Semua orang yang telah pernah mengikuti proses politik dalam seleksi penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif, sampai tingkatan paling bawah, menjadi Kepala Desa, pasti sama berpendapat untuk satu hal ini, “dibutuhkan dana yang lebih besar dari dana apapun yang pernah dibelanjakan”.
Pengeluaran itu tanpa harus diperlakukan sebagai seumpama meminjamkan uang kepada seseorang. Tanpa kwitansi, tanpa harus dipertanggung jawabkan secara keperdataan, kecuali tanggung jawab secara administratif kepada KPU dan Bawaslu.
Pada Pemilu Presiden 2014, banyak pengamat, yang sayup sayup berbicara siapa siapa atau dari kalangan mana yg mendanai Capres Jokowi-Jusuf Kalla, berhadapan dengan Capres Prabowo-Hatta Rajasa. Analisis Kwik Kian Gie, adalah argumentasi yang hampir mendekati semua langkah Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan setelah beliau terpilih.
Dugaan itu sangat logis, meskipun Jokowi pernah menjadi Walikota Solo, menjadi Gubernur DKI Jakarta hanya 2 tahun, tetapi dengan konon beliau sangat bersih dari korupsi, apakah cukup ada dana untuk membiayai kampanye kemenangannya sebagai Presiden?
Sangat wajar setelah terpilih, janji kampanye yang pertama kali diingkari adalah soal perampingan Kabinet, soal tak ada jatah menteri bagi partai pendukung. Dan tampilan berikutnya adalah betapa menteri yang membantu Presiden itu harus merelakan “kecerdasan” mereka untuk berpihak pada yang begitu berjasa secara politik dan finansial mewujudkan kemenangan Presiden Jokowi.
Pada bidang Ketenagakerjaan. Awalnya terlihat begitu memukau. Menteri Tenaga Kerja bahkan menangkap sendiri TKA yang bekerja tanpa dokumen, dan pertunjukan selanjutnya adalah justru keluar kebijakan pemerintah yang memberi ruang yang longgar bagi hadirnya Tenaga Kerja Asing (TKA), termasuk saat tiba di Bandara Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra)
Dirjen Imigrasi, Irjen Ronni Sompie, saya pernah mengenal reputasi beliau bertugas di Polda Sumut, Dr. H. Yasona Laolly, SH. MH. Menteri Hukum dan HAM juga seorang yang saat masih bersama di Komisi III DPR RI, 2004 – 2009, tak ada keraguan apapun pada beliau jika sudah menyangkut kepentingan Bangsa dan Negara. Tapi kenapa tiba tiba menjadi nampak berpihak kepada yang lain, kepada bangsa lain, dan kepada rakyat negara lain.
Bagaimana dengan Pilpres 2019 – 2024?
Konon, seperti halnya masih Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, saat telah menjadi Presiden pun, Jokowi, jauh dari Korupsi. Demikian juga dengan keluarganya. Untuk itu bolehlah kita banggakan beliau sebagai Presiden paling bersih. Kalau demikian, darimana beliau akan mendapatkan uang yang tentu jumlahnya melampaui apapun penghasilan beliau sebagai kepala negara.
Nah disinilah rakyat kita diuji. Ini bukan soal hanya sekedar isi perut, tetapi lebih agung dari itu. Tak sampai hati untuk menyatakannya, karena kalau hanya untuk makan tak perlu ada kemerdekaan. Bila mau melihat siapa yang pantas berpikir bebas bila terpilih menjadi Presiden, apakah calon Presiden cukup memiliki uang untuk dibelanjakan saat kampanye dan seluruh ikutannya.
Bukan rahasia lagi siapa yang menjadi donatur saat itu. Nah kepentingan orang orang inilah yang kemudian mewarnai segala artikulasi kebijakannya.
Mengenai segala hal yang kini menjadi kerisauan rakyat soal lapangan kerja, dan kebijakan yang perpihak pada pekerja asing dan begitu mudahnya investasi asing mengambil sejengkal demi sejengkal bumi Indonesia, itu semua untuk membayar utang budi, utang jasa dan utang saat hasrat menjadi Presiden itu muncul.
Lalu ada Prabowo dan Sandiaga Uno yang saya pikir punya kemampuan berpikir bebas untuk membenahi bangsa ini. Kemampuan mereka untuk tidak terpedaya oleh pihak manapun untuk membiayai sendiri hajatan Pilpres. Pasti diserang habis habisan oleh kelompok yang menginginkan Ijon kepada calon presiden.
Jangan terkecoh wahai rakyat Indonesia. Kita belum makmur pada jaman Soekarno, tapi kita bangga sebagai bangsa Indonesia, Kita belum makmur secara merata pada jaman Soeharto, tapi kita tetap bangga sebagai Bangsa Indonesia.
Apakah kita sungguh-sungguh berpikir untuk tetap bangga sebagai Bangsa Indonesia? Karena di tengah begitu sulitnya lapangan kerja, justru muncul tenaga kerja asing, privatisasi terhadap BUMN yang sejatinya menurut Konstutusi dikuasai Negara. Lalu privatisasi utk siapa, bagi siapa, perusahaan siapa, saham siapa.
Sadarlah wahai teman teman yang kini dalam pusaran kuasa, jangan sebarkan hal yang membuat menjadi lebih buruk bagi bangsa dan negara ini.(***)
Oleh : Arbab Paproeka
Penulis Merupakan Anggota DPR RI Dapil Sultra Periode 2004-2009