. Yang tentu, anggapan yang salah tersebut bersumber dari paham sekuler dan kapitalis yang mengesampingkan aturan agama. Sekularisme yang melahirkan sistem kehidupan kapitalisme telah menganggap bahwa dunia transportasi sebagai sebuah industri.
Sehingga tentu saja, cara pandang ini mengakibatkan kepemilikanfasilitas umum transportasi dikuasai oleh perusahaan atau swasta, yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis agar dapat memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, bukan fungsi pelayanan yang aman dan tidak mengancam nyawa.
Tentu, pandangan kapitalis yang dalam pelaksanaan pelayanan publik, memberlakukan negara hanya berfungsi sebagai fasilitator, sedangkan yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar.
Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kaca mata komersial, sehingga mengakibatkan harga tiket transportasi publik yang sering kali mahal namun tidak disertai layanan yang memadai. Demi mengejar untung tidak jarang angkutan umum yang sudah tidak layak jalan tetap beroperasi. Karena prinsipnya ialah mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, dan memperoleh laba atau keuntungan sebesar-besarnya.
Lihat saja, KM Lestari Maju yang karam di lautan Selayar kemarin yang ternyata telah berstatus “withdrawn” alias sudah tidak memiliki klas. Berstatus Withdrawn juga berarti kapal berada dalam kondisi tidak boleh berlayar dan bahkan -dalam banyak kasus- sudah persiapan untuk dibesituakan. (Jurnalmaritim.com)
Ironisnya, dampak dari penerapan sistem ini (sekuler) juga nyaris membuat negara bangkrut, tersungkur tak berdaya, karena semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak pengelolaannya diserahkan pada para kapitalis pemilik modal. Negara hanya mendapatkan bagi hasil atau pajak/royalti dari pengelolaan tersebut . Dan ironisnya, rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan malah dibebani dengan pajak.
MembangunInfrastrukturTransportasi Strategis
Menanggapi kasus kecelakaan transportasi laut yang terus terjadi tahun ini, pemerintah seakan berlepas tangan. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pihak terkait yang memiliki tanggung jawab dan wewenang memberikan izin kapal berlayar. Termaksud memastikan kelayakan kapal dan jumlah penumpang yang sebenarnya. Karena Indonesia terdiri dari belasan pulau-pulau kecil yang tentu lebih intens dalam penggunaan mode transportasi laut.
Insiden angkutan perairan yang terus berulang mengakibatkan angkutan perairan seperti dianaktirikan dan tidak tersentuh oleh kebijakan. Aturan pelayanan menjadi tidak baik sehingga nyawapun menjadi taruhannya.
Sehingga dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mentalitas penguasa di negeri ini bukanlah sebagai pemelihara dan pengurus urusan rakyatnya, yang salah satu contohnya ialah pada kasus kecelakaan transportasi laut ini.
Beda jauh dengan mentalitas yang dimiliki oleh seorang Umar bin al-Khaththabra. tatkala beliau menjadi kepala negara. Berkait dengan transportasi beliau berujar “Seandainya, ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalan rusak, aku khawatir Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban diriku di akhirat nanti.” Mindset seperti inilah yang mendasari pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan transportasi.
Kita juga bisa melihat sejarah, bahwa hingga abad ke-19 KhilafahUtsmaniyah tetap konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi yang aman dan nyaman. Seperti saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji.
Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “HejazRailway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Dengan proyek ini, dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari.
Kemudian, penerapan sistem ekonomi Islam juga akan memberikan jaminan pembangunan ekonomi yang berkah, adil dan sejahtera yang akan meminimalisir kesenjangan ekonomi dan menjauhkan kerusakan pada masyarakat. Khilafah, sebagai institusi penerap Islam akan menyediakan infrastruktur transportasi yang aman, memadai dengan teknologi terkini. Dengan begitu ribuan muslim tidak akan lagi menjadi korban dari kecelakaan transportasi akibat abainya pemerintah.
WallahuA’lam Bissawab
Oleh : Fitriani S.Pd
Penulis Merupakan Pengajar dan Penulis Ideologis